( Cerpen ini adalah cerpen pertamaku yang dimuat di Colosseum Radar Bromo - sekarang Ruang Publik Radar Bromo . Dimuatnya cerpen ini melecutkan semangatku untuk menulis lagi setelah mati suri menulis selama 5 tahun )
Setidaknya aku
bukan maling ayam seperti seorang lelaki ceking yang meringkuk di pojok sel.
Asyik menekan-nekan memar di kedua kakinya. Juga di sepanjang kedua lengannya.
Wajah serta lehernya. Yang aku yakin, semuanya bekas tendangan kaki warga yang
menangkapnya. Bengkak dan merahnya, membuat aku meringis.
Setidaknya aku
juga bukan maling keperawanan gadis tetangga, seperti lelaki bertato yang tidur
mendengkur sejak tadi. Sepertinya, dia puas sekali dengan tindak kejahatan yang
dilakukannya dua hari yang lalu. Dan tampak jelas, dia juga masuk ke dalam sel ini dengan kenikamatan, alias
hampir tidak ada luka di tubuhnya.
Dan, aku juga
bukan maling uang rakyat, seperti seoarang anggota dewan yang duduk dia lantai menyandar
di tembok sel yang dingin, dengan baju masih rapi dan necis. Tampak sekali dia
tidak nyaman dengan ruangan pengap, kotor, dan bau keringat berkolaborasi
dengan daki dari masing –masing penghuninya.
Tapi, dengan
berada dalam sel ini, bukan berarti aku bukan maling. Aku juga maling, tapi
tidak seperti mereka bertiga.
“Kamu cuma
pinjam uang ?” tanya si maling ayam, penghuni pertama sel, sebelum aku dan si
lelaki bertato.
Aku mengangguk
ringan. Si Maling ayam memandangiku dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
“Ya … dan aku
berniat mengembalikannya ….. kapan-kapan
…”
Si maling ayam
tertawa kering. Aku yakin, dia pun pasti sama denganku. Hanya meminjam ayam untuk
sementara, dan kalau sudah punya ayam, pasti akan dikembalikannya.
Bukankah, pada
dasarnya, manusia tidak akan menjadi maling kalau dia tidak sedang membutuhkan
?
Si lelaki
bertato masuk keeesokan harinya sambil memelintir cambangnya yang tidak lebat.
Dia tersenyum, puas tapi getir.
“Kau juga
berniat mengembalikan apa yang kau curi ?” tanya si maling ayam polos.
“He… he …. Tentu
saja tidak. Tidak akan ada gantinya, kecuali aku dikawinkan sama dia … he … he
… “
Dia kembali
terkekeh, puas tapi getir. Aku memandangnya jijik. Aku sendiri, walau cintaku
ditolak oleh Sutin, aku tidak pernah terpikir untuk menghamililnya. Aku masih punya
rasa hormat pada wanita tentang satu hal itu.
Aku cuma
meminjam uang dari koperasi tempatku bekerja. Aku cuma ingin menyenangkan hati
Lik Mi, janda tua yang membesarkanku. Dia selalu merengek-rengek bila melihatku
menghitung uang kreditan dari nasabah
yang belum kusetor ke koperasi. Dia selalu mengungkit-ungkit masa kecilku yang
ditinggal begitu saja oleh emak dan bapakku. Kurus, kering, korengan, tidak
terurus. Kalau saja tidak ada dia, aku pasti sudah membusuk di tempat sampah. Dia
selalu menghitung-hitung biaya yang dia keluarkan untuk menyekelohkanku, dan
belum ada yang kukembalikan padanya.
Dan wajah
keriputnya begitu bercahaya saat uang setoran satu minggu itu ada di tangannya.
Dia menatapku takjub seolah melihat malaikat yang turun dari langit. Dan omelannya
pun tidak terdengar lagi sampai beberapa hari,
bahkan sampai hari ini, karena tentu saja aku sudah meringkuk dalam sel.
“Cuma lima juta ?” cibir si necis,
sang maling uang rakyat.
Aku mengangguk.
Si necis tergelak. Aku hanya diam. Aku yakin, yang dia maling pasti ratusan
kali lipatku. Dan dia bisa tertawa begitu enaknya. Tapi di ruang pesakitan ini,
bukan saatnya lagi aku membicarakan hal itu dengan berapi-api seperti biasanya
dengan sesama teman, sambil minum kopi hangat di warung.
“Lek Mi pasti
akan datang ….. menebusku ….” gumamku pelan, “aku tahu, dia sangat sayang
padaku, dan tidak bisa hidup sendirian.”
***
Si necis keluar
dalam tiga hari, entah kenapa. Mungkin dia bebas atau pindah sel ke polres. Si
lelaki bertato menyusul siang harinya. Katanya, dia jadi dikawinkan sama gadis
yang telah dia maling keperawanannya. Tinggal si maling ayam. Siapa yang mau
menebus dia ? Ternyata, emaknya menebus dia sehari kemudian. Aku yakin, di
rumahnya emaknya menggelar syukuran sembari menyembelih ayam.
Seorang lelaki
datang tergesa siang itu, menghampiri selku. Pak RT.
“Jok….. lek
Mi mati …. “ bisiknya dari balik jeruji
sel, “semalam dia dirampok.”
Aku menatap ke
luar sel. Wajah bercahaya Lek Mi tiba-tiba memudar dalam pandanganku. Kulihat
ada seorang lelaki dipapah dua polisi menuju ke arah selku. Sepertinya, timah
panas telah menembus betisnya.
Pak RT kembali
berbisik, “Dia rampoknya ….”
Maaf kak, mau tanya. Apa ada pemberitahuan kalau tulisannya ditolak oleh radar bromo? Dan jangka waktu bahwa cerpen tersebut ditolak berapa hari atau minggu ya? Terimakasih
BalasHapus