Novel ini mendapatkan
Penghargaan Terbaik Nasional Festival Novel Menggugah 2009.
“Ini bukan
kisah mimpi, tapi cerita memenuhi janji yang acap tak tertepati. Juga bergulat
pada peneguhan jati diri : membawakan panji-panji dalam kafilah Paderi melawan
kompeni “
Dua kalimat
di cover depan novel ini telah membuatku menyeretnya ke kasir. Pasti ada yang
hebat di dalamnya. Kalau tidak, mana mungkin akan memenangkan penghargaan.
Ditambah settingnya di Minangkabau. Serasa menemukan jalan untuk semakin
menyelami budaya suami sendiri J.
Sebelumnya,
aku membayangkan akan berurai air mata membaca Janji Para Lelaki. Ternyata aku
keliru. Menggugah di sini, tidak identik dengan air mata. Tapi membawa ke
sebuah perenungan tentang makna menepati janji. Sungguh cocok dengan kejadian
akhir-akhir ini, yang kerap aku alami. Alangkah mudahnya, melalaikan bahkan
mengingkari janji. Padahal sudah berhijab rapi dan hafal sebuah hadits tentang
kaum munafiqin, yang salah satunya bercirikan ingkar janji. Seharusnya, buku
ini aku pinjamkan pada mereka-mereka yang kerap abai dan lalai pada janji.
Janji Para
Lelaki mengisahkan tentang 3 orang lelaki. Syahdan, Sutan Matari dan Johan.
Mengambil setting tanah Minangkabau di tahun 1803, semasa Paderi mengangkat
senjata melawan Belanda. Tutur bahasanya, melayu banget. Tak berbeda dengan Layar Terkembang atau
Salah Asuhan yang pernah kubaca. Sehingga bagi orang jawa tulen seperti aku,
kerap bertanya pada suami. Walau, kalau dibaca satu atau dua kali sebenarnya mudah
dimengerti, tapi bertanya pada orang Minang asli, terasa lebih pas di hati.
Syahdan
berjanji menikahi Marani. Tapi dia juga terikat janji pada ayahnya. Sebelum
meninggal, ayahnya berwasiat agar Syahdan tidak menikah dulu sebelum menikahkan
Salma, adiknya dan membelikan Salma sebidang tanah. Syahdan yang bekerja di
lapau ( toko ) kain milik Sutan Matari, tidak bisa segera memenuhi janji karena
gajinya tidak mencukupi. Sementara Marani diguna-guna oleh orang yang sakit
hati karena lamarannya ditolak. Syahdan harus segera menikahi Marani, tapi
Amaknya ( ibunya ) tidak mengijinkan sebelum membelikan Salma tanah sawah.
Sutan Matari
semula adalah lelaki yang terlilit hutang. Dia menerima pinangan ayah Bulan,
seorang lelaki cukup berada. Sutan
Matari menikahi Bulan dengan sebuah janji, bahwa dia akan menjaga Bulan dan
toko kainnya. Namun Bulan ternyata seorang istri yang bertindak semena-mena
pada Sutan Matari. Menjatah makan dan uangnya setiap minggu. Dan kerap
mempermalukan Sutan Matari di depan umum. Sehingga Sutan Matari dikenal sebagai
suami yang takut istri. Johan hadir untuk mengembalikan kehormatan Sutan Matari
sebagai suami.
Johan
berjanji pada Mamanya untuk selalu berpihak pada pribumi. Walau dia menjabat
sebagai seorang Letnan Belanda, tapi dia selalu berusaha memenuhi janjinya.
Karena dalam dirinya mengalir darah pribumi. Hal ini yang kerap menjadi
olok-olok Moore, saingannya dalam merebut hati Mary, sang pujaan hati. Walau
semua pejabat Belanda kerap member janji palsu pada pribumi, Johan tetap
bersikukuh untuk berpihak pada pribumi. Baginya, Belanda hanya berperang
melawan Paderi, bukan pribumi.
Ketiganya,
Syahdan, Sutan Matari dan Moore saling berkaitan dalam kisah ini. Berbagai
konflik yang muncul, membuat tak bisa
menebak bagaimana sang penulis akan mengakhiri novel ini.
Kelicikan
Belanda, terpapar jelas. Bagaimana muslihat Johan menjadikan Sutan Matari
sebagai mata-matanya, untuk memantau gerak-gerik di markas Paderi. Bagaimana
pula Sutan Matari belajar dari Johan, untuk membujuk Syahdan menjadi anak
buahnya. Padahal, Syahdan jelas-jelas anggota Paderi.
Setiap
janji, memerlukan pengorbanan untuk dipenuhi. Dan setiap manusia, tidak sama
cara berkorbannya. Terkadang, hanya karena materi, janji sudah lupa ditepati.
Syahdan, tokoh utama di novel ini, bukanlah sosok sempurna. Inilah yang menarik
di novel ini. Penggambaran karakter Syahdan begitu alami dan manusiawi. Bahwa
walapun dia kokoh memegang syariat dan berdiri di jalan jihad Paderi, dia pun
tanpa sadar tergelincir menjadi kaki tangan Belanda.
Secara
keseluruhan, membaca novel ini membuat kita mengenal budaya Minangkabau beserta
seluk beluk adat istiadatnya. Beberapa istilah yang digunakan, terdapat
penjelasan lugas dan jelas. Sehingga membacanya serasa berada di tanah Minang.
Semula saya berharap, segmen pertempuran Paderi melawan Belanda, terasa kuat
ruh pertempurannya. Mengerikan dan menegangkan. Tapi hal itu tidak ditemukan
dalam novel ini. Mungkin karena, Paderi hanya setting dari novel ini, jadi
tidak perlu dibahas terlalu mendalam. Misi utama adalah menyadarkan para
pembaca, alangkah sulitnya memenuhi janji. Maka jangan mudah berjanji, bila tak
hendak menepati.
Bagaimana nak dapatkan buku ini
BalasHapus