Minggu, 16 September 2012

MELAMAR NENENG


( Cerpen ini dimuat di Radar Bromo, lupa tanggalnya ...hihihi )

Mugi sudah membulatkan tekad melamar Neneng. Seorang gadis cantik ang tinggal di  kecamatan Wonoasih. Menjadi kasir di sebuah koperasi. Tepat di hadapan bengkelnya yang kerap sepi. Dia sudah tidak tahan lagi melihat Neneng yang sering digoda teman laki-lakinya. Dia tak rela melihat Neneng yang marah besar bila teman-teman sekantornya menggodanya. Lalu para lelaki itu tertawa senang.
Mugi sebenarnya ingin menolong layaknya pahlawan. Tapi apalah daya. Neneng tidak ada ikatan dengannya. Mugi hanya kerap menyampaikan salam. Itupun lewat satpam.
Semakin hari, Mugi semakin geregetan. Baginya Neneng adalah istri idaman. Berjilbab rapi dan rupawan. Setiap hari, menaiki motor bebeknya dan selalu menjadi karyawan pertama yang datang. Sudah setahun ini, Mugi mengamati Nenang dari bengkelnya. Dan dia pun tak tahan untuk mengirim salam setiap hari. Pada satpam koperasi yang kerap melepas lelah seraya minum kopi, di bengkelnya yang selalu sepi.
“Neneng itu anak tunggal, “ cerita Mamat, sang satpam koperasi, “bapaknya kerja di Surabaya, ibunya tinggal di Bondowoso. Kalau mau melamar Nenang, kau harus menghadap bapaknya di Surabaya. Orang-orang di kantor gak ada yang berani ngelamar Neneng. Katanya, bapaknya sangar. ”
Mugi cengar-cengir. Orang sangar belum tentu hatinya sangar. Mugi yakin bisa menaklukkan hati bapaknya Neneng. Dia sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai macam tipe orang. Yang terasa berat baginya adalah ongkos melamar ke Surabaya yang tidak murah. Dan untuk itu Mugi harus banting tulang demi mendapatkan Neneng. Maka, saat Pak Lek-nya memberi dana, tanpa pikir panjang, Mugi melapor pada Mamat, si mak comblang.
“Aku mau melamar Neneng. “
Mamat terkejut, tidak menyangka Mugi nekad melamar. Dipandanginya Mugi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambutnya keramas seminggu sekali. Untunglah, bau kecutnya kalah oleh bau oli. Seragam kerjanya tentu saja baju kumal penuh noda oli yang sudah bolong di sana sini. Kakinya tak pernah menyapa alas kaki, meskipun hanya kelompen atau sandal jepit. Mugi hanya memakai sandal kalau Jum’atan ke mesjid. Itupun setelah sibuk mencari pinjaman ke sana sini. Saat itulah dia kelihatan rapih dan bersih. Meski istilah ganteng masih harus dipikirkan masak-masak untuk menyebutnya walau sekali.
“Aku akan mempertemukan kau dan Neneng, selesai Jum’atan, “ ucap Mamat bijak, walau dia sangsi Mugi akan diterima. Dia dan Neneng seperti bumi dan langit.
“Dukung aku, ya Mat. Kalau dia sudah kulamar, dia tidak akan digoda lagi sama orang-orang di kantormu. “
Mamat manggut-manggut, setuju dengan niat baik Mugi. Setidaknya, lelaki di hadapannya adalah lelaki yang sangat menghormati Neneng. Hanya nitip salam, tidak pernah menggoda seperti lelaki lain. Walau kere, tapi hatinya kaya. Buktinya, dia mentraktir Mamat minum kopi siang ini.
“Soal dana kawin, itu gampang dicari. Aku bisa ngutang sama kamu, kan Mat ?”
Mamat tersedak.
OoO
Tidak disangka, Mugi ternyata panas dingin begitu dipertemukan dengan Neneng. Padahal, setiap saat Mugi memantau Neneng dari seberang jalan. Pintu depan koperasi berkaca bening, tepat di depan kasir. Dan bengkel Mugi, pas lurus di seberang jalan. Bukankah dia sudah terbiasa melihat Neneng ? Mamat geleng-geleng kepala. Seingatnya, dia tidak se-grogi Mugi saat apel ke calon istrinya dulu. Pantesan selama ini Mugi hanya berani titip salam.
“Neng, Mugi mau melamar kamu, “ ucap Mamat, tandas.
Neneng terkejut. Mamat sama sekali tidak pantas menjadi mak comblang. Sama sekali tidak ada kata-kata pembukaan apalagi kata-kata manis yang menyanjung Mugi. Mugi merutuk dalam hati. Sementara baju kokonya sudah basah oleh keringat dingin. Sarungnya pun, walau tak melorot, berkali-kali dinaikkannya.
Neneng menatap Mugi sekilas. Tak pernah dia berharap, bahkan dalam mimpinya sekalipun, akan dilamar di depan cash registre. Beberapa pramuria terkikik di balik rak minuman. Beruntung bagi Mugi, teman-teman kantor Neneng masih belum pulang dari Jum’atan. Kalau tidak, pasti dia ditertawakan habis-habisan.
“Aku … aku ….”
Mugi tersenyum gembira. Katanya, kalau gadis tidak bisa ngomong pas dilamar, pertanda dia menerima. Entah Mugi mendapat info dari siapa.
“Gini aja, Neng. Baiknya, Mugi ini kamu kasih alamat bapakmu. Biar dia sendiri yang melamar ke bapakmu, “ saran Mamat lagi, memperjelas keadaan, mempercepat pekerjaan.
Neneng menelan ludah. Mugi juga. Tapi kemudian Neneng mengangguk. Mengambil secarik kertas dan menuliskan alamat. Lengkap dengan naik bus kota dan angkot jurusan apa dan turun di mana.
Mugi mengambil kertas itu dan pamit dengan sopan setelah membetulkan peci dan sarungnya. Tinggal Neneng yang masih termangu, tidak percaya pada apa yang baru saja dialaminya. Diliknya Mugi yang sudah duduk di bengkelnya, tersenyum-senyum membaca kertas yang diberinya tadi.
“Apa benar, lelaki itu calon suamiku ?”
Pikiran Neneng menjadi kacau. Tiba-tiba dilamar orang yang tak terduga. Padahal dia mengira, salah seorang teman sekantornya yang akan melakukanya lebih dulu. Neneng bertekad sholat istikharoh semalam suntuk, sebelum menelpon bapaknya.
OoO
Akhirnya Mugi berhasil menemukan kantor tempat bapak Neneng bekerja, sebuah travel bus antar provinsi. Setelah salah naik angkot dan terpaksa bertanya ke lebih dari dua puluh orang. Terik dan ruwetnya Surabaya telah membuatnya kering. Air mineralnya tandas dan uangnya hanya cukup untuk ongkos pulang, tentunya tanpa keliru angkot dan bus kota.
Pak Gatot, lelaki gendut berkumis tebal itu memang layak disebut sangar. Menatap matanya saja, sudah membuat lutut Mugi gemetaran. Tapi tak mungkin niatnya dibatalkannya begitu saja. Dia sudah banyak berkorban. Walaupun ditolak, dia tidak akan patah arang. Setidaknya, dia sudah membuktikan pada Neneng, bahwa dia serius ingin meminang.
Pak Gatot tersenyum melihat secarik kertas milik Neneng. Rute bus kota dan angkot. Dia pun mengerti, kenapa Neneng memberi Mugi rute berputar-putar kota Surabaya hanya untuk menemui dirinya. Padahal kantornya bisa ditempuh hanya berjalan kaki lima menit saja dari Terminal Purabaya.
“Hm, Neneng sudah menelpon kemarin. Katanya Nak Mugi mau melamar Neneng ?”
Mugi mengangguk hormat.
“Nak Mugi kerja apa ?” tanya Pak Gatot dengan ramah.
Mugi merasa lega. Pak Gatot ternyata tidak sesangar wajahnya, seperti perkiraannya. “Saya kerja di bengkel, Pak. Punya saya sendiri. “
“Hmm. Sudah mantap mau menikahi anak saya. “
“Iya, Pak. “
“Kalau begitu, Nak Mugi harus melakukan sesuatu untuk saya. “
“Apa itu, Pak ?”
“Tolong antarkan bungkusan ini ke istri saya, ibunya Neneng di Bondowoso. Malam ini harus sudah sampai. Ini alamatnya dan ini ongkosnya. “
Mugi tertegun melihat amplop dan sebuah kotak mirip kardus sepatu yang dibungkus kertas sampul, tepat di hadapannya. Bahkan, dia pun diberi ongkos.
“Tapi, dompet Nak Mugi ditinggal saja di sini. KTP-nya saja yang dibawa. Dan ini alamat rumah saya di Bondowoso.”
Mugi menelan ludah. Berkali-kali.
OoO
Mugi mengumpat berkali-kali dalam hati. Merutuki kebodohannya tanpa suara. Uang di amplop itu hanya cukup untuk membawanya ke Probolinggo, kotanya sendiri. Mugi merasa, ini sebuah peringatan halus, bahwa lamarannya ditolak. Dia harus kembali ke kotanya, kembali mengadu nasib di bengkel sepeda motornya yang selalu sepi.
“Tapi, aku harus mendapatkan Neneng, “ tekadnya membaja, apalagi membayangkan senyum manis Neneng pada setiap pengunjung koperasi. Dia ingin memiliki senyum itu setiap hari. Akan menjadi pelepas lelahnya setelah menutup bengkel.
Maka dia berdiri di depan terminal Bayuangga, terminal Probolinggo. Melambai-lambai pada truk-truk yang lewat, berharap mendapat tumpangan. Perutnya sudah melilit, kelaparan. Dan kerongkongannya kering kerontang. Sementara matahari mulai tergelincir ke barat, dan sebentar lagi akan ditelan malam. Mugi melirik lelaki di sebelahnya, yang sedang menunggu bus. Lelaki perlente dengan baju dan celana necis. Dasi dan tas koper. Dia sibuk menelpon dengan handphone-nya. Andai lelaki ini yang melamar Neneng, pasti dia bisa sampai di Bondowoso dengan tetap segar bugar.
Mugi mengeluarkan handphonenya, model paling lawas yang dibelinya dari seorang teman. Bahkan tak ada pulsa di dalamnya. Mugi putus asa, tak bisa meminta tolong pada Mamat. Dia hanya bisa berdoa, semoga Tuhan mendatangkan malaikat penolong baginya.
Sebuah bus jurusan Bondowoso lewat di hadapannya. Mugi tak berani mengayunkan tangan untuk memberhentikannya. Namun, seraut wajah menatapnya dari balik kaca jendela bus, di deretan bangku paling depan. Neneng ! Segera Mugi menghadang truk yang berjalan pelan di belakang bus yang ditumpangi Neneng. Mugi langsung melompat naik dan berdiri di jendela sopir.
“Mas ? Ke Bondowoso ?”
“Kraksaan, Mas. “
“Aku numpang ya, Mas. Tolong. Aku harus mengejar calon istriku !” pinta Mugi dengan tampang memelas. Sebenarnya dia tidak perlu melakukannya, karena wajahnya sudah mengenaskan.
Sopir itu mengangguk. Mugi langsung membuka pintu dan duduk dengan lega. Berkali-kali dia mengucap syukur. Allah telah mengirim sebuah pertolongan. Wajah Neneng yang telah memompa semangatnya. Dipeluknya bungkusan dari Pak Gatot itu erat-erat. Dia harus sampai ke Bondowoso malam ini juga.
OoO
Rumah bercat putih itu tampak bergoyang ke kiri dan ke kanan. Apalagi bila Mugi mengerjapkan matanya, rumah itu tampak menjadi dua atau tiga, berjejer saling tumpang tindih. Langkah Mugi terseok-seok. Sudah lewat tengah malam, dan dia telah menempuh berkilo-kilo meter dari pinggir kota Bondowoso. Syukurlah, dari Kraksan ke Situbondo, dia mendapat tumpangan seorang tukang ojek. Dia pun sudah banyak bertanya pada tukang-tukang becak yang sudah mendengkur di becaknya. Atau satpam bank yang menatap curiga padanya. Ahirnya dia sampai di rumah Neneng.
“Neneng, aku sudah tak sanggup lagi …” batin Mugi dalam hati. Bahkan membatin pun Mugi sudah tak ada tenaga lagi.
Perlahan, dia membuka pintu pagar dengan langkah lunglai. Memencet bel di tembok, lalu ndelosor di lantai. Terdengar ayam berkokok di kejauhan. Sebentar lagi subuh.
Pintu terbuka, dan seorang wanita separuh baya terkejut melihat Mugi, lalu memanggil-manggil anaknya.
“Neng ! Neneng ! Lihat siapa yang datang !”
Mendengar nama Neneng disebut, Mugi kontan bisa bersimpuh dengan punggung tegak. Tak kuat lagi dia mengangkat dengkulnya. Dengan hormat dia menyerahkan bungkusan titipan Pak Gatot pada wanita di hadapannya. Andai dia masih kuat bicara, dia pasti berucap, sendiko dawuh…
Neneng muncul di teras, melotot tak percaya melihat Mugi bersimpuh di hadapan ibunya. Barulah dia percaya, bahwa mengapa bapaknya setuju menerima Mugi jadi suaminya. Sementara sang ibu membuka bungkusan dari suaminya, dan membaca surat yang ada di dalamnya.
Bu, ini uang buat biaya kawin anak kita. Yang ngantar ini calon mantu kita.
Mugi langsung terkapar. Dia merasa bagai di surga. Sempat dia memaki dalam hati pria gendut berkumis tebal itu. Mengapa hanya mengongkosinya lima belas ribu, sementara bungkusan yang dipeluknya sejak dari Surabaya itu berisi berjuta-juta.
OoO

1 komentar:

  1. Maaf mbak, numpang tanya. Apa ada pemberitahuan dr pihak redaksi kalo cerpen kita dimuat ? Terima kasih

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya ....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...