Kamis, 06 September 2012

Persona Non Grata, Novel Yang Membuatku Kehausan

Pengalaman membaca novelku tidak banyak. Aku tahu beberapa teman mampu menamatkan sebuah novel tebal dalam semalam, yang bila aku membacanya baru akan tuntas dalam seminggu. Selain kesibukanku mengurus rumah tangga dan aktifitas di luar rumah (keduanya tidak bisa disambi dengan membaca buku, hehehe), mata minusku akan perih dan berair bila membaca terlalu lama, terutama di malam hari. Tapi selama ini ada dua novel yang membuatku mampu menyelesaikannya dalam 24 jam, dengan meluangkan pekerjaan rumah sekedarnya saja ( atau malah ditunda ...hihihi ) dan mengindahkan pedihnya mata. Ternyata bisa juga kalau dinekadkan ya ?

Novel yang pertama tak perlu kusebutkan di sini, berhasil aku selesaikan dalam satu malam karena aku meminjam dari anak seorang teman yang esok harinya dia sudah harus balik ke kota lain untuk kuliah. 

Dan yang kedua adalah novel Persona Non Grata karya Riawany Elyta, yang menjadi pemenang II Sayembara Menulis Novel Inspiratif Indiva 2010.
Jujur, bukan karena aku mengenal penulisnya, yang membuatku menyelesaikan membaca novel ini dalam 24 jam. Tapi karena kekuatan di bab awalnya telah membuatku kehausan. Memang benar, bab pertama adalah bab penentu pembaca akan meneruskan membaca sampai kata 'the end' atau tidak. Dan aku telah membuktikannya sendiri.








Judul       : Personan Non Grata
Penulis    : Riawany Elyta
Penerbit  : Gizone, Kelompok Indiva Media Kreasi
Tahun     : 2011
Tebal      : 256 halaman


Alur novel ini melompat-lompat. Berpindah dari satu fragmen ke fragmen lainnya. Namun menjelang akhir cerita, semua fragmen yang tersusun, membuat sebuah rangkaian yang unik, yang mementahkan pradugaku tentang ending cerita apalagi dugaan mengalirnya alur. Maka tak heran, sejak bab awal, novel ini membuatku benar-benar kehausan. Tak lega rasanya bila mata ini tidak menuntaskan rasa haus. Dan pedihnya mata karena dipaksa rasa untuk maraton membaca, terbayar dengan bilasan air mata di akhir novel. Halah ... kumat cemennya.

Jadi, ceritanya ada seorang lelaki anak pengusaha kelas wahid di negeri ini bernama Dean Pramudya. Dia hidup dalam kemegahan orang tuanya, tapi memilih jalan yang berbeda. Menjadi leader di sebuah jaringan rahasia, yang meretas rekening-rekening milyader. Memacu adrenalin adalah salah satu tujuannya untuk membentuk Cream Crackers, jaringan yang merekrut mahasiswa-mahasiswa cerdas untuk menyusup ke jaringan internet perbankan dan membobolnya.

Dan sosok Sarah, seorang pelacur korban traficking, adalah tempat Dean menambatkan hati. Sedikit banyak, Sarah mengetahui tentang pekerjaan Dean. Tapi rasa membutuhkan perlindungan laki-laki itu dalam pelariannya, membuatnya tak memprotes tindak kriminal Dean. Well, penulis memang piawai berkisah, hingga tokoh utama yang seorang kriminal, tidak digambarkan sebagai sosok yang kejam dan bengis, tapi menjadi tokoh protagonis yang menawan hati pembaca, termasuk saia ... hehehe. Eh, tapi bukan berarti saya mendukung cyber crime lo yaa.

Dalam pelariannya dari germo, Sarah terdampar di sebuah kawasan kumuh, tempat para pemulung mengais rejeki. Sebuah kejadian, menyebabkan dia mendapat musibah dan dirawat di Rumah Sakit. Yayasan Pelita, tempat Lutfi dan Malika mengabdikan diri, bersedia menampung Sarah yang saat itu diduga menderita amnesia sehingga tidak mengetahui siapa dirinya.
Sementara itu, ada Tante Rowena yang sedang mencari anaknya yang telah lama hilang. Polisi menduga, Sarah adalah anak Tante Rowena. Namun sebelum mereka berdua diperjumpakan, Sarah kembali kabur. Sarah berhasil menghubungi Dean dan Dean membawanya ke sebuah rumah yang akan mereka tempati bersama.
Namun rencana dua sejoli ini berantakan karena Dean ditangkap polisi. Tindak kriminalnya berhasil dibongkar dan Sarah dianggap menjadi saksi kunci yang mengetahui aktifitas Dean.

Hm, hukum memang bisa dibeli di tanah air kita. Demikan pula kisah dalam novel ini. Orang-orang berpengaruh dan berduit tebal, bisa dengan mudah lolos dari jeratan hukum. Dan orang-orang yang tak berdaya, tak bisa berbuat  apa-apa selain menangisi nasibnya di balik jeruji besi.

Novel ini banyak bertutur tentang cyber crime dengan berbagai teknis dan istilah di dalamnya. Walau bagi pembaca awam seperti saya, cukup mengerutkan kening untuk memahaminya, namun kisah serupa kerap saya dengar di dunia nyata. Tentang mahasiswa cerdas tapi nakal yang kerap memusingkan aparat. Bisa menghafal nomor credit card hanya dalam 2 detik. Mencuri mesin telepon kartu ( masih ingat gak jaman telepon kartu ?) dan membuat kartunya sendiri dan dijual murah. Belum lagi sindikat joki yang bisa menghasilkan ratusan juta dalam 2 hari masa UMPTN. Mereka adalah teman-teman dari adik saya sendiri. Mereka hanya semalam saja mendekam di bui. Dan itu tidak sekali, tapi berkali-kali. Sehingga aparat dan mereka seperti layaknya teman. Polisi datang, tangkap, BAP, nginap di bui, besoknya keluar, makan siang bareng, buat ulah lagi.

Kisah tentang ODHA adalah kisah yang selalu menggugah, dan kisah ini memberi warna berbeda di novel ini. Seorang teman di dumay pernah membuat status, apabila ada ODHA sedang berbuat mesum di sebelah anda, anda tidak akan ketularan. Tapi bila ada orang merokok di sebelah anda, anda akan dibunuhnya perlahan-lahan. Jadi, merokok lebih berbahaya daripada HIV. Tapi justru kisah-kisah penyandang HIV lebih mengasah jiwa daripada kisah-kisah perokok. Karena banyak dari mereka yang menjadi ODHA bukan karena dunia asusila mereka, tapi Allah berkehendak demikian melalui jalan yang tak bisa diduga siapa pun.

Hm, bila anda ingin mengetahui tentang cyber crime dan kisah penyandang ODHA, bacalah novel ini. Gak rugi, benerr !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya ....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...