Dimuat di : Radar Bromo, 31 Oktober 2010
Jaka adalah teman yang baik tapi tidak menyenangkan.
Dia baik dalam segala hal namun tidak menyenangkan dalam urusan makan. Teman
yang berada dalam kesulitan apapun bentuknya, dia selalu menjadi orang pertama
yang menawarkan bantuan. Dia bisa sangat dermawan untuk urusan makanan,
terutama bila makanan itu tidak masuk dalam daftar makanan vegetariannya.
“Darimana kamu mendapat protein ?” bisikku saat makan
siang di kantin kantor.
Di hadapan Jaka hanya ada nasi, sayur-sayuran mentah,
dua iris tempe goreng dan pepes tahu. Tentu saja semuanya dia bawa dari
rumahnya. Diletakkan dalam kotak bekal makanan yang memenuhi standar kesehatan.
Begitu juga dengan bekal minumnya. Air bening ( bagiku air putih adalah susu )
yang juga berada dalam botol minuman berstandar kesehatan. Aku yakin, istrinya
adalah orang yang paling sering dibuatnya pusing tujuh keliling.
“Protein dari kedele lebih bagus dari daging di
hadapanmu itu. “
“Bagus buat dompet ?”
Jaka tersenyum. Seperti biasa, di mana-mana dia
begitu percaya diri dengan pola hidupnya. Setahuku, semua vegetarian seperti
itu. Begitu bangga dengan pola hidup sehatnya.
“Memang. Bagus buat dompet. Sekarang dan masa yang
akan datang. “
“Maksudmu ?”
“Kalau aku sudah seusia Pak Herman, aku tidak akan
bolak-balik masuk rumah sakit. Kesehatan mahal harganya. “
Aku mengangkat bahu. Terlintas raut wajah Pak Herman
dengan mulut agak miring akibat stroke yang menyerangnya sebulan yang lalu.
Sekarang, atasan kami itu terbaring tidak lagi di rumah sakit. Padahal baru dua
minggu yang lalu dia tampak sehat dan sudah masuk kantor.
“Sebaiknya kau perhatikan pola makanmu, Rus, “ ucap
Jaka sambil menikmati sayur kol mentahnya sambil melirik ke arah piringku yang
belum kusentuh, “mumpung masih muda, masa depan kita masih panjang. “
Aku selalu merasa mual melihat Jaka bila sudah
melahap sayur mayur mentahnya. Aku teringat hewan peliharaan mertuaku. Apa
enaknya makan sayur mentah ? Menyedihkan. Bahkan melihat Jaka mengunyahnya
dengan lahap, sempat menghilangkan selera makanku. Padahal paha ayam bumbu
kecap dan sambal bajak yang kini berada di hadapanku adalah menu favoritku di
siang hari yang terik ini. Dan sebotol minuman bersoda dingin sebagai
pendampingnya.
Hhhh … apa peduli Jaka ? Harusnya aku juga tidak
peduli dengan menu makan siangnya yang menyedihkan. Bagiku yang penting bisa
makan enak dan enak makan.
OoO
Prasmanan. Tentu saja ritual makan yang menggairahkan
bagi semua undangan. Hani, seorang staff TU yang baru setahun bekerja di kantor
kami, menggelar resepsi pernikahannya di sebuah hotel. Cukup mewah. Tidak
mengherankan, karena walaupun Hani cuma seorang TU, bapaknya adalah pemilik
hotel ini.
“Bagaimana Jaka ?” bisik istriku saat para undangan
yang sudah memberi selamat kepada kedua pengantin, dipersilahkan untuk
menikmatai hidangan.
“Memangnya kenapa dia ?” tanyaku balik bertanya.
“Dia mau makan apa di sini ?”
Aku menebar pandanganku ke meja-meja tempat semua
makanan serba lezat itu dihidangkan. Tidak ada satupun selera Jaka ada di sana.
Semuanya adalah seleraku. Walaupun jam enam tadi pagi aku sudah sarapan, tapi
melihat semua hidangan itu, aku menjadi kelaparan. Padahal masih jam sepuluh,
belum waktunya makan siang. Apa peduliku …. ini pesta, kan ? Jaka ada benarnya.
Mumpung masih muda dan masa depan panjang, maka manfaatkan sebaik-baiknya
sebelum masa tua datang. Yaitu, saat dokter memberikan list daftar makanan yang
terlarang untuk dikonsumsi.
“Mungkin dia akan makan ini ….” bisikku pada istriku
sambil menunjuk ke deretan daun selada yang menghiasi tepi beberapa piring lauk
pauk
Istriku tertawa geli. Dia menoleh ke belakang,
mencari sosok Jaka dan istrinya.
“Kasihan dia, Mas … “
“Tidak usah dipedulikan. “
Lalu aku dan istriku mengambil tempat duduk di tepi
kolam ikan. Rupanya Jaka dan istrinya menyusul. Aku dan Jaka memang teman
dekat. Maka tak heran kami selalu tampak bersama di kantor.
Rupanya istri Jaka bukan seorang vegetarian. Kulihat
lima tusuk sate di piringnya, sepotong ayam goreng, beberapa sendok nasi. Sama
sekali tidak ada sayur. Dan seperti perkiraanku, Jaka mengambil beberapa helai
daun selada dan dua iris tomat.
“Jaka … kamu menyingung perasaan Hani, “ ucapku
bercanda, “makanan di pestanya tidak ada yang enak. “
Jaka tersenyum seperti biasa, “Ini yang super enak,
Rus ! Coba deh !”
Aku menggeleng dan memutar badanku. Tidak tega, tidak
sampai hati, tidak ingin kehilangan selera makan bila berhadapan dengan Jaka.
Di mata aku dan istriku, alangkah tersiksanya hidup
Jaka dengan pola makan vegetariannya. Bahkan di sebuah pesta tempat kita bebas
makan sepuasnya, hanya dia yang tampak terpenjara dengan sayur mayurnya.
OoO
Himbauan Jaka atau mungkin lebih tepat rayuan tak
ayal membuatku tertarik untuk mencoba.
“Mengkonsumsi sayuran mentah akan memberikan vitamin
dan nutrisi segar pada tubuh kita, Rus. Lihat saja kulitku. Bersih dan sehat
kan ?”
Sejak dulu aku memang heran dengan kulit Jaka yang
tampak bersih. Apalagi kulitnya kuning langsat, tidak seperti kulitku yang sawo
matang. Kukira dulu dia rajin menggunakan lotion untuk pria atau sejenisnya.
Apalagi, di usia kami yang menjelang empat puluh, wajahnya tampak masih
kencang, alias jauh dari keriput. Ternyata itu rahasianya.
“Karena tidak beresiko terkena berbagai penyakit
degeneratif, maka lebih panjang umur.”
Aku tertegun. Panjang umur ? Sepertinya nasehat itu
lebih cocok untuk Pak Herman yang kondisinya sedang kritis sejak kemarin. Usia
beliau sudah lima puluh lima. Tahun depan sudah pensiun. Tapi, bisa jadi dia
akan pensiun lebih dulu kalau serangan jantungnya kemarin berhasil
mengalahkannya.
“Umur tidak ditentukan oleh makanan, Jaka. Tapi oleh
takdir. Kalau sudah saatnya mati, ya pasti mati. Tidak bisa ditangguhkan. “
Jaka tersenyum.
“Siapa bilang aku tidak percaya takdir. Tapi takdir
bisa berubah tergantung usaha dan doa kita, kan Rus ?”
Aku mengangkat bahu. Lalu pandanganku jatuh di atas
kotak bekal makanan Jaka. Kali ini irisan wortel mentah, mentimun dan tahu yang
dibuat mirip paha ayam.
“Cobalah wortelnya. Manis. “
Jaka mengulurkan kotak bekalnya. Aku hendak mencomot
paha ayam palsu itu, penasaran dengan rasanya. Tapi kasihan Jaka, nanti dia
makan tanpa lauk. Di kantin tidak akan ada lauk seperti ini. Akhirnya aku
mencomot seiris wortel. Perlahan, kumasukkan dalam mulutku. Mengunyah …
mengunyah … mengunyah … dan m-e-n-e-l-a-n.
“Bagaimana ?” tanya Jaka yang mengamatiku sejak tadi.
Perutku tiba-tiba mual, karena tadi sempat membayangkan
telingaku menjadi lebar dan panjang seperti kelinci.
“E-n-a-k …” jawabku terbata.
Sebotol minuman bersoda seketika menjadi penawar rasa
wortel yang getir bagiku. Jaka tertawa kecil. Aku merutuk dalam hati, bersumpah
tidak akan menuruti anjuran Jaka lagi. Selera makanku menjadi hilang, karena
perut sudah kenyang oleh sebotol minuman bersoda.
“Kalau kamu membiasakannya, kamu bisa panjang umur,
Rus. Coba juga kecambah mentah. Itu lebih bagus lagi. “
“Bisa panjang umur ?”
“Tentu saja. “ jawab Jaka optimis.
OoO
Lembur membuat mengantuk di pagi hari. Tapi membuat
para istri senang saat menerima gaji. Tak apalah, toh aku tidak perlu lembur
setiap hari. Hanya seminggu menjelang akhir bulan ini. Jaka mengeluh.
“Sebenarnya kita tidak perlu lembur di akhir bulan.
Kalau saja Pak Herman tidak menumpuk tugas-tugas kita dan baru membaginya
kemarin … “
“Dia hanya membantu kita. Menambah penghasilan.
Hehehe … jalani saja, Jaka. Apalagi Pak Herman sakit sebulan ini. Makanya
sekretarisnya tidak tahu kalau masih banyak tugas yang belum diserahkan pada
kita. “
“Iya sih … tapi sepertinya, bulan ini kita lebih
sering lembur gara-gara kita dia sakit. “
Aku mengangguk-angguk. Sebenarnya berusaha mengusir
kantuk. Sudah hampir jam dua belas malam. Memang sudah waktunya berlayar di
pulau kapuk bersama istri tersayang.
“Jaka … aku tidak kuat lagi nih. Aku harus pulang !”
Mataku sudah sangat berat, seperti digantungi
berkas-berkas tebal di hadapanku. Di ruangan kami, ada lima orang yang terpaksa
kerja lembur. Aku menoleh ke arah Jaka. Pantas dia tidak merespon. Dia sudah
tertidur di hadapan komputernya.
“Jaka … aku mau pulang dulu !”
“Hmm … “
sahutnya samar. Rupanya dia masih mendengarku.
Sebelum pulang, aku mampir dulu di sebuah depot dekat
kantor yang masih buka. Memesan kopi jahe, berharap bisa membuatku terjaga
sampai rumah. Berkendara sepeda motor dalam kondisi mengantuk bukanlah hal yang
kusukai. Berjalan lambat tambah mengantuk, berjalan cepat malah khawatir.
Kuharap jahe yang dimemarkan yang berada dalam gelas kopiku dapat membantuku
melek sepanjang jalan. Aku mengunyah jahe itu. Seketika mataku melotot. Pedas.
Sempat teringat wortel mentah Jaka, tapi segera kuusir jauh-jauh ingatan itu.
OoO
Aku berharap suasana kantor di pagi hari tampak
segar, walau aku tidak bisa menjamin hal itu terjadi. Karena di ruanganku,
semalam lembur semua. Aku tidak tahu mereka lembur sampai jam berapa, karena
aku pulang lebih dulu.
Ruangan sepi. Kemana semua orang. Hanya ada
sekretaris Pak Herman, wajahnya kusut. Sepertinya dia habis menangis.
“Ada apa Bu ?” tanyaku penasaran.
Dia menyusut air matanya. Aku curiga, jangan-jangan
perkiraan kami benar-benar terbukti. Pak Herman benar-benar meninggal ?
“Semalam … ada yang kecelakaan, Pak Rus. “
“Apa ? Siapa ?”
“Pak Jaka. “
Aku segera melompat mendekati wanita itu. Dia semakin
terisak.
“Lalu di mana di sekarang ? Bagaimana kondisinya ?”
“Barusan polisi yang menelpon. Dia sudah ….
meninggal. “
Innalillahi ….
Aku langsung terduduk lemas. Pasti dia sangat mengantuk
saat naik menyetir sepeda motor. Bukankah Jaka yakin dia akan berumur panjang
dengan pola makannya ? Lalu mengapa dia mati begitu cepat ? Aku tidak dapat menemukan jawabannya dengan
cepat, karena berbagai lintasan ingatan tentang semua sayur mayur mentah yang
telah dilahap Jaka begitu bersemangat.
OoO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya ....