( Cerpen ini dimuat di Radar Bromo, lupa tanggalnya ...hihihi )
Mugi sudah
membulatkan tekad melamar Neneng. Seorang gadis cantik ang tinggal di kecamatan Wonoasih. Menjadi kasir di sebuah
koperasi. Tepat di hadapan bengkelnya yang kerap sepi. Dia sudah tidak tahan
lagi melihat Neneng yang sering digoda teman laki-lakinya. Dia tak rela melihat
Neneng yang marah besar bila teman-teman sekantornya menggodanya. Lalu para
lelaki itu tertawa senang.
Mugi sebenarnya
ingin menolong layaknya pahlawan. Tapi apalah daya. Neneng tidak ada ikatan
dengannya. Mugi hanya kerap menyampaikan salam. Itupun lewat satpam.
Semakin hari, Mugi
semakin geregetan. Baginya Neneng adalah istri idaman. Berjilbab rapi dan
rupawan. Setiap hari, menaiki motor bebeknya dan selalu menjadi karyawan
pertama yang datang. Sudah setahun ini, Mugi mengamati Nenang dari bengkelnya.
Dan dia pun tak tahan untuk mengirim salam setiap hari. Pada satpam koperasi
yang kerap melepas lelah seraya minum kopi, di bengkelnya yang selalu sepi.
“Neneng itu anak
tunggal, “ cerita Mamat, sang satpam koperasi, “bapaknya kerja di Surabaya , ibunya tinggal
di Bondowoso. Kalau mau melamar Nenang, kau harus menghadap bapaknya di Surabaya . Orang-orang di
kantor gak ada yang berani ngelamar Neneng. Katanya, bapaknya sangar. ”
Mugi
cengar-cengir. Orang sangar belum tentu hatinya sangar. Mugi yakin bisa
menaklukkan hati bapaknya Neneng. Dia sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai
macam tipe orang. Yang terasa berat baginya adalah ongkos melamar ke Surabaya yang tidak
murah. Dan untuk itu Mugi harus banting tulang demi mendapatkan Neneng. Maka,
saat Pak Lek-nya memberi dana, tanpa pikir panjang, Mugi melapor pada Mamat, si
mak comblang.
“Aku mau melamar
Neneng. “
Mamat terkejut,
tidak menyangka Mugi nekad melamar. Dipandanginya Mugi dari ujung kepala hingga
ujung kaki. Rambutnya keramas seminggu sekali. Untunglah, bau kecutnya kalah
oleh bau oli. Seragam kerjanya tentu saja baju kumal penuh noda oli yang sudah
bolong di sana
sini. Kakinya tak pernah menyapa alas kaki, meskipun hanya kelompen atau sandal
jepit. Mugi hanya memakai sandal kalau Jum’atan ke mesjid. Itupun setelah sibuk
mencari pinjaman ke sana
sini. Saat itulah dia kelihatan rapih dan bersih. Meski istilah ganteng masih
harus dipikirkan masak-masak untuk menyebutnya walau sekali.
“Aku akan mempertemukan
kau dan Neneng, selesai Jum’atan, “ ucap Mamat bijak, walau dia sangsi Mugi
akan diterima. Dia dan Neneng seperti bumi dan langit.
“Dukung aku, ya
Mat. Kalau dia sudah kulamar, dia tidak akan digoda lagi sama orang-orang di
kantormu. “
Mamat manggut-manggut,
setuju dengan niat baik Mugi. Setidaknya, lelaki di hadapannya adalah lelaki
yang sangat menghormati Neneng. Hanya nitip salam, tidak pernah menggoda
seperti lelaki lain. Walau kere, tapi hatinya kaya. Buktinya, dia mentraktir
Mamat minum kopi siang ini.
“Soal dana
kawin, itu gampang dicari. Aku bisa ngutang sama kamu, kan Mat ?”
Mamat tersedak.
OoO
Tidak disangka,
Mugi ternyata panas dingin begitu dipertemukan dengan Neneng. Padahal, setiap
saat Mugi memantau Neneng dari seberang jalan. Pintu depan koperasi berkaca
bening, tepat di depan kasir. Dan bengkel Mugi, pas lurus di seberang jalan.
Bukankah dia sudah terbiasa melihat Neneng ? Mamat geleng-geleng kepala.
Seingatnya, dia tidak se-grogi Mugi saat apel ke calon istrinya dulu. Pantesan selama
ini Mugi hanya berani titip salam.
“Neng, Mugi mau
melamar kamu, “ ucap Mamat, tandas.
Neneng terkejut.
Mamat sama sekali tidak pantas menjadi mak comblang. Sama sekali tidak ada kata-kata
pembukaan apalagi kata-kata manis yang menyanjung Mugi. Mugi merutuk dalam
hati. Sementara baju kokonya sudah basah oleh keringat dingin. Sarungnya pun,
walau tak melorot, berkali-kali dinaikkannya.
Neneng menatap Mugi
sekilas. Tak pernah dia berharap, bahkan dalam mimpinya sekalipun, akan dilamar
di depan cash registre. Beberapa
pramuria terkikik di balik rak minuman. Beruntung bagi Mugi, teman-teman kantor
Neneng masih belum pulang dari Jum’atan. Kalau tidak, pasti dia ditertawakan
habis-habisan.
“Aku … aku ….”
Mugi tersenyum
gembira. Katanya, kalau gadis tidak bisa ngomong pas dilamar, pertanda dia
menerima. Entah Mugi mendapat info dari siapa.
“Gini aja, Neng.
Baiknya, Mugi ini kamu kasih alamat bapakmu. Biar dia sendiri yang melamar ke
bapakmu, “ saran Mamat lagi, memperjelas keadaan, mempercepat pekerjaan.
Neneng menelan
ludah. Mugi juga. Tapi kemudian Neneng mengangguk. Mengambil secarik kertas dan
menuliskan alamat. Lengkap dengan naik bus kota dan angkot jurusan apa dan turun di
mana.
Mugi mengambil
kertas itu dan pamit dengan sopan setelah membetulkan peci dan sarungnya.
Tinggal Neneng yang masih termangu, tidak percaya pada apa yang baru saja
dialaminya. Diliknya Mugi yang sudah duduk di bengkelnya, tersenyum-senyum
membaca kertas yang diberinya tadi.
“Apa benar,
lelaki itu calon suamiku ?”
Pikiran Neneng
menjadi kacau. Tiba-tiba dilamar orang yang tak terduga. Padahal dia mengira,
salah seorang teman sekantornya yang akan melakukanya lebih dulu. Neneng
bertekad sholat istikharoh semalam suntuk, sebelum menelpon bapaknya.
OoO
Akhirnya Mugi
berhasil menemukan kantor tempat bapak Neneng bekerja, sebuah travel bus antar
provinsi. Setelah salah naik angkot dan terpaksa bertanya ke lebih dari dua
puluh orang. Terik dan ruwetnya Surabaya
telah membuatnya kering. Air mineralnya tandas dan uangnya hanya cukup untuk
ongkos pulang, tentunya tanpa keliru angkot dan bus kota .
Pak Gatot,
lelaki gendut berkumis tebal itu memang layak disebut sangar. Menatap matanya
saja, sudah membuat lutut Mugi gemetaran. Tapi tak mungkin niatnya
dibatalkannya begitu saja. Dia sudah banyak berkorban. Walaupun ditolak, dia
tidak akan patah arang. Setidaknya, dia sudah membuktikan pada Neneng, bahwa
dia serius ingin meminang.
Pak Gatot
tersenyum melihat secarik kertas milik Neneng. Rute bus kota dan angkot. Dia pun mengerti, kenapa
Neneng memberi Mugi rute berputar-putar kota Surabaya hanya untuk
menemui dirinya. Padahal kantornya bisa ditempuh hanya berjalan kaki lima menit saja dari
Terminal Purabaya.
“Hm, Neneng
sudah menelpon kemarin. Katanya Nak Mugi mau melamar Neneng ?”
Mugi mengangguk
hormat.
“Nak Mugi kerja
apa ?” tanya Pak Gatot dengan ramah.
Mugi merasa
lega. Pak Gatot ternyata tidak sesangar wajahnya, seperti perkiraannya. “Saya
kerja di bengkel, Pak. Punya saya sendiri. “
“Hmm. Sudah
mantap mau menikahi anak saya. “
“Iya, Pak. “
“Kalau begitu,
Nak Mugi harus melakukan sesuatu untuk saya. “
“Apa itu, Pak ?”
“Tolong antarkan
bungkusan ini ke istri saya, ibunya Neneng di Bondowoso. Malam ini harus sudah
sampai. Ini alamatnya dan ini ongkosnya. “
Mugi tertegun
melihat amplop dan sebuah kotak mirip kardus sepatu yang dibungkus kertas
sampul, tepat di hadapannya. Bahkan, dia pun diberi ongkos.
“Tapi, dompet
Nak Mugi ditinggal saja di sini. KTP-nya saja yang dibawa. Dan ini alamat rumah
saya di Bondowoso.”
Mugi menelan
ludah. Berkali-kali.
OoO
Mugi mengumpat
berkali-kali dalam hati. Merutuki kebodohannya tanpa suara. Uang di amplop itu
hanya cukup untuk membawanya ke Probolinggo, kotanya sendiri. Mugi merasa, ini
sebuah peringatan halus, bahwa lamarannya ditolak. Dia harus kembali ke
kotanya, kembali mengadu nasib di bengkel sepeda motornya yang selalu sepi.
“Tapi, aku harus
mendapatkan Neneng, “ tekadnya membaja, apalagi membayangkan senyum manis
Neneng pada setiap pengunjung koperasi. Dia ingin memiliki senyum itu setiap
hari. Akan menjadi pelepas lelahnya setelah menutup bengkel.
Maka dia berdiri
di depan terminal Bayuangga, terminal Probolinggo. Melambai-lambai pada truk-truk
yang lewat, berharap mendapat tumpangan. Perutnya sudah melilit, kelaparan. Dan
kerongkongannya kering kerontang. Sementara matahari mulai tergelincir ke barat,
dan sebentar lagi akan ditelan malam. Mugi melirik lelaki di sebelahnya, yang
sedang menunggu bus. Lelaki perlente dengan baju dan celana necis. Dasi dan tas
koper. Dia sibuk menelpon dengan handphone-nya. Andai lelaki ini yang melamar
Neneng, pasti dia bisa sampai di Bondowoso dengan tetap segar bugar.
Mugi
mengeluarkan handphonenya, model paling lawas yang dibelinya dari seorang
teman. Bahkan tak ada pulsa di dalamnya. Mugi putus asa, tak bisa meminta
tolong pada Mamat. Dia hanya bisa berdoa, semoga Tuhan mendatangkan malaikat
penolong baginya.
Sebuah bus
jurusan Bondowoso lewat di hadapannya. Mugi tak berani mengayunkan tangan untuk
memberhentikannya. Namun, seraut wajah menatapnya dari balik kaca jendela bus, di
deretan bangku paling depan. Neneng ! Segera Mugi menghadang truk yang berjalan
pelan di belakang bus yang ditumpangi Neneng. Mugi langsung melompat naik dan
berdiri di jendela sopir.
“Mas ? Ke
Bondowoso ?”
“Kraksaan, Mas.
“
“Aku numpang ya,
Mas. Tolong. Aku harus mengejar calon istriku !” pinta Mugi dengan tampang
memelas. Sebenarnya dia tidak perlu melakukannya, karena wajahnya sudah
mengenaskan.
Sopir itu
mengangguk. Mugi langsung membuka pintu dan duduk dengan lega. Berkali-kali dia
mengucap syukur. Allah telah mengirim sebuah pertolongan. Wajah Neneng yang
telah memompa semangatnya. Dipeluknya bungkusan dari Pak Gatot itu erat-erat.
Dia harus sampai ke Bondowoso malam ini juga.
OoO
Rumah bercat
putih itu tampak bergoyang ke kiri dan ke kanan. Apalagi bila Mugi mengerjapkan
matanya, rumah itu tampak menjadi dua atau tiga, berjejer saling tumpang
tindih. Langkah Mugi terseok-seok. Sudah lewat tengah malam, dan dia telah
menempuh berkilo-kilo meter dari pinggir kota
Bondowoso. Syukurlah, dari Kraksan ke Situbondo, dia mendapat tumpangan seorang
tukang ojek. Dia pun sudah banyak bertanya pada tukang-tukang becak yang sudah
mendengkur di becaknya. Atau satpam bank yang menatap curiga padanya. Ahirnya
dia sampai di rumah Neneng.
“Neneng, aku
sudah tak sanggup lagi …” batin Mugi dalam hati. Bahkan membatin pun Mugi sudah
tak ada tenaga lagi.
Perlahan, dia
membuka pintu pagar dengan langkah lunglai. Memencet bel di tembok, lalu
ndelosor di lantai. Terdengar ayam berkokok di kejauhan. Sebentar lagi subuh.
Pintu terbuka,
dan seorang wanita separuh baya terkejut melihat Mugi, lalu memanggil-manggil
anaknya.
“Neng ! Neneng !
Lihat siapa yang datang !”
Mendengar nama
Neneng disebut, Mugi kontan bisa bersimpuh dengan punggung tegak. Tak kuat lagi
dia mengangkat dengkulnya. Dengan hormat dia menyerahkan bungkusan titipan Pak
Gatot pada wanita di hadapannya. Andai dia masih kuat bicara, dia pasti
berucap, sendiko dawuh…
Neneng muncul di
teras, melotot tak percaya melihat Mugi bersimpuh di hadapan ibunya. Barulah
dia percaya, bahwa mengapa bapaknya setuju menerima Mugi jadi suaminya. Sementara
sang ibu membuka bungkusan dari suaminya, dan membaca surat yang ada di dalamnya.
“Bu, ini uang buat biaya kawin anak kita.
Yang ngantar ini calon mantu kita. “
Mugi langsung
terkapar. Dia merasa bagai di surga. Sempat dia memaki dalam hati pria gendut
berkumis tebal itu. Mengapa hanya mengongkosinya lima
belas ribu, sementara bungkusan yang dipeluknya sejak dari Surabaya itu berisi berjuta-juta.
OoO
Maaf mbak, numpang tanya. Apa ada pemberitahuan dr pihak redaksi kalo cerpen kita dimuat ? Terima kasih
BalasHapus