Jumat, 14 Oktober 2011

KUPINANG KAU DI PINTU GAZA

Cerpen ini tidak lolos di Lomba Cerpen Untuk Palestina FLP Depok

Rambut ikalnya kelihatan semrawut saat dia melepas helmnya. Sejenak dia merapikannya dengan jemari tangannya. Senyum lebar tak pernah absen menghias wajahnya. Aku menatapnya, mengamati tingkah lakunya yang seperti biasa selalu terlihat jenaka. Setelah memarkir sepeda motor di area parkir Rumah Sakit Dr. Soetomo, dia pun menghulurkan tangannya ke arahku. Aku yang masih duduk di atas sepeda motorku tidak bergeming.
”Kutunggu kau ! Besok !” serunya bersemangat sambil meraih tangan kananku dan menjabatnya dengan sangat erat.
”Insya Allah ...” sahutku sambil mengembangkan senyum lega Sebuah jawaban dari perbincanganku dengannya kemarin.
”Segera ! Atau dia akan kuserahkan pada yang lain. ”
Sahabat di hadapanku itu tiba-tiba terbahak dan memelukku dengan hangat.
”Jangan sampai terlambat. Aku hanya mau kamu yang jadi saudaraku, ” bisiknya kemudian sambil menepuk-nepuk punggungku.
”Insya Allah. Amin. Amin.”
Salim melepaskan pelukannya dan menepuk-nepuk pipiku. Dia pun segera berlalu dari hadapanku dan melangkah lebar menyusuri koridor Rumah Sakit.
Aku mendesah panjang. Tentu saja aku tidak akan menolak permintaan Salim, untuk segera ke rumahnya. Lelaki yang begitu kukenal, sejak masih di bangku kuliah. Bahkan seraut wajah lembut yang mirip Salim, selalu mendominasi hatiku bila berada di dekat Salim. Mengingatnya, selalu membuat jantungku tiba-tiba menghangat. Halimah. Dan, kemarin aku sudah tidak dapat membendung perasaanku. Aku mengutarakannya pada Salim, untuk meminang Halimah.
Sosok Salim telah menghilang. Aku turun dari sepeda motor dan merasakan handphoneku bergetar. Sebuah pesan pendek. Dari Mbak Hesti. Memintaku datang secepatnya ke rumah ibu. Sepertinya aku harus mempercepat wawancaraku hari ini dengan Ketua Tim Dokter yang akan mengirimkan anak buahnya ke Gaza, dua hari lagi.
OoO
Mbak Hesti duduk tepekur di hadapan ibu. Dia tidak berani mengangkat wajahnya sejak
tadi, tapi nafasnya yang tidak teratur menunjukkan dia telah menangis cukup lama. Ibu juga tidak banyak bicara, hanya sesekali meminum teh hangat buatan Mbak Hesti. Bau minyak kayu putih masih mendominasi ruangan. Sesekali Mbak Hesti memijti kaki ibu yang berselonjor, berusaha memberikan kenyamanan. Sebelum Mbak Hesti mengirim pesan tadi, ibu ditemukannya pingsan di dekat telepon.
”Ibu tidak tahu lagi harus bilang apa, Heru ...” keluh ibu, sambil menyandarkan bahunya di sandaran ranjang, ”Entah apa rahasia Allah dengan memberi keluarga kita cobaan seperti ini. Ini sudah yang ketiga.”
Mbak Hesti bereaksi. Dia menyusut air matanya dengan ujung kerudungnya.
”Mungkin belum jodoh Mbak Hesti, Bu. ” sahutku parau.
Aku bisa merasakan kesedihan Mbak Hesti. Bukan salahnya, bila untuk yang ketiga kalinya, calon besan tiba-tiba membatalkan lamaran.
”Apa yang kurang dari Hesti, Heru. Hidupnya sudah mapan. Suami tinggal datang saja, beres. Apa yang diinginkan lagi dari Hesti ?”
Aku hanya diam. Bukan saatnya membantah ibu yang sedang berusaha menekan emosinya. Calon besan yang memutuskan lamaran via telepon, tentunya bukan hal yang diharapkan oleh siapapun.
Mbak Hesti terisak. Memang tidak ada yang kurang pada diri Mbak Hesti. Dia seorang dokter yang sudah mapan. Muslimah yang sholihah. Wajahnya pun manis, dan postur tubuhnya tentu saja standar. Namun, tahun ini dia sudah berusia empat puluh tahun. Waktunya habis dengan tiga kali lamaran yang selalu gagal. Sementara Asna, putri kedua ibu sudah mempunyai dua anak. Dan aku, si bungsu yang sebentar lagi .... Ah, haruskah aku menepis jauh-jauh Halimah dari benakku ?
Aku meraih handphone, menghubungi Salim. Hari ini dan besok, bukan hari yang tepat untuk meminang Halimah. Aku tidak sanggup mengutarakannya pada ibu dan mBak Hesti. Tapi, dua hari lagi, gadis itu akan berangkat ke Gaza, entah kapan dia akan kembali.
OoO
Bersimpuh di kaki ibu, sungguh menguras air mata. Beliau pun berat berkata-kata, hanya mampu mengelus-elus kepalaku.
”Hati-hati di sana, ya Heru ....” ucapnya parau.
Aku memeluknya erat, dan menciuminya penuh kasih.
”Doakan Heru, ya Bu ....”
”Selalu, Heru. Selalu, ibu mendoakan kalian, anak-anakku. Apapun cita-cita kalian, ibu selalu mendukung, apapun resikonya. ”
Aku memeluk tubuh renta itu semakin erat.
”Heru juga minta ijin sama ibu, Heru akan meminang dan menikahi Halimah di sana....”
Ibu tergugu. Tangisnya semakin menderas hingga mengguncang tubuhnya. Aku mendengar suara Mbak Hesti bangkit dari kursi dan meninggalkan kami berdua.
”Kamu tidak .... menunggu Hesti menikah dulu ?”
Aku menggeleng.
”Maafkan Heru, Bu. Tekad Heru sudah bulat, Heru akan menikahi Halimah di sana.”
”Tunggulah Hesti, nak. Kasihan dia .....”
Suara ibu semakin parau. Aku memeluk ibu, semakin erat dan semakin erat. Entah kenapa, aku merasa waktuku begitu sempit. Seolah tidak akan ada waktu lagi untuk menikahi Halimah. Halimah sudah berangkat ke Gaza kemarin, bersama Salim dan rombongan dokter lain dari Bulan Sabit Merah. Aku akan berangkat dengan kapal kedua hari ini. Sebuah misi besar untuk negeri yang selalu menjadi negeri kedua di hati kami. Maafkan aku, Mbak Hesti.
OoO
Mbak Hesti mengantarku sampai ke dermaga. Dia menggandeng tanganku erat, seperti saat dia dan aku berangkat sekolah dulu. Dia selalu khawatir aku akan menyeberang jalan tiba-tiba, kala itu. Kali ini, aku benar-benar akan menyeberang jauh. Aku meremas tangannya, dingin.
”Aku berharap, kamu berangkat ke Gaza bukan karena Halimah, ” ucapnya sambil menatapku sekilas.
”Andai Halimah tidak berangkat ke Gaza pun, aku akan tetap meminangnya, Mbak, ” balasku sambil tersenyum.
”Luruskan niatmu, atau kamu tidak akan mendapat apa-apa, selain Halimah. Gaza itu tak pernah bisa diduga. Jadi kepergianmu ke sana, kami selalu siap kau tak kembali ....”
Aku tersenyum, berusaha meningkahi dadaku yang bergemuruh. Mbak Hestiku yang sholihah. Kenapa para lelaki itu tak pernah bisa melihat ke dalam hatinya ? Kalau saja Salim belum menikah, aku akan melamar Salim untuk mBak Hesti.
Bahkan, aku belum bisa seperi mBak Hesti. Selalu membersihkan hatinya, walau kepada calon-calon suaminya yang telah memutuskan untuk tidak menikahinya. Tapi bayang-bayang Halimah begitu kuat mendominasi hatiku, sungguh sulit untuk kubuang jauh. Aku tidak ingin Salim menyerahkan adiknya pada yang lain. Aku akan mengejarnya sampai ke pintu Gaza dan akan menikahinya di sana.
Dan Allah mengabulkan doaku. Entah kenapa, tiba-tiba wartawan yang seharusnya ditugaskan meliput misi kemanusiaan ke Gaza tiba-tiba terserang demam berdarah. Mendadak, tugas itu dilimpahkan padaku. Ini pasti jawaban dari Allah atas doa-doaku selama ini. Doa agar dimudahkan dan dilapangkan jalanku untuk menggenapkan separuh agamaku.
Kapal pun meninggalkan dermaga. Aku melambai pada sosok Mbak Hesti, yang tampak berdiri rapuh di antara kerumunan para pengantar. Mbak Hesti membalas lambaianku. Kerudung lebarnya berkibar-kibar tertiup angin. Dia menyusut air matanya berkali-kali dengan sapu tangan pemberianku Aku tidak tahu, apakah dia menangis karena kepergianku, atau karena aku akan menikah lebih dulu dari dia. Sepulangku dari Gaza, aku bertekad mencarikan jodoh buat Mbak Hesti, yang tidak akan membatalkan lamaran begitu saja lewat telepon. Insya Allah.
OoO
Pemandangan setiap hari hanya laut dan laut. Beberapa liputan sudah kukirim ke kantor. Teman-teman wartawan mengontakku tiga kali sehari, seperti makan obat saja. Tapi Salim, mengontakku lebih dari lima kali sehari. Terbayang di pelupuk mataku, Halimah yang tidak pernah lepas dari sisi kakaknya. Tak sabar rasanya ingin segera sampai di Gaza.
”Kapan kapalmu yang lambat itu akan menyusul kami ?” godanya dari seberang sana.
”Tenang, Salim. Aku tidak akan ketinggalan kamu di pintu Gaza. Aku akan menepati janji. ”
”Tentu saja, kamu harus menyusul kami. Kalau tidak, dia akan kuserahkan pada yang lain. ”
Salim terbahak di ujung sana. Suaranya bercampur dengan deru angin. Aku tidak bisa mengontak dia setelah itu. Kabarnya, kapal yang ditumpangi Salim dua hari lagi akan sampai di perairan Gaza.
Malam itu ada kegaduhan. Aku yang baru saja mengirimkan laporan ke kantor, bergegas berlari ke geladak. Seruan takbir membahana di seluruh penjuru kapal. Aku tidak melihat apa-apa di lautan, selain pekatnya malam.
”Kapal saudara kita diserang Israel !” teriak salah seorang dalam bahasa Arab.
Teriakan takbir bergema kembali. Semua bersiaga, kalau-kalau kapal kami pun akan diserang. Kapten kapal sibuk dan tiap Ketua Tim dari berbagai negara sibuk memberikan komando pada bawahannya. Aku bergegas mempersiapkan kamera, dan sebuah reportase singkat. Ini berita ekslusif, walau tidak terjadi di kapalku.
Aku mengontak Salim, tapi tidak berhasil. Kekhawatiran menyelimuti wajah-wajah penumpang kapal. Menjelang siang, kami pun menerima kabar. Kapal yang ditumpangi Salim telah diserang pasukan Israel. Kapal itu kini dipaksa meninggalkan perairan Palestina. Beberapa orang ditawan dan kapal itu sebagian besar berisi jenazah para korban serangan. Belum ada berita siapa saja yang telah menjadi korban Zionis biadab itu.
OoO
Sebuah titik hitam itu semakin lama semakin jelas. Kapal yang kembali dari perairan Palestina. Takbir kembali bergema di seantero kapal. Sekoci segera diturunkan. Alhamdulillah, aku terpilih untuk mensurvey kapal. Bergegas aku naik ke dalam sekoci dengan gemuruh di dada yang tak kunjung berhenti.
Jenazah demi jenazah aku periksa. Tak ada satupun jenazah Salim dan Halimah. Aku sedikit lega. Lalu aku menemui kapten kapal, hendak bertanya siapa saja yang ditawan. Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara dari dalam kabin, tempat beberapa awak kapal yang terluka sedang dirawat.
”Salim ...” ucapku gemetar melihat sosok bersimbah darah itu..
Aku memeluk tubuh gagah yang kini tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Darah berceceran di mana-mana. Perutnya terkena tembakan.
”Heru .... ” ucapnya gembira melihatku.
Bagaimana mungkin dia begitu gembira dengan rasa sakitnya yang hebat seperti itu ?
”Salim .... alhamdulillah, kamu selamat. Alhamdulillah ...”
”Maafkan aku, Heru. ”
”Ya, kawan. Maafkan aku juga. ”
Aku menahan sekuat tenaga agar air mataku untuk tidak tumpah. Melihat kondisi
lukanya, aku tidak yakin Salim bisa bertahan.
”Kamu terlambat.... Aku sudah mengantar Halimah pada yang lain ....”
Jantungku berdegup kencang. Halimah ? Bagaimana dia ? Aku menggenggam jemari Salim yang sudah dingin.
”Dia sudah pergi. Dan aku akan mengantarnya. Allahu Akbarrrr !!!”
Salim memegang erat tanganku. Dan kulihat senyum indah mengembang di wajahnya, seperti hari-hari yang lalu.
”Salim .....Innalillahi wa inna ilaih roji’un ....”
Aku tergugu di sebelahnya. Tangan kekar itu terkulai sudah. Lelaki itu telah pergi, memenuhi cita-citanya. Beberapa orang mengotong jenazah melewati kabin.
”Di sini, letakan dulu di sini. Itu kakaknya.” ucap seseorang.
Jenasah yang digotong itu pun dijejerkan dengan jenazah Salim. Masih bersimbah darah di bagian lehernya. Aku tertegun. Wajah lembut Halimah tersenyum manis. Senyum yang di masa lalu telah begitu kuat menggetarkan relung hatiku.
Senyum jenazah kakak beradik itu begitu menggetarkan kalbuku hingga aku terduduk lemas. Bahkan tak sanggup lagi bersuara dalam tangisku. Ya Allah, aku tiba-tiba merasa begitu hina. Bukan hina karena telah kehilangan sahabat dan wanita yang kuidamkan menjadi pendampingku. Bukan karena harapanku untuk meminang gadis itu di pintu Gaza telah lenyap. Tapi aku merasa begitu hina di hadapan dua jenazah yang berhati mulia ini. Mereka telah menjemput syahid, sementara aku masih terkungkung dengan jeratan hatiku sendiri.
Salim benar-benar memenuhi janjinya. Dia adalah lelaki yang tak pernah ingkar janji. Bahwa bila aku terlambat, dia akan mengantar Halimah pada yang lain. Ya, dia telah mengantar Halimah, pada Zat yang lebih mencintai muslimah itu.
Aku melangkah terhuyung menuju geladak. Dengan gemetar, kekeluarkan handphone. Aku harus menghubungi mBak Hesti.
”Mbak .... bantu aku meluruskan hati ini.....” bisikku.
OoO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya ....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...