Senin, 10 September 2012

Janji Para Lelaki, Jangan Mudah Berjanji Bila tak Hendak Menepati


Novel ini mendapatkan Penghargaan Terbaik Nasional Festival Novel Menggugah 2009.
“Ini bukan kisah mimpi, tapi cerita memenuhi janji yang acap tak tertepati. Juga bergulat pada peneguhan jati diri : membawakan panji-panji dalam kafilah Paderi melawan kompeni “
Dua kalimat di cover depan novel ini telah membuatku menyeretnya ke kasir. Pasti ada yang hebat di dalamnya. Kalau tidak, mana mungkin akan memenangkan penghargaan. Ditambah settingnya di Minangkabau. Serasa menemukan jalan untuk semakin menyelami budaya suami sendiri J.
Sebelumnya, aku membayangkan akan berurai air mata membaca Janji Para Lelaki. Ternyata aku keliru. Menggugah di sini, tidak identik dengan air mata. Tapi membawa ke sebuah perenungan tentang makna menepati janji. Sungguh cocok dengan kejadian akhir-akhir ini, yang kerap aku alami. Alangkah mudahnya, melalaikan bahkan mengingkari janji. Padahal sudah berhijab rapi dan hafal sebuah hadits tentang kaum munafiqin, yang salah satunya bercirikan ingkar janji. Seharusnya, buku ini aku pinjamkan pada mereka-mereka yang kerap abai dan lalai pada janji.
Janji Para Lelaki mengisahkan tentang 3 orang lelaki. Syahdan, Sutan Matari dan Johan. Mengambil setting tanah Minangkabau di tahun 1803, semasa Paderi mengangkat senjata melawan Belanda. Tutur bahasanya, melayu banget.  Tak berbeda dengan Layar Terkembang atau Salah Asuhan yang pernah kubaca. Sehingga bagi orang jawa tulen seperti aku, kerap bertanya pada suami. Walau, kalau dibaca satu atau dua kali sebenarnya mudah dimengerti, tapi bertanya pada orang Minang asli, terasa lebih pas di hati.
Syahdan berjanji menikahi Marani. Tapi dia juga terikat janji pada ayahnya. Sebelum meninggal, ayahnya berwasiat agar Syahdan tidak menikah dulu sebelum menikahkan Salma, adiknya dan membelikan Salma sebidang tanah. Syahdan yang bekerja di lapau ( toko ) kain milik Sutan Matari, tidak bisa segera memenuhi janji karena gajinya tidak mencukupi. Sementara Marani diguna-guna oleh orang yang sakit hati karena lamarannya ditolak. Syahdan harus segera menikahi Marani, tapi Amaknya ( ibunya ) tidak mengijinkan sebelum membelikan Salma tanah sawah.
Sutan Matari semula adalah lelaki yang terlilit hutang. Dia menerima pinangan ayah Bulan, seorang lelaki cukup berada.  Sutan Matari menikahi Bulan dengan sebuah janji, bahwa dia akan menjaga Bulan dan toko kainnya. Namun Bulan ternyata seorang istri yang bertindak semena-mena pada Sutan Matari. Menjatah makan dan uangnya setiap minggu. Dan kerap mempermalukan Sutan Matari di depan umum. Sehingga Sutan Matari dikenal sebagai suami yang takut istri. Johan hadir untuk mengembalikan kehormatan Sutan Matari sebagai suami.
Johan berjanji pada Mamanya untuk selalu berpihak pada pribumi. Walau dia menjabat sebagai seorang Letnan Belanda, tapi dia selalu berusaha memenuhi janjinya. Karena dalam dirinya mengalir darah pribumi. Hal ini yang kerap menjadi olok-olok Moore, saingannya dalam merebut hati Mary, sang pujaan hati. Walau semua pejabat Belanda kerap member janji palsu pada pribumi, Johan tetap bersikukuh untuk berpihak pada pribumi. Baginya, Belanda hanya berperang melawan Paderi, bukan pribumi.
Ketiganya, Syahdan, Sutan Matari dan Moore saling berkaitan dalam kisah ini. Berbagai konflik yang muncul, membuat  tak bisa menebak bagaimana sang penulis akan mengakhiri novel ini.
Kelicikan Belanda, terpapar jelas. Bagaimana muslihat Johan menjadikan Sutan Matari sebagai mata-matanya, untuk memantau gerak-gerik di markas Paderi. Bagaimana pula Sutan Matari belajar dari Johan, untuk membujuk Syahdan menjadi anak buahnya. Padahal, Syahdan jelas-jelas anggota Paderi.
Setiap janji, memerlukan pengorbanan untuk dipenuhi. Dan setiap manusia, tidak sama cara berkorbannya. Terkadang, hanya karena materi, janji sudah lupa ditepati. Syahdan, tokoh utama di novel ini, bukanlah sosok sempurna. Inilah yang menarik di novel ini. Penggambaran karakter Syahdan begitu alami dan manusiawi. Bahwa walapun dia kokoh memegang syariat dan berdiri di jalan jihad Paderi, dia pun tanpa sadar tergelincir menjadi kaki tangan Belanda.
Secara keseluruhan, membaca novel ini membuat kita mengenal budaya Minangkabau beserta seluk beluk adat istiadatnya. Beberapa istilah yang digunakan, terdapat penjelasan lugas dan jelas. Sehingga membacanya serasa berada di tanah Minang. Semula saya berharap, segmen pertempuran Paderi melawan Belanda, terasa kuat ruh pertempurannya. Mengerikan dan menegangkan. Tapi hal itu tidak ditemukan dalam novel ini. Mungkin karena, Paderi hanya setting dari novel ini, jadi tidak perlu dibahas terlalu mendalam. Misi utama adalah menyadarkan para pembaca, alangkah sulitnya memenuhi janji. Maka jangan mudah berjanji, bila tak hendak menepati.







1 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya ....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...