LADANG
Sebuah sore yang telah kupersiapkan dengan matang, akhirnya menjadi badai besar yang menghantam batinku. Tapi entah kenapa, jasad ini masih berdiri kokoh layaknya batu karang. Apakah karena sepasang mata lelaki yang teramat kucintai itu menatapku penuh kasih ? Seolah apa yang baru diucapkannya tidak menjanjikan sebuah hati akan terbagi.
”Aku tetap
mencintai kamu, Dea. Seperti dulu, seperti sekarang. Seperti sebelum terlahir
Angga dan Rina, seperti hari ini juga. ” ucapnya dengan senyum mesra.
Aku memalingkan
wajah, sementara dengan lembut dia merengkuhku dalam dada bidangnya. Aku tidak
mendengar degup jantungnya berdebar kencang. Dia sudah merencakan ini semua
dengan matang. Bahkan ucapannya barusan tidak membuat jantungnya perlu berdetak
keras. Ragu mulai menyergap batinku. Perlahan, aku mulai tidak mempercayai
ungkapan mesranya. Apakah, dia bersandiwara ?
Sebuah pelabuhan
baru, di tengah-tengah perjalanan pernikahanku ? Aku yakin, pernikahan indah
ini tak pernah ada kata berakhir. Aku yakin, cinta kami begitu kuat, walaupun dua
tahun terakhir, kami hanya bertemu di hari Sabtu dan Minggu.
”Aku tidak pernah
berniat mengkhianati kamu, Dea. Sungguh. Aku hanya berusaha menjaga nama baik dan
kerhormatan keluarga kita, ” bisiknya kemudian, seraya menciumi rambutku.
Aku memejamkan
mata. Berusaha menahan rasa nyeri di dadaku yang tak
kunjung reda.
Jika benar lelaki yang telah menikahiku selama lima belas tahun ini benar-benar
masih mencintaiku, mengapa dia tidak bisa merasakan perih ini ? Bahkan aku
sampai tak sanggup menggerakkan lidahku dan membalas lambaian tangan Angga di
kejauhan. Sulungku yang tampan, bahkan tinggi badannya sudah melampauiku.
Apakah dia juga harus berbagi hati seperti aku ? Ya, Tuhan ... aku tidak
sanggup. Sore yang cerah ini begitu kelam. Sekelam brownis kukus buatanku yang
tak tersentuh di hadapanku. Padahal, berjam-jam aku mempersiapkannya di hari
istimewa ini. Hari ulang tahun pernikahanku yang kelima belas.
OoO
Bahkan aku tidak
sanggup menyampaikannya pada Angga dan Rina. Mereka tidak akan bisa memahami
tentang menjaga nama baik dan kehormatan keluarga. Kedua bocah itu bahkan tidak
akan kubiarkan meraba isi hatiku melalui raut wajahku.
”Ayah tetap akan
pulang hari Sabtu dan Minggu saja, bu ?” tanya Rina sambil melahap sarapannya.
Hari Senin,
setelah badai di hari Minggu kemarin. Tidak ada mas Agra. Aku tidak yakin bisa
melalui hari ini tanpa air mata.
”Tidak mungkin,
lah !” sahut Angga, ”Makasar itu jauh dari Surabaya, tahu. Kalau setiap minggu
ayah pulang, kasihan. Capek. Ya, kan bu ? Kata bapak dia akan pulang sebulan
sekali.”
Aku mengangguk,
tanpa berani menatap wajah Angga.
”Yah .... kalau
sebulan sekali, bisa-bisa ayah lupa sama kita. Naik pesawat kan
tidak capek. Ayah
bisa pulang Sabtu dan Minggu seperti biasa, kan Bu ?”
Aku tertegun. Ya,
Rina benar. Lambat laun, Mas Agra akan dengan mudah melupakan kami di sini,
terutama aku. Terlebih bila, Joan, sekretarisnya yang perawan tua itu
benar-benar telah menjadi maduku. Tubuhnya masih langsing dan energik. Wajahnya
selalu berpoles make up mahal, memalsu usia sebenarnya.
Entah apa yang sudah
dilakukannya sehingga Mas Agra mengambil keputusan untuk menikahinya. Aku juga
tidak habis pikir, apa yang dilihat Mas Agra pada diri Joan, gadis yang sudah
berkepala empat itu. Wanita pemarah dan penggerutu. Apa benar, hanya demi
kehormatan keluarga ini ?
Sebuah pesan
pendek muncul di handphoneku. Dita, sahabat karibku. Dulu, suaminya adalah
rekan kerja Mas Agra sebelum Mas Agra dipindah ke Kantor Cabang di Makasar.
”De... kamu harus kuat, say. Aku tidak salah, kan ....”
Kontan mataku
kembali membasah. Dita pasti sudah mengetahui rencana Mas Agra dari suaminya.
Bahwa, untuk menghindari fitnah yang beredar di kantor pusat, Mas Agra akan
menikahi Joan, sekretarisnya yang sudah
mendampinginya selama survey di Makasar dua tahun terakhir. Bagaimana
tidak, kadang mereka harus menginap di hotel yang sama.
Kini, keputusan
perusahaan sudah ditetapkan. Mas Agra dan Joan akan ditempatkan di Makasar,
dengan gaji tiga kali lipat. Sedangkan Mas Agra tidak bisa memboyong aku dan
anak-anak, karena ibuku sudah tua dan sakit-sakitan, hanya bergantung pada aku,
anak tunggalnya.
”Sebelum
berangkat, jangan lupa pamitan sama nenek ya ?”
Angga dan Rina
mengangguk patuh. Setelah membereskan meja makan, mereka berebut menciumku dan
berhamburan menuju kamar neneknya.
Apakah melihat
keriangan mereka sudah cukup membuat aku bahagia ? Tidak. Bagiku, bahagia
adalah keutuhan hati Mas Agra di rumah ini, tanpa terbagi.
Teringat wajah
cemas Dita saat pertama kali menyampaikan berita tak sedap tentang Mas Agra dan
Joan, yang beredar santer di kantor. Tapi saat itu, aku percaya pada Mas Agra, bahwa dia tidak akan
pernah mengkhianati aku. Dia adalah lelaki yang jujur. Apapun pasti dia
sampaikan padaku. Termasuk, keinginannya untuk menikahi Joan. Aku harus bertemu
Dita hari ini.
OoO
Mas Agra
mengernyitkan kening. Baginya permintaanku sangat aneh. Tapi, sejurus kemudian,
senyumnya kembali melebar. Aku yakin, senyum ini yang telah dinikmati Joan
selama dua tahun ini. Aku membalas senyumnya, walau terasa perih di dadaku.
”Sebuah ladang ?”
”Iya. Untuk
mengisi hari-hariku selama satu bulan menunggu Mas pulang ....”
Mas Agra
merengkuhku dalam pelukannya. Ah, aku masih tetap tak rela pelukan ini menjadi
milik Joan.
”Tidak perlu
seperti itu, Dea. Aku akan menelpon setiap hari ...”
”Itu pasti tidak
sama ....” bisikku.
”Iya, aku tahu.
Tapi bukankah aku bekerja demi masa depan kita ?”
”Apa Joan juga
masa depan kita ?”
Mas Agra
melepaskan pelukannya dan menyentuh kedua pipiku dengan telapak tangan kekarnya.
”Dea, bukankah
kita sudah membicarakan hal ini ? Apakah hatimu masih berat ? Bukankah lebih
baik bila aku menikah daripada senantiasa berdekatan dengan zina ?”
”Apakah itu untuk
selamanya ?” tanyaku parau.
”Dea .... aku
selalu mencintaimu, bukan Joan. ”
Aku kembali
terisak.
”Hei, tunggu
dulu. Bagaimana kamu membagi waktu antara mengurusi ladang dan ibu ? Bukankah
ibu sekarang harus memakai kursi roda ?”
Aku tersenyum.
”Aku ingin kita
berdua melihat ladang yang akan kita beli. Nanti Mas Agra akan tahu. ”
Sebuah kecupan di
kening. Aku benar-benar menikmatinya kali ini.
OoO
Mas Agra
geleng-geleng kepala. Dia tidak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Aku
hanya tersenyum melihat tingkahnya.
”Ladang yang ini
?” tanyanya sekali lagi padaku.
Aku mengangguk
mantap.
”Dea, kamu tidak
salah ? Lihat saja, bahkan rumput pun enggan tumbuh di ladang kering kerontang
seperti ini. Kenapa tidak ladang di sebelahnya saja ? Lihat, jagungnya
gemuk-gemuk dan siap panen. Aku sanggup membelikan kedua ladang ini untuk kamu,
Dea, bila kamu tetap memaksa memilih ladang
gersang ini.”
”Karena ladang
gersang ini punya kisah. Apa Mas Agra mau mendengar ?”
”Kisah ?”
”Ya. Sebelum
memutuskan membelinya, aku sudah menemui pemiliknya. Awalnya, ladang gersang
itu milik adiknya. Semula, ladang itu sangat subur. Si adik adalah petani yang
sangat rajin merawat ladangnya. Hasil panennya selalu melimpah, jauh melebihi
ladang kakaknya yang ada sebelahnya. Sampai-sampai, si adik bisa menabung dan
menggunakannya untuk merantau ke luar negeri. Karena, kabarnya, dengan sedikit
bekerja di luar negeri, hasil yang didapat lebih besar dari bekerja keras di
ladang sendiri. Maka si adik pun meninggalkan ladangnya. Tidak mengurusnya sama
sekali, setelah selama ini, ladang itu telah menghidupinya. Suatu ketika dia
pulang, dan melihat ladangnya telah gersang. Bahkan rumput enggan tumbuh di
atasnya. Maka tidak ada lagi dalam hatinya keinginan untuk menyentuh ladangnya.
Dengan mudah dia menjual ladangnya pada si kakak, pemilik ladang di sebelahnya.
Tapi, si kakak tidak sempat mengurusnya, karena dia pun sibuk mengurus
ladangnya sendiri.”
Aku melirik Mas
Agra. Dia terdiam. Matanya tidak lepas dari ladang gersang di hadapan kami.
”Aku ingin
mengembalikan ladang ini seperti sedia kala. Aku yakin, dia pasti bergembira
menyambutku, bahkan mungkin jauh lebih bergembira dari ketika setiap hari
pemilik ladang terdahulu mendatanginya. ”
Mas Agra masih
terdiam.
”Mas, ayo kita
temui si kakak pemilik ladang ini. Dia sudah menunggu kita hari ini, di
rumahnya. Dia ingin segera melepas ladang ini, karena dia merasa tidak
sanggup
mengembalikan kesuburan ladang ini seperti sedia kala. Padahal kuncinya
sederhana saja, kita cukup merawatnya setiap hari, maka ladang ini akan kembali
seperti sedia kala.”
Aku menggamit
lengan Mas Agra. Mas Agra menahanku.
”Duduklah di sini
bersamaku, Dea.”
Aku menatapnya
tak mengerti. Tapi aku menurut saja, menjajarinya duduk di tepi tanggul jalan,
menghadap ke kedua ladang itu. Aku berharap dia tidak berubah pikiran untuk
membeli ladang itu.
OoO
Hari
keberangkatan Mas Agra ke Makasar. Tapi dia tidak kunjung datang dari kantor.
Padahal koper sudah kusiapkan dan anak-anak sengaja ijin tidak masuk sekolah
untuk mengantar ayahnya ke bandara.
Berkali-kali
kutelpon, tapi tidak diangkat. Aku gelisah, karena pesawat akan berangkat tiga
jam lagi. Perjalanan ke Bandara Juanda saja akan memakan waktu satu jam.
”Ibu tidak ikut
ke bandara ?” tanya Angga.
Aku tidak
menjawab. Mana mungkin aku mengantar Mas Agra dan melepasnya bersama Joan ?
Walaupun, sampai detik ini, Mas Agra belum menyinggung lagi kapan rencana dia
akan melamar Joan.
”Ibu tidak akan mau
berangkat ke bandara ....” ucap sebuah suara yang begitu kukenal.
”Ayah !”
Angga dan Rina
menghambur ke pelukan ayahnya. Mas Agra melebarkan tangannya, mengundang aku
dalam pelukannya. Aku mendekatinya perlahan.
”Aku akan
mengantar ke bandara jika Mas menginginkannya....”
”Tidak. Aku mau
kamu, aku dan anak-anak tetap di sini.”
”Maksud Mas ?”
”Kita berempat
akan mengurus ladang itu. Bagaimana ?”
Aku mengernyitkan
kening, tidak percaya dengan kata-kata itu. Seuntai senyum menawan Mas Agra
memberikan penjelasan panjang lebar, melebihi sebuah kalimat. Seketika aku
menghambur dalam pelukannya, menghujaninya dengan cinta, tanpa merasa malu di
hadapan Angga dan Rina. Aku bahagia, lebih dari sebelumnya.
”Ayah tidak jadi
ke Makasar ?” tanya Angga yang pandai membaca situasi.
”Tidak sayang.
Ayah tidak mau jadi Kepala Cabang di sana, nanti ayah bisa lupa sama kalian
....”
”Horeee !”
Mas Agra
kewalahan menerima pelukan dan ciuman Angga dan Rina. Aku memandangi mereka dan
menyusut bulir bening di sudut mataku.
Terima kasih,
Dita. Kamu memang sahabat terbaikku. Seharusnya, aku mendengarkan nasehatmu
tentang ladang itu sejak dua tahun yang lalu. Tapi tak mengapa, pengalaman dua
tahun terakhir, telah membuat cinta kami semakin kuat. Karena aku adalah ladang
satu-satunya milik Mas Agra. Aku yakin, dia tidak ingin meninggalkan aku
menjadi gersang.
OoO
Quote :
Poligami adalah tentang beberapa ladang yang harus dirawat. Bila hanya karena melihat ladang lain lebih hijau, maka janganlah melakukannya. Karena pasti tidak akan sanggup mengurus semuanya.
Note :
Cerpen ini pernah aku ikutkan di Lomba Cerpen Femina, tapi gak lolos, hehehe. Maka cerpen ini aku sertakan dalam woro-woro bagi-bagi buku GADO-GADO POLIGAMI.
Note :
Cerpen ini pernah aku ikutkan di Lomba Cerpen Femina, tapi gak lolos, hehehe. Maka cerpen ini aku sertakan dalam woro-woro bagi-bagi buku GADO-GADO POLIGAMI.
Sudah kubaca, mba Amalia... makasih atas keikutsertaannya ya..
BalasHapusSama-sama mbak Leyla, semoga bukunya laris manis
Hapus