Jumat, 14 Oktober 2011

RUMAH IMPIAN

Cerpen dan puisiku ini tidak lolos di Lomba JUARA Group Taman Sastra

Rumah berlantai dua adalah rumah impian Karina. Dengan tangga berpagar menuju lantai dua. Hanya ada satu kamar di lantai dua, yaitu kamar Karina. Kamar Dian, Meta dan Nurin harus di lantai bawah. Karina tidak mau lagi tidur satu kamar dengan salah satu dari ketiga kakak perempuannya yang menurutnya sangat bawel.
Hafsa hanya geleng-geleng kepala setiap mendengar rengekan Karina. Bagaimana mungkin dia memenuhi keinginan si bungsu dalam sekejap mata. Kalau dia merengek-rengek meminta dibelikan es lilin, dalam tiga menit Hafsa sudah bisa mendapatkannya di tetangga sebelah.
“Karina, membeli rumah tidak seperti membeli es, sayang. Harganya mahal. “ kata Hafsa berusaha meredam rengekan Karina.
Sepulang sekolah, dia kembali merengek minta pindah ke rumah berlantai dua.
“Ayolah, Bu …kita pindah ke rumah tingkat. Ayo buuuu…” rengeknya, masih dengan seragam, tas dan sepatu masih melekat di tubuhnya.
“Karina, ibu kan sudah mengatakan berkali-kali. Kita tidak akan pindah rumah. Rumah kita ini baru saja lunas. Tidak lucu kalau kita harus pindah rumah, kan ?”
“Tapi aku mau rumah yang berlantai dua. Seperti rumah Kiki dan Endah, buuu.”
Hafsa geleng-geleng kepala. Percuma memberi pengertian pada anak berumur tujuh tahun. Mana peduli dia dengan cicilan rumah yang baru saja lunas. Apa pentingnya bagi dia merasa lega sudah tidak punya hutang lagi. Bagi dia, apa yang dia inginkan haruslah terwujud seketika itu juga.
“Ayoo buu…. Aku mau kamar sendiri. Aku tidak mau lagi satu kamar sama Kak Dian. Apalagi sama Kak Nurin atau Kak Meta. Mereka semuanya cerewet !”
“Sudah. Sebaiknya kamu ganti baju dulu. Tasnya disimpan di lemari. Sepatunya diletakkan di rak sepatu. Setelah itu makan. Ibu masak semur tahu kesukaan kamu.”
“Tapi ibu janji dulu. Kita harus pindah ke rumah tingkat !”
Hafsa mengangguk.
“Benar bu ?” tanya Karina dengan wajah sumringah.
“Ibu janji untuk membicarakannya dengan ayah. Bagaimana ?”
“Oke !”
Dan tubuh lincah Karina berlalu dari hadapan ibunya sambil melompat-lompat kegirangan.
OoO
Hafsa tidak mau memberi harapan pada Karina. Gadis kecil itu akan menagih terus menerus sampai keinginannya terpenuhi. Hafsa khawatir bila dia tidak bisa memenuhinya, maka gadis itu akan sangat kecewa.
“Sebenarnya apa yang menyebabkan dia begitu antusias untuk tinggal di rumah tingkat ?” tanya Andri pada Hafsa.
Hafsa menatap wajah suaminya. Rupanya Karina sudah mendahuluinya berbicara masalah rumah tingkat itu. Hafsa memang belum menyampaikan keinginan Karina, karena dia tidak ingin membebani suaminya dengan permintaan konyol anaknya. Lelaki itu sudah begitu lelah di kantor. Dia benar-benar ayah yang bertanggung jawab pada keluarganya. Beberapa tahun terakhir dia sering lembur, hanya untuk mengejar gaji tambahan. Melunasi cicilan rumah sebelum jatuh tempo adalah target utamanya. Karena jauh hari sebelumnya dia sudah memperhitungkan, bila dalam beberapa tahun masih harus menanggung cicilan rumah, maka biaya sekolah anak-anak akan masuk ke dalam daftar hutang baru.
“Ah, biasa anak kecil, Mas. Apa yang dimiliki temannya, dia pasti menginginkannya juga. Tidak usah terlalu dipikirkan. “ sahut Hafsa sambil merebahkan kepalanya di lengan suaminya.
Hari sudah menjelang tengah malam. Saatnya Hafsa bercengkerama dengan suami tercinta. Anak-anak sudah terlelap sejak satu jam yang lalu. Walaupun didahului dengan rengekan Karina yang tidak mau seranjang dengan Meta, kakaknya yang sudah duduk di bangku SMU.
“Sudah berapa lama dia merengek minta pindah ?” tanya Andri.
Hafsa mengernyitkan kening. Dia tidak menyangka, suaminya masih memikirkan Karina.
“Tidak usah dipikir, Mas. Lama-lama Karina juga akan lupa. “
“Tidak, dik. Karina itu tidak seperti Meta, Dian atau Nurin. Kalau dia punya keinginan dan tidak kita penuhi, dia pasti sakit. “
Hafsa bangkit dari tidurnya, lalu duduk menghadap suaminya.
“Mas, kita jangan berpikiran seperti itu. Kalau kita berpikiran dia akan sakit kalau tidak kita turuti keinginannya, dia akan benar-benar jatuh sakit. Lagipula, yang dia minta itu rumah. Ini tidak sama dengan mainan atau makanan, Mas. Mas tahu sendiri bagaimana akhirnya rumah ini bisa lunas. Aku tidak mau Mas lembur lagi, hanya karena menuruti keinginan konyol Karina. Mas sampai kena paru-paru basah kan ? Tolong dipikir sampai ke sana, Mas …..”
Andri meraih tangan istrinya, lalu meremasnya dengan lembut. Senyum mengembang di wajah lelahnya.
“Dik … apa kamu ingat terakhir kali Karina diopname ? Sakit apa itu ? Maag ?”
Hafsa geleng-geleng kepala mengingat kejadian delapan bulan yang lalu itu. Masa-masa sulit bagi keluarga mereka. Karina tinggal tulang berbalut kulit, karena setiap makanan yang masuk ke mulutnya langsung dimuntahkan begitu saja. Sementara Meta sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir.
“Waktu itu … dia sangat menginginkan sebuah rumah boneka yang dilihatnya di supermarket. Kita sengaja tidak membelikannya. Selain harganya sangat mahal, dia juga sudah mempunyai rumah boneka yang ukurannya lebih kecil. “
“Mas ….”
“Sepertinya, Karina sangat tertarik dengan arsitektur. Dia selalu menginginkan rumah yang terbaik. ”
Hafsa kembali geleng-geleng kepala. Kalau menyinggung masalah arsitektur, maka itu adalah cita-cita Andri yang tidak pernah kesampaian. Gawat. Sang ayah ini akan melakukan apa saja demi mewujudkan garis bakat itu pada putrinya.
“Mas …. Hafsa itu masih kecil….”
Andri menatap istrinya. Mengecup keningnya dengan mesra, lalu keluar dari kamar.
“Mas mau kemana ?”
“Aku mau melihat Karina. “
Hafsa mendesah. Melihat wajah polos Karina saat tidur, pasti bisa meluluhkan hati siapa saja. Tapi sejurus Andri kembali masuk ke dalam kamar dengan wajah tegang.
“Karina tidak ada di kamar !” pekiknya panik.
OoO
Karina ditemukan oleh seorang tukang bakso, lima puluh meter dari rumahnya. Tukang bakso itu yang menghentikan langkah Karina. Gadis itu berjalan sambil tidur.
“Terima kasih, Pak !” ucap Andri terbata pada tukang bakso itu.
Hafsa tak henti-hentinya menciumi gadis kecilnya sambil berurai air mata. Sementara Meta dan Dian masih mengucek-ucek kedua matanya, berusaha melek.
“Kamu bagaimana Meta ? Masa tidak tahu kalau adiknya keluar kamar ?” tanya Andri pada gadis sulungnya.
Ketiga anak gadis Hafsa akhirnya kehilangan kantuk dengan terpaksa, gara-gara adik bungsu mereka.
“Mana Meta tahu, Yah ? Bukankah sudah lama Karina tidak seperti ini …” sahut
Meta sambil mengusap-usap kepala Karina yang masih terlelap di pangkuan Hafsa.
Andri mendesah panjang. Sejak Karina berusia empat tahun, dia kerap berjalan sambil tidur. Tapi, biasanya dia berjalan menuju kamar ayah dan ibunya. Andri dan Hafsa semula mengira hal ini disebabkan Karina belum mau berpisah tempat tidur dengan ibunya. Tapi setelah kejadian malam ini, Andri dan Hafsaf berpikiran lain.
“Mas … kata tukang bakso tadi, dia menghentikan Karina di depan pintu gerbang rumah Endah. Dia mau masuk ke rumah Endah… “ kata Hafsa pada suaminya.
“Siapa Endah itu ?”
“Teman sekolahnya. Karina sangat ingin punya rumah seperti rumah Endah.”
Andri diam. Matanya menerawang ke langit-langit rumah. Pikirannya kembali ke ujung jalan tadi, tempat mereka menemukan Karina, di depan sebuah rumah berlantai dua.
“Rumah tingkat itu ?”
Hafsa mengangguk. Karina mengerang, membuat semua perhatian tertuju padanya.
“Mbak Met ….pipis…..” ucapnya masih dengan mata terpejam.
Meta bergegas mengambil Karina dari gendongan ibunya.
“Ini Mbak Meta …. Yuk pipis….”
Meta menuntun adiknya ke kamar mandi. Andri dan Hafsa hanya memandangi mereka berdua, sambil menghela nafas panjang.
OoO
Rumah bertingkat itu memang benar-benar menawan. Dari kejauhan sudah kelihatan beranda lotengnya, berhiaskan tanaman gantung. Catnya sungguh apik, serasi dengan aneka tanaman gantung itu.
Karina memekik kegirangan ketika ayah mengajaknya untuk melihat-lihat ke dalam rumah itu. Dia adalah orang pertama yang langsung menyatakan setuju atas pertanyaan ayahnya.
“Bagaimana menurut kalian rumah ini ?”
“Aku mau rumah ini ! Aku mau !” pekik Karina.
Wajah Hafsa tanpa ekspresi. Meta manyun. Dian dan Nurin masih melakukan pengamatan. Keempat wanita itu masih mempunyai berbagai macam pertimbangan untuk mengiyakan pertanyaan sang ayah.
Andri menggamit lengan Karina menuju pintu depan rumah bertingkat itu. Dengan gembira Karina mnyambut kunci pintu yang diserahkan ayahnya. Membukanya dengan tergesa, lalu menghambur ke dalamnya seketika.
“Ibu … apa aku masih harus jalan kaki ke sekolah kalau kita pindah di sini ?” rungut Dian.
“Sepertinya begitu, “ sahut Meta, menggoda adiknya.
Sekolah Dian letaknya paling jauh dari lokasi rumah ini.
“Ibu, kenapa kita harus pindah lagi ke sini ? Lebih enak rumah kita yang dulu, bu. Teman-teman Nurin semuanya ada di sana. Nurin tidak punya teman yang tinggal di daerah ini. Nanti kalau kerja kelompok bagaimana ? Jauhhh….”
Hafsa menarik nafas panjang. Walaupun dia sudah menjelaskan panjang lebar pada ketiga anak gadisnya, mereka tetap saja memprotes keputusan pindah rumah ini. Hafsa tak mungkin menentang kehendak Andri. Dia begitu menyayangi Karina. Apalagi bila mengingat proses kelahiran Karina yang sulit. Kaki kanannya keluar lebih dulu. Dan Andri harus membawa istri dan anaknya ke Rumah Sakit dalam keadaan seperti itu untuk dioperasi. Siapa yang tega ? Apalagi fisik Karina lemah, mudah sakit. Dibentak oleh teman sekolahnya saja, dia sudah sakit. Maka, si bungsu Karina adalah Ratu di rumah mereka, yang harus dituruti segala kemauannya.
“Ibu … lalu rumah kita bagaimana ? Dijual ?” tanya Meta.
Hafsa mengangguk. Besok pagi, mereka akan menimpati rumah bertingkat itu. Hafsa tidak merasakan kegembiraan dalam hatinya, walau kini dia memiliki rumah yang lebih bagus dari rumah sebelumnya. Kepalanya penuh dengan hutang baru di bank. Hafsa tidak yakin, suaminya masih kuat lembur lagi. Kalau saja lelaki itu mengijinkannya untuk mencari penghasilan tambahan, tentu Hafsa tidak sepusing sekarang.
OoO
Malam ini mereka benar-benar kelelahan. Semua barang diangkut hari ini. Andri tidak mau mencicil mengangkut barang, karena dia hanya mendapat cuti satu hari saja. Anak-anak juga hanya ijin tidak masuk sekolah satu hari saja. Besok hari minggu, satu-satunya kesempatan untuk menata barang dengan cepat.
“Ibu .. aku tidur di atas ya ?” pinta Karina.
“Karina tidur di atas, tapi bersama kakak. Tidak boleh tidur sendir. Karina sudah janji kan ?” kata ibunya.
“Karina janji. Karina mau tidur sama kakak Meta, atau kakak Dian atau kakak Nurin, tidak masalah. Asalkan Karina tidur di atas !”
“Karina, tidur di atasnya besok saja bagaimana ?” tawar Andri, “besok kita angkat ranjangmu ke atas. “
Karina diam sejenak. Tak lama dia pun mengangguk setuju.
“Kalau kamu tidak patuh, gak jadi deh kamu tidur di atas !” kata Dian.
Karina menjulurkan lidahnya pada kakaknya. Dia sudah tidak sabar untuk tidur di lantai atas. Dari sana, dia pasti bisa memandang bulan dan bintang lebih dekat, seperti cerita Endah.
OoO
Sejak pagi Hafsa sudah sibuk di dapur. Hari ini dia merencakan untuk memasak menu istimewa. Seluruh anggota keluarga akan bekerja keras hari ini. Pasti mereka akan sangat senang bila menyantap menu istimewa masakannya, dan akan tetap bersemangat bekerja.
“Meta … mana Karina ? Ibu tidak melihat dia sejak pagi …” teriak Hafsa dari dapur.
Tidak ada yang mendengar teriakan Hafsa. Setiap orang sibuk membongkar barang dari kardus.
“Ayah … lihat Karina tidak ?” tanya ibu agak khawatir.
“Mungkin di atas.” sahut Andri sekedarnya. Dia sibuk mengeluarkan berkas-berkas pekerjaan kantornya.
Hafsa mematikan kompor lalu naik ke lantai dua. Dia tidak menemukan Karina di sana. Dia pun turun lagi, lalu memeriksa setiap kamar. Tidak ada sosok Karina.
“Dian … Nurin .. tolong cari adikmu !” perintah Hafsa. Dia mulai panik.
Andri pun menghentikan pekerjaannya. Hafsa mulai panik saat anak-anaknya kemudian melaporkan bahwa mereka tidak menemukan Karina di dalam rumah.
“Kemana Karina ? Cari dia di luar !” perintah Hafsa semakin panik.
Andri bergegas menuju pintu depan. Tidak mungkin Karina keluar rumah, karena pintu depan masih terkunci. Baru beberapa detik Andri membuka pintu …
“Karinaaaa !” pekiknya histeris.
Gadis kecil itu tertelungkup di depan teras. Darah menggenang di sekitar kepalanya. Hafsa dan anak-anaknya berlarian keluar. Dan pekik-pekik kengerian terdengar begitu memilukan pagi itu. Pagi itu menjadi tragedi berdarah bagi mereka.
Rupanya Karina tidur di lantai atas tanpa seijin ayah dan ibunya. Dan dia berjalan sambil tertidur sehingga dia terjatuh dari lantai atas. Rumah impian Karina adalah rumah petaka baginya.
OoO


RUMAH IMPIAN

Aku bermimpi tentang sebuah rumah
Dengan bangunan yang bertingkat-tingkat
Dengan taman-taman indah di sekelilingnya
Dengan pohon-pohon berbuah ranum di setiap sudut halamannya

Aku bermimpi tentang sebuah rumah
Yang setiap hari adalah pagi hari yang sejuk
Yang setiap hari aku dilayani oleh pelayan pelayan yang tunduk
Yang para tetangganya bukan orang-orang terkutuk

Aku bermimpi tentang sebuah rumah
Di mana tidak ada kata-kata sia-sia di dalamnya
Di mana tidak ada penyesalan ketika memasukinya
Yang ada hanya ungkapan syukur pada Sang Pencipta

Aku bermimpi tentang sebuah rumah
Aku tidak ingin terjaga dan melihat dunia
Biarlah dunia aku tinggalkan untuk seterusnya
Karena aku akan tinggal di sini selamanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya ....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...