Ikutan FF2in1 @nulisbuku
Tidak ada yang tak menarik dari sosok manis di hadapanku. Bulu matanya lentik, pipinya begitu ranum kemerahan. Terlebih lagi, lengkung di bibirnya yang tak pernah pudar. Siapa pun yang pertama kali beradu pandang dengannya, pasti langsung terkesan dengan senyumnya yang selalu ceria. Seolah dia berasal dari dunia lain yang tak pernah mengenal masalah.
"Siapa namamu ?"
Sosok manis itu tersipu, semakin membuat aku gemas.
"Happy."
Bahkan namanya adalah refleksi dirinya sendiri. Sungguh tepat bila dia bernama Happy. Dia selalu tampak bahagia.
"Kenapa kau selalu menanyakan namaku ?" tanya Happy, "bahkan setiap kali kita bertemu. Apa kau selalu amnesia setiap hari ?"
Aku menggeleng, "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin mendengar nama itu terucap dari bibirmu saja. Itu sudah sangat indah bagiku."
Happy menunduk dalam, "Tapi, Galang, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Setelah hari-hari yang kita lalui bersama sebulan ini. Aku harus mengatakan tentang diriku yang sebenarnya padamu."
Aku menggeleng. Manusia terkadang tidak menyukai kejujuran. Karena hal itu akan membuatnya merasa begitu sakit.
"Please ..." pinta Happy dengan mata memelas.
Aku tahu, dia ingin perjalanan kami berdua ke depan tidak menghadang karang. Dia ingin, masa lalu kami masing-masing terbeber di antara kami, kemudian kami saling melepaskannya ke udara. Setelah itu, barulah kami merasa tenang dan bahagia.
"Okelah, aku setuju."
Walau sebenarnya, ada secuil masa lalu yang aku tak ingin Happy mengetahuinya. Tentang masa kecilku. Di mana aku dikenal sebagai cowok paling kuper dan selalu jadi bulan-bulanan di sekolah. masa yang sangat memalukan bagiku saat itu. Walau terekam kuat di memoryku, aku sangat ingin menghilangkannya.
"Sebenarnya, aku bukan Happy yang kau kenal."
Aku mengernyitkan kening, "Maksudmu ? Kamu kembar ?"
Happy menggeleng, "Galang, Nama asliku Hendrawan."
Aku tercekat. Apalagi dengan suara Happy yang tiba-tiba membesar di ujung kalimatnya.
Rabu, 03 Oktober 2012
Jumat, 28 September 2012
Aku dan PLN : Lebih Menyenangkan Bila Tak Pernah Padam
Kalau sudah berbincang tentang listrik, ingatanku langsung melayang pada 3 momen.
Pertama adalah ketika aku bekerja di sebuah PLTD milik sebuah perusahaan swasta bernama di Tulang Bawang - Lampung. Di perusahaan terpadu tambak udang ini, aku bekerja di Laboratorium QA & EC Power House. Tempat bertenggernya 22 mesin diesel Wartsila yang masing-masing berkapasitas 3 MW. Aku bahkan masih ingat, headset yang kugunakan tiap hari tidak begitu mengurangi bisingnya mesin raksasa itu. Dan air mineral di dalam botol yang senantiasa beriak ketika diletakkan di meja kantor, akibat getaran mesin diesel yang beroperasi. Juga aura hangat ketika melintas di barisan trafo di belakang gedung. Dan pemandangan yang akrab adalah, para operator mesin yang sedang overhoul alias membongkar mesin. Tangan dan wajah mereka yang belepotan oli dan baju yang basah karena keringat. Yang jelas, situasi yang selalu terekam dalam ingatanku adalah gerah dan bising.
Kedua, masih di perusahaan yang sama. Salah seorang temanku bekerja di bagian jaringan. Saat memperbaiki jaringan, terjadi miskomunikasi dengan Power House. Walhasil, tubuh bos dari temanku yang masih nangkring di tiang listrik, sempat bercahaya ketika arus listrik mendadak mengalir. Tubuh itu langsung melorot turun dan pingsan. Ingatan yang masih jelas di kepalaku adalah, profesi mereka adalah profesi yang bertaruh dengan nyawa. Dan kesalahan komunikasi adalah hal yang dimaklumi terjadi sebagai human error, mengingat operator di Power House adalah manusia, bukan malaikat.
Ketiga, adalah sebuah pemandangan indah di kala malam, kurang dari 100 km sebelah timur kotaku. The Java Power, sebuah pembangkit listrik tenaga uap, PLTU Paiton. Setiap traveller yang melewati jalur pantura dari Probolinggo menuju Situbondo pasti melewati PLTU ini. Dan selalu, decak kagum yang terlontar melihat kemegahannya, terutama di malam hari. Jujur, walau gak kerja di sana dan juga bukan pemiliknya, aku sangat bangga dengan PLTU yang gemerlapnya melebihi pasar malam ini..
Ternyata, kusadari, aku tidak hanya bergantung pada listrik dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memasak, pompa, menyeterika, penerangan, kipas angin, komputer, charge ponsel dan lain-lain. Tapi, aku juga dekat dengan sumber listrik bahkan pernah bergelut di sana. Jadi, aku sangat memahami ketika tiba-tiba listrik padam, tanpa pemberitahuan dari PLN. Pasti ada troubleshooting yang terjadi di lapangan. Dan aku tahu, itu bukan hal yang mudah dan dapat ditangani dalam waktu singkat. Orang-orang yang bekerja di lapangan, aku sungguh percaya, mereka tak ingin ada trouble, sehingga mereka harus turun ke lapangan dan mengecek trafo atau tiang listrik, dan menuntaskan masalah sesegera mungkin. Sementara para pelanggan tak mau aliran listrik terputus selama berjam-jam.
Tapi, walau aku sudah pernah nyemplung di dunia perlistrikan (walau cuma mengamati dari dekat ...hehehe), tetap saja aku merasa tidak nyaman bila listrik padam tanpa pemberitahuan. Jadinya berasa kembali ke era 30 tahun yang lalu, ketika listrik belum masuk ke desaku. Memasak nasi ala tradisonal yang tidak bisa disambi dengan pekerjaan lain, karena nasinya bisa gosong kalau gak diaduk. Seterika yang harus ditunda hingga listrik menyala. Dan malam hari, penerangan harus menggunakan lilin, yang tentu saja tidak memadai untuk anak-anakku belajar. Dan yang lebih gawat lagi adalah, aku gak bisa menghidupkan komputer. Jadi kalau listrik padam seharian, alamat aku hanya mondar mandir di dalam rumah, gak ada kerjaan.
Saking seringnya listrik padam, jadinya aku sampai hafal jam-jam listrik mati dan kapan hidup lagi. Jika jam 8 sampai 10 pagi sudah padam, alamat hidup lagi paling cepet jam 3 sore dan paling lama menjelang maghrib. Katanya, kalau padam model seperti ini, ada maintenance. Kalau padam tengah malam mendadak, hidup sekelebat dan padam lagi, alamat jadi candle light sleep deh. Katanya, kalau seperti itu pertanda ada trafo yang rusak dan gak bisa nyala lagi.
Apakah benar begitu, PLN ?
Seperti yang kuceritakan di atas, aku memahami setiap pemadaman yang terjadi. Mungkin karena aku hanya ibu rumah tangga, jadi yaaahhh ... aku tidak mendapat pemberitahuan resmi dari PLN tentang pemadaman. Kalau aku bekerja di kantor atau sebuah perusahaan, pasti ada pemberitahuan dari PLN tentang pemadaman bergilir. Yang jadi pertanyaanku adalah, bila ada kerusakan di jaringan, dan listrik terpaksa padam cukup lama, apa ya yang dilakukan oleh karyawan kantor yang pekerjaannya sangat tergantung pada ketersediaan listrik ?
Dan aku juga memahami, kalau tarif dasar listrik alias TDL, tidak ubahnya seperti BBM. Naik terus gak pernah turun :D. Mungkin bila semua orang sebelumnya pernah bekerja di PLTD seperti aku, pasti gak bakal protes dengan kenaikan TDL. Lha melihat para karyawannya seperti itu kerjanya, siapa yang tega mereka hanya dibayar seuprit, padahal sudah berjasa membuat malam kita tidak candle ligt terus.
Tapi, sebagai konsumen, dan bertepatan juga dengan HUT PLN yang ke-67, boleh dong aku berharap, di depan lilin yang menyala, agar kinerja PLN ke depan lebih bagus lagi. Katanya sekarang sedang menggalakkan anti korupsi, ayo dong dukung konsumennya juga anti korupsi. Jangan biarkan konsumen berlama-lama membuang jam kerja hanya karena listrik padam. Korupsi waktu dong namanya.
Sebagai masyarakat awam, aku hanya bisa make a wish buat PLN.
Pertama, tambah dong tenaga 'super ahli' yang bisa menangani troubleshooting di lapangan dalam hitungan detik saja ( maunya begitu ... hehehe ), hingga listrik tidak perlu padam berjam-jam. Tapi akan lebih menyenangkan lagi bila tak pernah padam.
Kedua, para masyarakat non kantoran seperti saya, juga ingin mendapat pemberitahuan bila ada pemadaman berkala. Di daerah perkampungan, terkadang pemberitahuan via mesjid atau muholla lebih efektif dan efisian menjangkau semua lapisan masyarakat. Jadi, kita sudah mempersiapkan segala kebutuhan yang membutuhkan listrik lebih awal dan siap memanfaatkan waktu tanpa listrik dengan pekerjaan lain yang lebih bermanfaat.
Ketiga dan terakhir, doaku buat PLN, semoga tercapai tekadnya untuk menjadi instansi yang bersih dari segala bentuk korupsi dan semoga PLN semakin profesional dalam melayani masyarakat, setia masyarakat dan terangi Nusantara. Aamiin.
Pertama adalah ketika aku bekerja di sebuah PLTD milik sebuah perusahaan swasta bernama di Tulang Bawang - Lampung. Di perusahaan terpadu tambak udang ini, aku bekerja di Laboratorium QA & EC Power House. Tempat bertenggernya 22 mesin diesel Wartsila yang masing-masing berkapasitas 3 MW. Aku bahkan masih ingat, headset yang kugunakan tiap hari tidak begitu mengurangi bisingnya mesin raksasa itu. Dan air mineral di dalam botol yang senantiasa beriak ketika diletakkan di meja kantor, akibat getaran mesin diesel yang beroperasi. Juga aura hangat ketika melintas di barisan trafo di belakang gedung. Dan pemandangan yang akrab adalah, para operator mesin yang sedang overhoul alias membongkar mesin. Tangan dan wajah mereka yang belepotan oli dan baju yang basah karena keringat. Yang jelas, situasi yang selalu terekam dalam ingatanku adalah gerah dan bising.
Kedua, masih di perusahaan yang sama. Salah seorang temanku bekerja di bagian jaringan. Saat memperbaiki jaringan, terjadi miskomunikasi dengan Power House. Walhasil, tubuh bos dari temanku yang masih nangkring di tiang listrik, sempat bercahaya ketika arus listrik mendadak mengalir. Tubuh itu langsung melorot turun dan pingsan. Ingatan yang masih jelas di kepalaku adalah, profesi mereka adalah profesi yang bertaruh dengan nyawa. Dan kesalahan komunikasi adalah hal yang dimaklumi terjadi sebagai human error, mengingat operator di Power House adalah manusia, bukan malaikat.
![]() |
Gambar diambil dari sini |
Ketiga, adalah sebuah pemandangan indah di kala malam, kurang dari 100 km sebelah timur kotaku. The Java Power, sebuah pembangkit listrik tenaga uap, PLTU Paiton. Setiap traveller yang melewati jalur pantura dari Probolinggo menuju Situbondo pasti melewati PLTU ini. Dan selalu, decak kagum yang terlontar melihat kemegahannya, terutama di malam hari. Jujur, walau gak kerja di sana dan juga bukan pemiliknya, aku sangat bangga dengan PLTU yang gemerlapnya melebihi pasar malam ini..
Ternyata, kusadari, aku tidak hanya bergantung pada listrik dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memasak, pompa, menyeterika, penerangan, kipas angin, komputer, charge ponsel dan lain-lain. Tapi, aku juga dekat dengan sumber listrik bahkan pernah bergelut di sana. Jadi, aku sangat memahami ketika tiba-tiba listrik padam, tanpa pemberitahuan dari PLN. Pasti ada troubleshooting yang terjadi di lapangan. Dan aku tahu, itu bukan hal yang mudah dan dapat ditangani dalam waktu singkat. Orang-orang yang bekerja di lapangan, aku sungguh percaya, mereka tak ingin ada trouble, sehingga mereka harus turun ke lapangan dan mengecek trafo atau tiang listrik, dan menuntaskan masalah sesegera mungkin. Sementara para pelanggan tak mau aliran listrik terputus selama berjam-jam.
Tapi, walau aku sudah pernah nyemplung di dunia perlistrikan (walau cuma mengamati dari dekat ...hehehe), tetap saja aku merasa tidak nyaman bila listrik padam tanpa pemberitahuan. Jadinya berasa kembali ke era 30 tahun yang lalu, ketika listrik belum masuk ke desaku. Memasak nasi ala tradisonal yang tidak bisa disambi dengan pekerjaan lain, karena nasinya bisa gosong kalau gak diaduk. Seterika yang harus ditunda hingga listrik menyala. Dan malam hari, penerangan harus menggunakan lilin, yang tentu saja tidak memadai untuk anak-anakku belajar. Dan yang lebih gawat lagi adalah, aku gak bisa menghidupkan komputer. Jadi kalau listrik padam seharian, alamat aku hanya mondar mandir di dalam rumah, gak ada kerjaan.
Saking seringnya listrik padam, jadinya aku sampai hafal jam-jam listrik mati dan kapan hidup lagi. Jika jam 8 sampai 10 pagi sudah padam, alamat hidup lagi paling cepet jam 3 sore dan paling lama menjelang maghrib. Katanya, kalau padam model seperti ini, ada maintenance. Kalau padam tengah malam mendadak, hidup sekelebat dan padam lagi, alamat jadi candle light sleep deh. Katanya, kalau seperti itu pertanda ada trafo yang rusak dan gak bisa nyala lagi.
Apakah benar begitu, PLN ?
Seperti yang kuceritakan di atas, aku memahami setiap pemadaman yang terjadi. Mungkin karena aku hanya ibu rumah tangga, jadi yaaahhh ... aku tidak mendapat pemberitahuan resmi dari PLN tentang pemadaman. Kalau aku bekerja di kantor atau sebuah perusahaan, pasti ada pemberitahuan dari PLN tentang pemadaman bergilir. Yang jadi pertanyaanku adalah, bila ada kerusakan di jaringan, dan listrik terpaksa padam cukup lama, apa ya yang dilakukan oleh karyawan kantor yang pekerjaannya sangat tergantung pada ketersediaan listrik ?
Dan aku juga memahami, kalau tarif dasar listrik alias TDL, tidak ubahnya seperti BBM. Naik terus gak pernah turun :D. Mungkin bila semua orang sebelumnya pernah bekerja di PLTD seperti aku, pasti gak bakal protes dengan kenaikan TDL. Lha melihat para karyawannya seperti itu kerjanya, siapa yang tega mereka hanya dibayar seuprit, padahal sudah berjasa membuat malam kita tidak candle ligt terus.
Tapi, sebagai konsumen, dan bertepatan juga dengan HUT PLN yang ke-67, boleh dong aku berharap, di depan lilin yang menyala, agar kinerja PLN ke depan lebih bagus lagi. Katanya sekarang sedang menggalakkan anti korupsi, ayo dong dukung konsumennya juga anti korupsi. Jangan biarkan konsumen berlama-lama membuang jam kerja hanya karena listrik padam. Korupsi waktu dong namanya.
Sebagai masyarakat awam, aku hanya bisa make a wish buat PLN.
Pertama, tambah dong tenaga 'super ahli' yang bisa menangani troubleshooting di lapangan dalam hitungan detik saja ( maunya begitu ... hehehe ), hingga listrik tidak perlu padam berjam-jam. Tapi akan lebih menyenangkan lagi bila tak pernah padam.
Kedua, para masyarakat non kantoran seperti saya, juga ingin mendapat pemberitahuan bila ada pemadaman berkala. Di daerah perkampungan, terkadang pemberitahuan via mesjid atau muholla lebih efektif dan efisian menjangkau semua lapisan masyarakat. Jadi, kita sudah mempersiapkan segala kebutuhan yang membutuhkan listrik lebih awal dan siap memanfaatkan waktu tanpa listrik dengan pekerjaan lain yang lebih bermanfaat.
Ketiga dan terakhir, doaku buat PLN, semoga tercapai tekadnya untuk menjadi instansi yang bersih dari segala bentuk korupsi dan semoga PLN semakin profesional dalam melayani masyarakat, setia masyarakat dan terangi Nusantara. Aamiin.
TRESNO JALARAN SOKO SURPRISE
Sepulang menjemput Nayla ( putri ke-3 ) ku, aku sudah curiga. Suami dan anakku itu tidak segera masuk rumah, tapi masih berbisik-bisik di depan pintu. Tak lama kemudian, Nayla masuk membawa sebuah bungkusan.
"Ayo tebak ! Siapa yang ulang tahun ?" ucapnya seraya tersenyum-senyum.
Aku menduga, ada teman ngajinya yang berulang tahun dan dia mendapat jatah kue.
"Gak tahu ..." jawabku polos.
"Masa ibu tidak tahu ?"
Aku mencoba menggali ingatan, dan aku yakin tidak ada yang berulang tahun bulan ini dan hari ini.
"Ibu ... Selamat Ulang Tahun !" seru Nayla dan menyerahkan bungkusannya padaku.
Aku keheranan sendiri, apalagi kemudian Nayla dan suamiku memeluk dan menciumiku. Waduh, ada apa ini sebenarnya ? Aku ulang tahun saja, gak pernah ada yang ingat apalagi ngasih surprise hadiah atau makanan. Lah ini, tahu-tahu dapat surprise dan 5 es krim cone pula. Jadi tambah curiga apa mau kedua orang ini ?
"Ibu kan ulang tahun hari ini, 28 September !" seru suamiku dengan percaya diri.
Ya ampuun, SALAAAAH !
"Bang, masa sih lupa tanggal lahir istrinya ?" protesku.
"Loh, kan bener ...28 .... waduh, salah ya ? "
Akhirnya, pecah deh tawa. Kasihan juga sebenarnya, sudah susah-susah belikan es krim, merancang surprise, salah pula tanggalnya. Tapi kami melahap es krim itu sama-sama sambil mendengarkan Nayla dan ayahnya saling menyalahkan. Dan Nayla membuka rahasia.
"Tadi itu aku dan ayah bingung mau ngasih hadiah apa ke ibu. Bedak apa novel ya ?"
Beuuuuu, jadi terharu bener. Dua orang itu tahu bener, apa yang kubutuhkan saat ini. Beli novel dan bedak ....hihihi.
Oke deh, bulan depan boleh diulang nih surprisenya. Terima kasih buat orang-orang terkasihku :D.
Jadi tambah tresno jalaran soko surprise.
Selasa, 25 September 2012
Gara-gara Status FB
Hari ini aku nyetatus dan membuat heboh teman-temanku. Aku sendiri gak nyangka, komen teman-temanku di statusku bisa seperti itu. Berikut link statusku tersebut, silakan mampir kalau gak percaya.
https://www.facebook.com/amalia.dewi.f/posts/426369770753053?ref=notif¬if_t=feed_comment
Jadi, kalau diurutkan status dan komen di statusku sendiri adalah :
1. Pagi-pagi sudah dilamar. Kuserahkan keputusan pada suami, dia mau menerima lamaran itu atau tidak, aku yang mikir-mikir jadinya. Kalau lamaran itu diterima, aku dan suami tidak bisa seperti dulu lagi ... hiks.
2. yang ngelamar akhwat. Jadi mumet nih, mudah2an suamiku bisa mengambil keputusan yang bijaksana.
3. Karena aku tidak mau memberikan jawaban, akhwat itu minta ijin menemui suamiku langsung di tempat kerjanya untuk meminta jawaban. Dan aku sedang deg2an menunggu suamiku pulang
4. Sebenarnya aku masih belum siap berbagi. Sudah kebayang gak bisa lagi full nulis dan merajut. Hiks, tengkyu temen2 atas motivasinya
5. Insya Allah jam 3 nanti suamiku pulang, semoga dia memberikan keputusan terbaik bagiku, bagi dia, juga bagi anak-anak kami. Doakan ya teman-teman .
6. maaaaapppp :D sudah menimbulkan persepsi berbeda. Kejadiannya emang bener tadi pagi aku dilamar buat kerja di sebuah instansi, tapi aku gak mau jawab, karena suami selama ini minta aku di rumah saja. Beliaunya, saking mendesaknya kebutuhan, akhirnya ke suami.
7. kalau yang dilamar ' lain', mana mungkin lah diriku bisa nyetatus, paling sudah ada yang diasah tuh di dapur, sendok atau centong gitu .... qiqiqi.
Jadi, teman-teman, ternyata kita terlalu reaktif terhadap sebuah berita. Terkait dengan berita di MetroTV kemarin tentang ROHIS. Menurut pendapatku, istilah ROHIS itu tidak dimunculkan oleh pihak Metro, tapi oleh orang-orang yang menangkap pemberitaan itu sebagai ROHIS. Akhirnya berita berkembang dan beranak pinak. Walau akhirnya MetroTV mengakui kesalahannya ... http://regional.kompasiana.com/2012/09/24/akhirnya-metro-tv-mengaku-salah/ ... tapi menurut saya, dia sudah sukses sebagai media.
Berhati-hatilah kita dalam menyikapi berita. Karena pihak media sangat piawai meracik bahasa agar supaya menimbulkan beragam persepsi. Dan persepsi yang terbentuk di masyarakat, kadang menjadi tidak terkendali dan memicu chaos. Kalau chaos tomat sih gak masalah. Tapi bila persepsi itu kemudian disetujui oleh masyarakat dan membentuk opini publik, maka kita akan turut andil dalam ghibah bahkan bisa menjurus ke namimah ( adu domba ).
Maka waspadalah ! Waspadalah !
Minggu, 23 September 2012
Kalau Aku Sudah Punya Anak
Listrik padam sejak jam 3 dini hari.
Selepas subuh, aku terpaksa memaksa nasi dengan cara tradisonal, maksudnya tidak menggunakan Magic Comp seperti biasanya. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengajari Nayla, putri ke-3 ku. Nayla ini anak yang motorik kasar dan halusnya bagus. Dia pun suka diajari hal-hal baru yang berbau 'wanita'.
Saat aku mengaduk beras di atas panci, maka nasehat pun aku luncurkan. Dia yang menyorotkan lampu senter dan aku yang memasak.
"Nay, begini cara masak nasi yang sebenarnya. Direbus dulu, baru nanti dikukus. Dulu ibu waktu sekolah, membantu nenek memasak nasi seperti ini."
"Tidak pakai magic comp ya bu ?"
"Tidak. Seperti ini masaknya."
Nayla diam sejenak, lalu dia menggelandot di pingganggku.
"Ibu, kalau aku besok sudah punya anak, terus lampu mati, terus aku masak nasi seperti ini, terus aku bilang begiti, dulu ibu suka membantu nenek masak nasi seperti ini. Begitu ya bu ?"
Aku hampir terbahak.
Jadi yang dia tangkap adalah kalimatku saja. Tapi mudah-mudahan kelak kau akan menjadi ibu rumah tangga yang baik dan istimewa, Nak. Lebih baik dari ibumu ini, yang bisanya cuma mengetik kisah ini di blog.
Selepas subuh, aku terpaksa memaksa nasi dengan cara tradisonal, maksudnya tidak menggunakan Magic Comp seperti biasanya. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengajari Nayla, putri ke-3 ku. Nayla ini anak yang motorik kasar dan halusnya bagus. Dia pun suka diajari hal-hal baru yang berbau 'wanita'.
Saat aku mengaduk beras di atas panci, maka nasehat pun aku luncurkan. Dia yang menyorotkan lampu senter dan aku yang memasak.
"Nay, begini cara masak nasi yang sebenarnya. Direbus dulu, baru nanti dikukus. Dulu ibu waktu sekolah, membantu nenek memasak nasi seperti ini."
"Tidak pakai magic comp ya bu ?"
"Tidak. Seperti ini masaknya."
Nayla diam sejenak, lalu dia menggelandot di pingganggku.
"Ibu, kalau aku besok sudah punya anak, terus lampu mati, terus aku masak nasi seperti ini, terus aku bilang begiti, dulu ibu suka membantu nenek masak nasi seperti ini. Begitu ya bu ?"
Aku hampir terbahak.
Jadi yang dia tangkap adalah kalimatku saja. Tapi mudah-mudahan kelak kau akan menjadi ibu rumah tangga yang baik dan istimewa, Nak. Lebih baik dari ibumu ini, yang bisanya cuma mengetik kisah ini di blog.
Minggu, 16 September 2012
MELAMAR NENENG
( Cerpen ini dimuat di Radar Bromo, lupa tanggalnya ...hihihi )
Mugi sudah
membulatkan tekad melamar Neneng. Seorang gadis cantik ang tinggal di kecamatan Wonoasih. Menjadi kasir di sebuah
koperasi. Tepat di hadapan bengkelnya yang kerap sepi. Dia sudah tidak tahan
lagi melihat Neneng yang sering digoda teman laki-lakinya. Dia tak rela melihat
Neneng yang marah besar bila teman-teman sekantornya menggodanya. Lalu para
lelaki itu tertawa senang.
Mugi sebenarnya
ingin menolong layaknya pahlawan. Tapi apalah daya. Neneng tidak ada ikatan
dengannya. Mugi hanya kerap menyampaikan salam. Itupun lewat satpam.
Semakin hari, Mugi
semakin geregetan. Baginya Neneng adalah istri idaman. Berjilbab rapi dan
rupawan. Setiap hari, menaiki motor bebeknya dan selalu menjadi karyawan
pertama yang datang. Sudah setahun ini, Mugi mengamati Nenang dari bengkelnya.
Dan dia pun tak tahan untuk mengirim salam setiap hari. Pada satpam koperasi
yang kerap melepas lelah seraya minum kopi, di bengkelnya yang selalu sepi.
“Neneng itu anak
tunggal, “ cerita Mamat, sang satpam koperasi, “bapaknya kerja di Surabaya , ibunya tinggal
di Bondowoso. Kalau mau melamar Nenang, kau harus menghadap bapaknya di Surabaya . Orang-orang di
kantor gak ada yang berani ngelamar Neneng. Katanya, bapaknya sangar. ”
Mugi
cengar-cengir. Orang sangar belum tentu hatinya sangar. Mugi yakin bisa
menaklukkan hati bapaknya Neneng. Dia sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai
macam tipe orang. Yang terasa berat baginya adalah ongkos melamar ke Surabaya yang tidak
murah. Dan untuk itu Mugi harus banting tulang demi mendapatkan Neneng. Maka,
saat Pak Lek-nya memberi dana, tanpa pikir panjang, Mugi melapor pada Mamat, si
mak comblang.
“Aku mau melamar
Neneng. “
Mamat terkejut,
tidak menyangka Mugi nekad melamar. Dipandanginya Mugi dari ujung kepala hingga
ujung kaki. Rambutnya keramas seminggu sekali. Untunglah, bau kecutnya kalah
oleh bau oli. Seragam kerjanya tentu saja baju kumal penuh noda oli yang sudah
bolong di sana
sini. Kakinya tak pernah menyapa alas kaki, meskipun hanya kelompen atau sandal
jepit. Mugi hanya memakai sandal kalau Jum’atan ke mesjid. Itupun setelah sibuk
mencari pinjaman ke sana
sini. Saat itulah dia kelihatan rapih dan bersih. Meski istilah ganteng masih
harus dipikirkan masak-masak untuk menyebutnya walau sekali.
“Aku akan mempertemukan
kau dan Neneng, selesai Jum’atan, “ ucap Mamat bijak, walau dia sangsi Mugi
akan diterima. Dia dan Neneng seperti bumi dan langit.
“Dukung aku, ya
Mat. Kalau dia sudah kulamar, dia tidak akan digoda lagi sama orang-orang di
kantormu. “
Mamat manggut-manggut,
setuju dengan niat baik Mugi. Setidaknya, lelaki di hadapannya adalah lelaki
yang sangat menghormati Neneng. Hanya nitip salam, tidak pernah menggoda
seperti lelaki lain. Walau kere, tapi hatinya kaya. Buktinya, dia mentraktir
Mamat minum kopi siang ini.
“Soal dana
kawin, itu gampang dicari. Aku bisa ngutang sama kamu, kan Mat ?”
Mamat tersedak.
OoO
Tidak disangka,
Mugi ternyata panas dingin begitu dipertemukan dengan Neneng. Padahal, setiap
saat Mugi memantau Neneng dari seberang jalan. Pintu depan koperasi berkaca
bening, tepat di depan kasir. Dan bengkel Mugi, pas lurus di seberang jalan.
Bukankah dia sudah terbiasa melihat Neneng ? Mamat geleng-geleng kepala.
Seingatnya, dia tidak se-grogi Mugi saat apel ke calon istrinya dulu. Pantesan selama
ini Mugi hanya berani titip salam.
“Neng, Mugi mau
melamar kamu, “ ucap Mamat, tandas.
Neneng terkejut.
Mamat sama sekali tidak pantas menjadi mak comblang. Sama sekali tidak ada kata-kata
pembukaan apalagi kata-kata manis yang menyanjung Mugi. Mugi merutuk dalam
hati. Sementara baju kokonya sudah basah oleh keringat dingin. Sarungnya pun,
walau tak melorot, berkali-kali dinaikkannya.
Neneng menatap Mugi
sekilas. Tak pernah dia berharap, bahkan dalam mimpinya sekalipun, akan dilamar
di depan cash registre. Beberapa
pramuria terkikik di balik rak minuman. Beruntung bagi Mugi, teman-teman kantor
Neneng masih belum pulang dari Jum’atan. Kalau tidak, pasti dia ditertawakan
habis-habisan.
“Aku … aku ….”
Mugi tersenyum
gembira. Katanya, kalau gadis tidak bisa ngomong pas dilamar, pertanda dia
menerima. Entah Mugi mendapat info dari siapa.
“Gini aja, Neng.
Baiknya, Mugi ini kamu kasih alamat bapakmu. Biar dia sendiri yang melamar ke
bapakmu, “ saran Mamat lagi, memperjelas keadaan, mempercepat pekerjaan.
Neneng menelan
ludah. Mugi juga. Tapi kemudian Neneng mengangguk. Mengambil secarik kertas dan
menuliskan alamat. Lengkap dengan naik bus kota dan angkot jurusan apa dan turun di
mana.
Mugi mengambil
kertas itu dan pamit dengan sopan setelah membetulkan peci dan sarungnya.
Tinggal Neneng yang masih termangu, tidak percaya pada apa yang baru saja
dialaminya. Diliknya Mugi yang sudah duduk di bengkelnya, tersenyum-senyum
membaca kertas yang diberinya tadi.
“Apa benar,
lelaki itu calon suamiku ?”
Pikiran Neneng
menjadi kacau. Tiba-tiba dilamar orang yang tak terduga. Padahal dia mengira,
salah seorang teman sekantornya yang akan melakukanya lebih dulu. Neneng
bertekad sholat istikharoh semalam suntuk, sebelum menelpon bapaknya.
OoO
Akhirnya Mugi
berhasil menemukan kantor tempat bapak Neneng bekerja, sebuah travel bus antar
provinsi. Setelah salah naik angkot dan terpaksa bertanya ke lebih dari dua
puluh orang. Terik dan ruwetnya Surabaya
telah membuatnya kering. Air mineralnya tandas dan uangnya hanya cukup untuk
ongkos pulang, tentunya tanpa keliru angkot dan bus kota .
Pak Gatot,
lelaki gendut berkumis tebal itu memang layak disebut sangar. Menatap matanya
saja, sudah membuat lutut Mugi gemetaran. Tapi tak mungkin niatnya
dibatalkannya begitu saja. Dia sudah banyak berkorban. Walaupun ditolak, dia
tidak akan patah arang. Setidaknya, dia sudah membuktikan pada Neneng, bahwa
dia serius ingin meminang.
Pak Gatot
tersenyum melihat secarik kertas milik Neneng. Rute bus kota dan angkot. Dia pun mengerti, kenapa
Neneng memberi Mugi rute berputar-putar kota Surabaya hanya untuk
menemui dirinya. Padahal kantornya bisa ditempuh hanya berjalan kaki lima menit saja dari
Terminal Purabaya.
“Hm, Neneng
sudah menelpon kemarin. Katanya Nak Mugi mau melamar Neneng ?”
Mugi mengangguk
hormat.
“Nak Mugi kerja
apa ?” tanya Pak Gatot dengan ramah.
Mugi merasa
lega. Pak Gatot ternyata tidak sesangar wajahnya, seperti perkiraannya. “Saya
kerja di bengkel, Pak. Punya saya sendiri. “
“Hmm. Sudah
mantap mau menikahi anak saya. “
“Iya, Pak. “
“Kalau begitu,
Nak Mugi harus melakukan sesuatu untuk saya. “
“Apa itu, Pak ?”
“Tolong antarkan
bungkusan ini ke istri saya, ibunya Neneng di Bondowoso. Malam ini harus sudah
sampai. Ini alamatnya dan ini ongkosnya. “
Mugi tertegun
melihat amplop dan sebuah kotak mirip kardus sepatu yang dibungkus kertas
sampul, tepat di hadapannya. Bahkan, dia pun diberi ongkos.
“Tapi, dompet
Nak Mugi ditinggal saja di sini. KTP-nya saja yang dibawa. Dan ini alamat rumah
saya di Bondowoso.”
Mugi menelan
ludah. Berkali-kali.
OoO
Mugi mengumpat
berkali-kali dalam hati. Merutuki kebodohannya tanpa suara. Uang di amplop itu
hanya cukup untuk membawanya ke Probolinggo, kotanya sendiri. Mugi merasa, ini
sebuah peringatan halus, bahwa lamarannya ditolak. Dia harus kembali ke
kotanya, kembali mengadu nasib di bengkel sepeda motornya yang selalu sepi.
“Tapi, aku harus
mendapatkan Neneng, “ tekadnya membaja, apalagi membayangkan senyum manis
Neneng pada setiap pengunjung koperasi. Dia ingin memiliki senyum itu setiap
hari. Akan menjadi pelepas lelahnya setelah menutup bengkel.
Maka dia berdiri
di depan terminal Bayuangga, terminal Probolinggo. Melambai-lambai pada truk-truk
yang lewat, berharap mendapat tumpangan. Perutnya sudah melilit, kelaparan. Dan
kerongkongannya kering kerontang. Sementara matahari mulai tergelincir ke barat,
dan sebentar lagi akan ditelan malam. Mugi melirik lelaki di sebelahnya, yang
sedang menunggu bus. Lelaki perlente dengan baju dan celana necis. Dasi dan tas
koper. Dia sibuk menelpon dengan handphone-nya. Andai lelaki ini yang melamar
Neneng, pasti dia bisa sampai di Bondowoso dengan tetap segar bugar.
Mugi
mengeluarkan handphonenya, model paling lawas yang dibelinya dari seorang
teman. Bahkan tak ada pulsa di dalamnya. Mugi putus asa, tak bisa meminta
tolong pada Mamat. Dia hanya bisa berdoa, semoga Tuhan mendatangkan malaikat
penolong baginya.
Sebuah bus
jurusan Bondowoso lewat di hadapannya. Mugi tak berani mengayunkan tangan untuk
memberhentikannya. Namun, seraut wajah menatapnya dari balik kaca jendela bus, di
deretan bangku paling depan. Neneng ! Segera Mugi menghadang truk yang berjalan
pelan di belakang bus yang ditumpangi Neneng. Mugi langsung melompat naik dan
berdiri di jendela sopir.
“Mas ? Ke
Bondowoso ?”
“Kraksaan, Mas.
“
“Aku numpang ya,
Mas. Tolong. Aku harus mengejar calon istriku !” pinta Mugi dengan tampang
memelas. Sebenarnya dia tidak perlu melakukannya, karena wajahnya sudah
mengenaskan.
Sopir itu
mengangguk. Mugi langsung membuka pintu dan duduk dengan lega. Berkali-kali dia
mengucap syukur. Allah telah mengirim sebuah pertolongan. Wajah Neneng yang
telah memompa semangatnya. Dipeluknya bungkusan dari Pak Gatot itu erat-erat.
Dia harus sampai ke Bondowoso malam ini juga.
OoO
Rumah bercat
putih itu tampak bergoyang ke kiri dan ke kanan. Apalagi bila Mugi mengerjapkan
matanya, rumah itu tampak menjadi dua atau tiga, berjejer saling tumpang
tindih. Langkah Mugi terseok-seok. Sudah lewat tengah malam, dan dia telah
menempuh berkilo-kilo meter dari pinggir kota
Bondowoso. Syukurlah, dari Kraksan ke Situbondo, dia mendapat tumpangan seorang
tukang ojek. Dia pun sudah banyak bertanya pada tukang-tukang becak yang sudah
mendengkur di becaknya. Atau satpam bank yang menatap curiga padanya. Ahirnya
dia sampai di rumah Neneng.
“Neneng, aku
sudah tak sanggup lagi …” batin Mugi dalam hati. Bahkan membatin pun Mugi sudah
tak ada tenaga lagi.
Perlahan, dia
membuka pintu pagar dengan langkah lunglai. Memencet bel di tembok, lalu
ndelosor di lantai. Terdengar ayam berkokok di kejauhan. Sebentar lagi subuh.
Pintu terbuka,
dan seorang wanita separuh baya terkejut melihat Mugi, lalu memanggil-manggil
anaknya.
“Neng ! Neneng !
Lihat siapa yang datang !”
Mendengar nama
Neneng disebut, Mugi kontan bisa bersimpuh dengan punggung tegak. Tak kuat lagi
dia mengangkat dengkulnya. Dengan hormat dia menyerahkan bungkusan titipan Pak
Gatot pada wanita di hadapannya. Andai dia masih kuat bicara, dia pasti
berucap, sendiko dawuh…
Neneng muncul di
teras, melotot tak percaya melihat Mugi bersimpuh di hadapan ibunya. Barulah
dia percaya, bahwa mengapa bapaknya setuju menerima Mugi jadi suaminya. Sementara
sang ibu membuka bungkusan dari suaminya, dan membaca surat yang ada di dalamnya.
“Bu, ini uang buat biaya kawin anak kita.
Yang ngantar ini calon mantu kita. “
Mugi langsung
terkapar. Dia merasa bagai di surga. Sempat dia memaki dalam hati pria gendut
berkumis tebal itu. Mengapa hanya mengongkosinya lima
belas ribu, sementara bungkusan yang dipeluknya sejak dari Surabaya itu berisi berjuta-juta.
OoO
Sabtu, 15 September 2012
Gift From Mr.Kim, Aida MA
![]() |
Mr. Kim Tae Won |
Belum pernah megang bukunya, apalagi baca isinya. Cuma lihat covernya doang. Terus aku bisa cerita apa ya tentang Mr. Kim Tae Won ? Ada-ada saja nih mbak Aida MA. bikin acara. Hihihi ...
Hmmm ... lihat siluetnya dulu dah.
Mr. Kim adalah seorang pekerja keras. Di Korea, dia mempunyai sebuah usaha Bakery yang lumayan besar. Dari sinilah dia menghidupi dua orang istri ( weekk ... duuuuuaaaa, kayak iklan mie instan ajah........kekeke ) dan kelima orang anak lelakinya.
Mr. Kim memang seorang lelaki yang mempesona. Kalau versi barat, mirip-mirip Harrison Ford-lah. Rambutnya agak ikal dan matanya tidak begitu sipit. Hidungnya lumayan mancung dan dia punya senyum terindah se-Seoul. Senyum itu yang berhasil menaklukkan hati kedua wanita yang kini menjadi istrinya dan tentu saja para pelanggan Bakery-nya selalu bertambah karenanya. Hingga para pelanggan menjuluki Bakery Mr. Kim sebagai Toko Senyum, saking terkenalnya senyum Mr. Kim ( jadi penasaran sendiri nih .... )
Walaupun sudah berumur, Mr. Kim masih kelihatan muda, karena dia rajin berolahraga dan suka makan sayur ( hayooo ... yang sudah merasa tua contoh nih Mr. Kim ) Dia seorang lelaki berbadan atletis tapi berjiwa lembut. Kelembutan hatinya bersenyawa dengan roti-rotinya yang terkenal empuk dan lembut di mulut. Namun sayang, kelima anak dari kedua istrinya, ternyata menjadi anak-anak yang buruk akhlaknya dan keras perangainya. Hingga Mr. Kim tak hendak mewariskan usaha Bakery-nya pada satupun anaknya. Kecuali bila istrinya melahirkan satu orang anak perempuan, yang dia yakini pastilah lemah lembut perangainya. Kedua istrinya menolak karena mereka sudah berumur. Maka Mr. Kim berniat mencari istri lagi yang bisa melahirkan anak perempuan.
Hingga suatu ketika, datanglah Wika ke tokonya. Gadis belia itu tampak kelaparan karena baru saja kecopetan hingga tak ada uang untuk membeli makanan. Sementara dia tidak mengenal satu pun orang di Korea, karena dia baru seminggu tiba dari Indonesia. Wika sedang mencari bapak kandungnya yang tinggal di Seoul.
Terbetik di benak Mr. Kim yang berjiwa lembut itu, untuk menolong Wika dan menjadikannya istri.
Nah lho ? (Maaaaaap Mbak Aidaaa, kebablas nih imajinasinya ....kekeke ).
Lalu bagaimana kisah ini selanjutnya ? Biar lebih jelas, ayo dukung saya supaya bisa ngedapetin buku ini, jadi ceritanya gak ngelantur. Chayooo !
Jumat, 14 September 2012
Waspadalah Bila Ikut Lomba Menulis di Internet
Lomba menulis atau kuis di dunia maya semakin menjamur. Dengan iming-iming hadiah yang beraneka ragam. Mulai dari sebuah buku, uang, janji diterbitkan atau malah royalti didonasikan. Tapi kita perlu waspada, sebagaimana pesan Bang Napi : Waspadalah ! Waspadalah !
Kenapa ? Apakah lomba-lomba itu sebenarnya menipu kita ? Saya hanya ingin berbagi pengalaman mengikuti sebuah Lomba Menulis, agar teman-teman bisa mengambil pelajaran, dan tidak gegabah. Sebelum mengikuti Lomba Menulis yang diworo-woro di dumay, sebaiknya kita perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini :
Dewan Juri yang terdiri dari: Ismet Fanany (Ketua), Rizanur Gani (Anggota), dan Wisran Hadi (Anggota) dengan ini mengumumkan hasil Sayembara Perdana Menulis Cerpen AA Navis sebagai berikut:
Selain hadiah utama di atas, sepuluh cerpen terpilih sebagai pemenang hadiah hiburan (dalam urutan abjad) adalah:
Juara I mendapat hadiah sebesar Rp 5 juta, Juara II Rp 3 juta, dan Juara III Rp 2 juta, sementara pemenang hadiah hiburan masing-masing menerima Rp 250 ribu. Selain itu, para pemenang juga akan menerima sebuah piagam.
Penyerahan hadiah dan piagam tersebut akan dilakukan dalam sebuah acara yang akan diadakan di Universitas Negeri Padang pada tanggal 11 Juli 2007. Semua pemenang diundang untuk menghadiri acara tersebut. Para pemenang diharapkan menghubungi panitia untuk memastikan kehadiran dan memberi tahu ke alamat mana hadiah dan piagam itu dapat dikirimkan melalui e-mail: ifanany@deakin.edu.au atau rektor@unp.ac.id atau effendi411@yahoo.com .
Kenapa ? Apakah lomba-lomba itu sebenarnya menipu kita ? Saya hanya ingin berbagi pengalaman mengikuti sebuah Lomba Menulis, agar teman-teman bisa mengambil pelajaran, dan tidak gegabah. Sebelum mengikuti Lomba Menulis yang diworo-woro di dumay, sebaiknya kita perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini :
- Pastikan anda adalah orang yang aktif di dumay. Maksudnya, anda bukan orang yang setahun sekali terkoneksi dengan internet. Minimal seminggu sekali, anda terhubung dengan internet.
- Pastikan info Lomba Menulis itu diselenggarakan oleh sebuah institusi terpercaya atau orang yang bisa anda percaya. Jadi bila anda menang, pihak panitia akan bela-belain mencari anda sampai ke ujung dunia untuk menyerahkan hadiah.
- Catat lomba apa saja yang anda ikuti. Bila anda mengikuti banyak lomba menulis, jangan lupa untuk selalu menuliskan di tembok dengan tulisan gedhe-gedhe kapan DEADLINE, TANGGAL PENGUMUMAN dan DIUMUMKAN DIMANA.
Kenapa hal ini saya sampaikan, karena saya pernah merasa begitu dirugikan oleh sebuah lomba menulis karena saya tidak melakukan hal tersebut di atas. Yaitu :
- Sebelumnya saya hanya terhubung dengan internet 3 bulan sekali, dan hal ini membuat saya kapok karena selalu ketinggalan informasi Lomba Menulis
- Suatu ketika saya menang Lomba Menulis dan hadiahnya gak pernah saya terima karena poin nomer satu di atas, dan karena panitianya tinggal di Luar Negeri dan malas mencari saya ke pelosok desa. Padahal, gak usah pakai dukun pun saya pasti mudah ditemukan :D
- Saya gak pernah nyatet tanggal pengumuman dan diumumkan dimana Lomba Menulis yang saya ikuti, walhasil, kembali ke poin satu lalu balik ke poin 3, saya jadi gak tahu kalau saya menang Lomba Menulis dan ini membuat saya nangis bombay .... huaaaaaa.
Cekidot di mari : http://www.unp.ac.id/index2.php/files/uppl/index2.php?pModule=news&pSub=news&pAct=detail&detail=62
PENGUMUMAN HASIL SAYEMBARA
CERPEN A.A NAVIS
KERJASAMA UNIVERSITAS NEGERI PADANG DENGAN DEAKIN UNIVERSITY
IKUT DISPONSORI OLEH BANK NAGARI SUMATERA BARAT
Dewan Juri yang terdiri dari: Ismet Fanany (Ketua), Rizanur Gani (Anggota), dan Wisran Hadi (Anggota) dengan ini mengumumkan hasil Sayembara Perdana Menulis Cerpen AA Navis sebagai berikut:
Juara I: Arisan Mati, karya Iim Fahmi Ilman
Juara II: Cincin Kelopak Mawar, karya Firdaus
Juara III: Hujan Kota Arang, karya Muram Batu
Beduk di Atas Kuburan, karya Eriyandi Budiman
Bersampan ke Tepi Tanah Mimpi, karya Satmoko Budi Santoso
Bila Si Janah Hamil Tua, karya Narudin
Gajah Berkaki Tiga, karya Budi Hutasuhut
Gatotkaca Sang Provokator, karya Reka Yuda Mahadika
Impian, karya Roidah
Lampu Neon, karya Lumaksono
Langit Lebaran Dokar, karya Shofa Muhammad
Mahar Isnani, karya Amalia Dewi Fatimah
Sebuah Sayatan, karya Alex Gunawan
Juara I mendapat hadiah sebesar Rp 5 juta, Juara II Rp 3 juta, dan Juara III Rp 2 juta, sementara pemenang hadiah hiburan masing-masing menerima Rp 250 ribu. Selain itu, para pemenang juga akan menerima sebuah piagam.
Penyerahan hadiah dan piagam tersebut akan dilakukan dalam sebuah acara yang akan diadakan di Universitas Negeri Padang pada tanggal 11 Juli 2007. Semua pemenang diundang untuk menghadiri acara tersebut. Para pemenang diharapkan menghubungi panitia untuk memastikan kehadiran dan memberi tahu ke alamat mana hadiah dan piagam itu dapat dikirimkan melalui e-mail: ifanany@deakin.edu.au atau rektor@unp.ac.id atau effendi411@yahoo.com .
Gubrak ! Selalu hadiah hiburan ....kekeke !
Setelah 5 tahun berlalu baru tahu kalau pernah menang Lomba Menulis dengan penyelenggara sekeren AA Navis. Segera ku email, tapi ternyata email itu sudah tidak ada lagi .... huaaaa !
Oleh karena itu, bagi teman-teman yang ikut Lomba Menulis di internet. Waspadalah ! Atau hadiah anda melayang.
Kamis, 13 September 2012
VEGETARIAN
Dimuat di : Radar Bromo, 31 Oktober 2010
Jaka adalah teman yang baik tapi tidak menyenangkan.
Dia baik dalam segala hal namun tidak menyenangkan dalam urusan makan. Teman
yang berada dalam kesulitan apapun bentuknya, dia selalu menjadi orang pertama
yang menawarkan bantuan. Dia bisa sangat dermawan untuk urusan makanan,
terutama bila makanan itu tidak masuk dalam daftar makanan vegetariannya.
“Darimana kamu mendapat protein ?” bisikku saat makan
siang di kantin kantor.
Di hadapan Jaka hanya ada nasi, sayur-sayuran mentah,
dua iris tempe goreng dan pepes tahu. Tentu saja semuanya dia bawa dari
rumahnya. Diletakkan dalam kotak bekal makanan yang memenuhi standar kesehatan.
Begitu juga dengan bekal minumnya. Air bening ( bagiku air putih adalah susu )
yang juga berada dalam botol minuman berstandar kesehatan. Aku yakin, istrinya
adalah orang yang paling sering dibuatnya pusing tujuh keliling.
“Protein dari kedele lebih bagus dari daging di
hadapanmu itu. “
“Bagus buat dompet ?”
Jaka tersenyum. Seperti biasa, di mana-mana dia
begitu percaya diri dengan pola hidupnya. Setahuku, semua vegetarian seperti
itu. Begitu bangga dengan pola hidup sehatnya.
“Memang. Bagus buat dompet. Sekarang dan masa yang
akan datang. “
“Maksudmu ?”
“Kalau aku sudah seusia Pak Herman, aku tidak akan
bolak-balik masuk rumah sakit. Kesehatan mahal harganya. “
Aku mengangkat bahu. Terlintas raut wajah Pak Herman
dengan mulut agak miring akibat stroke yang menyerangnya sebulan yang lalu.
Sekarang, atasan kami itu terbaring tidak lagi di rumah sakit. Padahal baru dua
minggu yang lalu dia tampak sehat dan sudah masuk kantor.
“Sebaiknya kau perhatikan pola makanmu, Rus, “ ucap
Jaka sambil menikmati sayur kol mentahnya sambil melirik ke arah piringku yang
belum kusentuh, “mumpung masih muda, masa depan kita masih panjang. “
Aku selalu merasa mual melihat Jaka bila sudah
melahap sayur mayur mentahnya. Aku teringat hewan peliharaan mertuaku. Apa
enaknya makan sayur mentah ? Menyedihkan. Bahkan melihat Jaka mengunyahnya
dengan lahap, sempat menghilangkan selera makanku. Padahal paha ayam bumbu
kecap dan sambal bajak yang kini berada di hadapanku adalah menu favoritku di
siang hari yang terik ini. Dan sebotol minuman bersoda dingin sebagai
pendampingnya.
Hhhh … apa peduli Jaka ? Harusnya aku juga tidak
peduli dengan menu makan siangnya yang menyedihkan. Bagiku yang penting bisa
makan enak dan enak makan.
OoO
Prasmanan. Tentu saja ritual makan yang menggairahkan
bagi semua undangan. Hani, seorang staff TU yang baru setahun bekerja di kantor
kami, menggelar resepsi pernikahannya di sebuah hotel. Cukup mewah. Tidak
mengherankan, karena walaupun Hani cuma seorang TU, bapaknya adalah pemilik
hotel ini.
“Bagaimana Jaka ?” bisik istriku saat para undangan
yang sudah memberi selamat kepada kedua pengantin, dipersilahkan untuk
menikmatai hidangan.
“Memangnya kenapa dia ?” tanyaku balik bertanya.
“Dia mau makan apa di sini ?”
Aku menebar pandanganku ke meja-meja tempat semua
makanan serba lezat itu dihidangkan. Tidak ada satupun selera Jaka ada di sana.
Semuanya adalah seleraku. Walaupun jam enam tadi pagi aku sudah sarapan, tapi
melihat semua hidangan itu, aku menjadi kelaparan. Padahal masih jam sepuluh,
belum waktunya makan siang. Apa peduliku …. ini pesta, kan ? Jaka ada benarnya.
Mumpung masih muda dan masa depan panjang, maka manfaatkan sebaik-baiknya
sebelum masa tua datang. Yaitu, saat dokter memberikan list daftar makanan yang
terlarang untuk dikonsumsi.
“Mungkin dia akan makan ini ….” bisikku pada istriku
sambil menunjuk ke deretan daun selada yang menghiasi tepi beberapa piring lauk
pauk
Istriku tertawa geli. Dia menoleh ke belakang,
mencari sosok Jaka dan istrinya.
“Kasihan dia, Mas … “
“Tidak usah dipedulikan. “
Lalu aku dan istriku mengambil tempat duduk di tepi
kolam ikan. Rupanya Jaka dan istrinya menyusul. Aku dan Jaka memang teman
dekat. Maka tak heran kami selalu tampak bersama di kantor.
Rupanya istri Jaka bukan seorang vegetarian. Kulihat
lima tusuk sate di piringnya, sepotong ayam goreng, beberapa sendok nasi. Sama
sekali tidak ada sayur. Dan seperti perkiraanku, Jaka mengambil beberapa helai
daun selada dan dua iris tomat.
“Jaka … kamu menyingung perasaan Hani, “ ucapku
bercanda, “makanan di pestanya tidak ada yang enak. “
Jaka tersenyum seperti biasa, “Ini yang super enak,
Rus ! Coba deh !”
Aku menggeleng dan memutar badanku. Tidak tega, tidak
sampai hati, tidak ingin kehilangan selera makan bila berhadapan dengan Jaka.
Di mata aku dan istriku, alangkah tersiksanya hidup
Jaka dengan pola makan vegetariannya. Bahkan di sebuah pesta tempat kita bebas
makan sepuasnya, hanya dia yang tampak terpenjara dengan sayur mayurnya.
OoO
Himbauan Jaka atau mungkin lebih tepat rayuan tak
ayal membuatku tertarik untuk mencoba.
“Mengkonsumsi sayuran mentah akan memberikan vitamin
dan nutrisi segar pada tubuh kita, Rus. Lihat saja kulitku. Bersih dan sehat
kan ?”
Sejak dulu aku memang heran dengan kulit Jaka yang
tampak bersih. Apalagi kulitnya kuning langsat, tidak seperti kulitku yang sawo
matang. Kukira dulu dia rajin menggunakan lotion untuk pria atau sejenisnya.
Apalagi, di usia kami yang menjelang empat puluh, wajahnya tampak masih
kencang, alias jauh dari keriput. Ternyata itu rahasianya.
“Karena tidak beresiko terkena berbagai penyakit
degeneratif, maka lebih panjang umur.”
Aku tertegun. Panjang umur ? Sepertinya nasehat itu
lebih cocok untuk Pak Herman yang kondisinya sedang kritis sejak kemarin. Usia
beliau sudah lima puluh lima. Tahun depan sudah pensiun. Tapi, bisa jadi dia
akan pensiun lebih dulu kalau serangan jantungnya kemarin berhasil
mengalahkannya.
“Umur tidak ditentukan oleh makanan, Jaka. Tapi oleh
takdir. Kalau sudah saatnya mati, ya pasti mati. Tidak bisa ditangguhkan. “
Jaka tersenyum.
“Siapa bilang aku tidak percaya takdir. Tapi takdir
bisa berubah tergantung usaha dan doa kita, kan Rus ?”
Aku mengangkat bahu. Lalu pandanganku jatuh di atas
kotak bekal makanan Jaka. Kali ini irisan wortel mentah, mentimun dan tahu yang
dibuat mirip paha ayam.
“Cobalah wortelnya. Manis. “
Jaka mengulurkan kotak bekalnya. Aku hendak mencomot
paha ayam palsu itu, penasaran dengan rasanya. Tapi kasihan Jaka, nanti dia
makan tanpa lauk. Di kantin tidak akan ada lauk seperti ini. Akhirnya aku
mencomot seiris wortel. Perlahan, kumasukkan dalam mulutku. Mengunyah …
mengunyah … mengunyah … dan m-e-n-e-l-a-n.
“Bagaimana ?” tanya Jaka yang mengamatiku sejak tadi.
Perutku tiba-tiba mual, karena tadi sempat membayangkan
telingaku menjadi lebar dan panjang seperti kelinci.
“E-n-a-k …” jawabku terbata.
Sebotol minuman bersoda seketika menjadi penawar rasa
wortel yang getir bagiku. Jaka tertawa kecil. Aku merutuk dalam hati, bersumpah
tidak akan menuruti anjuran Jaka lagi. Selera makanku menjadi hilang, karena
perut sudah kenyang oleh sebotol minuman bersoda.
“Kalau kamu membiasakannya, kamu bisa panjang umur,
Rus. Coba juga kecambah mentah. Itu lebih bagus lagi. “
“Bisa panjang umur ?”
“Tentu saja. “ jawab Jaka optimis.
OoO
Lembur membuat mengantuk di pagi hari. Tapi membuat
para istri senang saat menerima gaji. Tak apalah, toh aku tidak perlu lembur
setiap hari. Hanya seminggu menjelang akhir bulan ini. Jaka mengeluh.
“Sebenarnya kita tidak perlu lembur di akhir bulan.
Kalau saja Pak Herman tidak menumpuk tugas-tugas kita dan baru membaginya
kemarin … “
“Dia hanya membantu kita. Menambah penghasilan.
Hehehe … jalani saja, Jaka. Apalagi Pak Herman sakit sebulan ini. Makanya
sekretarisnya tidak tahu kalau masih banyak tugas yang belum diserahkan pada
kita. “
“Iya sih … tapi sepertinya, bulan ini kita lebih
sering lembur gara-gara kita dia sakit. “
Aku mengangguk-angguk. Sebenarnya berusaha mengusir
kantuk. Sudah hampir jam dua belas malam. Memang sudah waktunya berlayar di
pulau kapuk bersama istri tersayang.
“Jaka … aku tidak kuat lagi nih. Aku harus pulang !”
Mataku sudah sangat berat, seperti digantungi
berkas-berkas tebal di hadapanku. Di ruangan kami, ada lima orang yang terpaksa
kerja lembur. Aku menoleh ke arah Jaka. Pantas dia tidak merespon. Dia sudah
tertidur di hadapan komputernya.
“Jaka … aku mau pulang dulu !”
“Hmm … “
sahutnya samar. Rupanya dia masih mendengarku.
Sebelum pulang, aku mampir dulu di sebuah depot dekat
kantor yang masih buka. Memesan kopi jahe, berharap bisa membuatku terjaga
sampai rumah. Berkendara sepeda motor dalam kondisi mengantuk bukanlah hal yang
kusukai. Berjalan lambat tambah mengantuk, berjalan cepat malah khawatir.
Kuharap jahe yang dimemarkan yang berada dalam gelas kopiku dapat membantuku
melek sepanjang jalan. Aku mengunyah jahe itu. Seketika mataku melotot. Pedas.
Sempat teringat wortel mentah Jaka, tapi segera kuusir jauh-jauh ingatan itu.
OoO
Aku berharap suasana kantor di pagi hari tampak
segar, walau aku tidak bisa menjamin hal itu terjadi. Karena di ruanganku,
semalam lembur semua. Aku tidak tahu mereka lembur sampai jam berapa, karena
aku pulang lebih dulu.
Ruangan sepi. Kemana semua orang. Hanya ada
sekretaris Pak Herman, wajahnya kusut. Sepertinya dia habis menangis.
“Ada apa Bu ?” tanyaku penasaran.
Dia menyusut air matanya. Aku curiga, jangan-jangan
perkiraan kami benar-benar terbukti. Pak Herman benar-benar meninggal ?
“Semalam … ada yang kecelakaan, Pak Rus. “
“Apa ? Siapa ?”
“Pak Jaka. “
Aku segera melompat mendekati wanita itu. Dia semakin
terisak.
“Lalu di mana di sekarang ? Bagaimana kondisinya ?”
“Barusan polisi yang menelpon. Dia sudah ….
meninggal. “
Innalillahi ….
Aku langsung terduduk lemas. Pasti dia sangat mengantuk
saat naik menyetir sepeda motor. Bukankah Jaka yakin dia akan berumur panjang
dengan pola makannya ? Lalu mengapa dia mati begitu cepat ? Aku tidak dapat menemukan jawabannya dengan
cepat, karena berbagai lintasan ingatan tentang semua sayur mayur mentah yang
telah dilahap Jaka begitu bersemangat.
OoO
Terkunci
Postingan ini diikutkan dalam #FF2in1 @nulisbuku 13 September 2012 pukul 21.30
Selalu saja, tak pernah berhasil. Setiap lukisan yang kuhasilkan, selalu saja menghasilkan sepasang mata indah dengan bulu lentik itu. Lesung pipit dan deretan gigi yang putih bersih. Heran, sungguh mengherankan. Padahal semua tentang dirinya sudah aku kubur bersama lukisan-lukisan dirinya.
Aku harus mengubah jalan hidupku. Hidupku bukanlah burung dalam sangkar. Yang hanya menerima takdir, melihatmu dalam sangkar indah lainnya. Tidak, aku selalu bertekad untuk bebas dan lepas dari cinta yang memenjara ini. Tapi kenapa aku selalu tak berdaya.
Kembali, lukisan lelaki berjenggot di hadapanku, terlukis dengan mata indahmu. Juga lesung pipitmu. Hingga lelaki itu begitu murka dan menyobek-nyobek kanvas di hadapanku. Aku hanya bisa tertegun. Sungguh, aku tak pernah bisa melupakan mata indahmu.
Kemarin, aku dipecat dari galery. Mereka tak mau mempekerjakan aku lagi. Karena semua lukisan binatang yang mereka pesan, selalu berbulu mata lentik dan indah sepertimu. Aku sungguh tak bisa lagi melukis hal nyata dalam hidupku. Semua imajinasi dan akalku terkunci dalam dirimu.
Selalu saja, tak pernah berhasil. Setiap lukisan yang kuhasilkan, selalu saja menghasilkan sepasang mata indah dengan bulu lentik itu. Lesung pipit dan deretan gigi yang putih bersih. Heran, sungguh mengherankan. Padahal semua tentang dirinya sudah aku kubur bersama lukisan-lukisan dirinya.
Aku harus mengubah jalan hidupku. Hidupku bukanlah burung dalam sangkar. Yang hanya menerima takdir, melihatmu dalam sangkar indah lainnya. Tidak, aku selalu bertekad untuk bebas dan lepas dari cinta yang memenjara ini. Tapi kenapa aku selalu tak berdaya.
Kembali, lukisan lelaki berjenggot di hadapanku, terlukis dengan mata indahmu. Juga lesung pipitmu. Hingga lelaki itu begitu murka dan menyobek-nyobek kanvas di hadapanku. Aku hanya bisa tertegun. Sungguh, aku tak pernah bisa melupakan mata indahmu.
Kemarin, aku dipecat dari galery. Mereka tak mau mempekerjakan aku lagi. Karena semua lukisan binatang yang mereka pesan, selalu berbulu mata lentik dan indah sepertimu. Aku sungguh tak bisa lagi melukis hal nyata dalam hidupku. Semua imajinasi dan akalku terkunci dalam dirimu.
Yang Terdalam
Postingan ini diikutkan dalam #FF2in1 @nulisbuku 13 September 21.00 WIB
Tema : Yang Terdalam - Peter Pan
Senja itu,
aku terpaku menatap tergelincirnya Sang Surya di ufuk barat. Semburat oranye
mewarnai langit. Dan kurasakan bayang wajah lelaki itu memenuhi kepala dan
dadaku. Sesak. Aku merasa percuma berdiri di pantai nan luas ini. Berharap rasa
sesak itu menguar bersama angin yang mendingin.
Pras. Hanya
nama itu yang bisa kugaungkan. Betapa hatiku sudah dia gali begitu dalam dan
dia bersemayam di sana dengan nyaman. Kugelengkan kepala keras-keras. Sudah
kucoba segala upaya untuk melebur nama itu di lautan. Menerbangkannya di setiap
kepak sayap camar. Tapi usahaku selalu kandas. Karam.
Ijinkan
aku mengenangmu Pras. Meski, selamanya kau tak akan berada di sisiku. Demi rasa
yang sudah mendalam ini. Aku tidak akan membiarkan sedikit pun perih menodainya.
Apakah aku salah ? Bila aku masih berharap menanti cintamu ?
Rabu, 12 September 2012
Reviving Moment - Gadis Istimewa dari Rahimku
Judul di atas, bukan untuk menonjolkan tentang kehebatan putriku atau menghibur diriku. Tapi judul yang kuambil dalam rangka Giveaway di blog Monilando ini, adalah bentuk kekagumanku pada Pencipta putriku.
Mau tahu bagaimana putriku hingga aku menyebutnya gadis yang istimewa ?
Ini foto putriku, cantik bukan ? Semua ibu pasti akan mengatakan putrinya cantik :D. Namanya Fathin Nisa Elfathiyya. Putriku ini menderita autisme. Dia adalah putri kedua dari keempat putra-putriku.
Autisme yang dia derita aku ketahui ketika dia berumur dua tahun. Saat itu, seorang teman menyarankan untuk membawa ke seorang psikiater anak. Terapi yang diberikan adalah terapi obat. Selama dua tahun, putriku mengkonsumsi obat. Dan obat-obat itu harganya tidak murah. Tabunganku terkuras habis, bahkan sebidang tanah yang pernah aku rencanakan untuk dibangun rumah di atasnya pun terjual demi pengobatan putriku.
Bagi anak seusia dia, minum obat adalah siksaan terberat. Bagi anak autis, minum obat adalah siksaan berat bagi ibunya. Dia adalah seorang anak kecil dengan tenaga luar biasa. Untuk meminumkan obat padanya, tidak bisa dengan bujuk rayu atau iming-iming hadiah. Aku harus mendekap tubuhnya, mengunci kakinya, dan mendongakkan kepalanya. Orang lain ( ibu atau suamiku ) yang memasukkan obat ke dalam mulutnya. Itu pun dengan rangkaian teriakan dan tangisan. Setelah minum obat, dia akan terus menangis. Bahkan jika tantrum, bisa mencapai satu jam. Terus menerus menangis histeris dan membanting-banting tubuhnya. Hingga aku harus melepaskannya di ranjang agar dia tidak melukai dirinya sendiri.
Banyak teman mengatakan, walau memiliki anak tidak normal, wajahku tidak menunjukkan kalau aku stress. Maksudnya, aku tetap saja tersenyum-senyum dan bercanda lepas bila berkumpul dengan teman-temanku. Siapa bilang aku tidak stress ? Lebih tepatnya, aku tertekan. Jadi bila ada lengkung di bibirku, bukan berarti aku sedang gembira. Aku hanya mencoba berdamai dengan takdir. Dan itu tidak mudah.
Setiap kali mengajak putriku bertamu, baik itu ke rumah teman atau kerabat, tuan rumah selalu dengan reflek mengunci kamar-kamar mereka dan mengganjal lemari es mereka dengan kursi. Tentu saja, karena putriku akan langsung mengeksplorasi suasana baru di mana pun dia berada. Jujur, hatiku benar-benar tertohok. Apalagi kadang spontan mereka berkata, "Ada Fathin ... ada Fathin !". Seolah kalimat itu adalah warning untuk menyelamatkan semua barang. Dan mereka semua tak pernah tahu, bahwa air mata membanjiri batinku, bukan sepasang mataku.
Sedih luar biasa. Tidak ada orang yang mengharapkan kehadiran anakku !
Dari beberapa literatur yang aku baca, kebanyakan isinya menghibur para orang tua dengan anak autisme. Bahwa mereka adalah anugerah istimewa. Istimewa apanya ? Dia tak diharapkan di mana pun ! Dan berkali-kali aku berusaha berprasangka baik pada orang-orang di sekelilingku, tapi selalu kembali pada kenyataaan. Here I am. Sampai kapan pun, aku dan anak autisku, tak akan bisa kemana-mana. Di rumah saja, jauh lebih baik. Bagi aku, anakku dan orang-orang di sekitarku.
Tapi, pemikiran itu perlahan berubah. Seiring bertambahnya usianya, aku ingin dia bersekolah. Aku menyadari, aku dan suami akan semakin menua dan dia akan menjadi dewasa. Dia harus bersekolah dan mengenal dunia tempat dia hidup sekarang, bukan dunianya sendiri. Walau aku tidak tahu, bagaimana kelak dia menghadapi masa remaja dan dewasanya ? Apakah dia bisa mandiri dalam segala hal ? Adakah yang mau menikah dengannya ?
Tapi saat dia kumasukkan ke sebuah TK, tak ada anak yang mau bermain dengannya. Karena perilakunya tidak dipahami oleh teman-temannya. Tidak bisa diajak berkomunikasi. Gurunya pun merasa, berhadapan dengan anakku begitu menyulitkan. Dan, telingaku pun harus memerah tiap hari karena mendengar keluhan wali murid lainnya, yang iri kenapa Fathin boleh berkeliling kelas sementara anak mereka tidak boleh. Kenapa Fathin boleh tidak mengerjakan, sedangkan anak mereka tidak boleh. Tapi aku mencoba bertahan.
Dan anakku menempuh pendidikan TK selama 4 tahun. Dua tahun terakhir, aku sendiri yang menjadi gurunya karena saat itu aku mulai bekerja menjadi Guru TK di sebuah TK yang baru didirikan. Selepas itu, aku bingung, mau disekolahkan di mana anakku ? Tubuhnya semakin besar, tapi pola pikirnya masih seperti batita. Walau komunikasi antara aku dan dia hanya satu arah, tapi aku yang paling tahu bahwa dia sangat ingin masuk SD. Memakai baju putih merah.
Untuk masuk ke sekolah umum, jelas tidak mungkin. Tidak ada SD yang siap menerima anak seperti Fathin. Akhirnya aku masukkan dia ke SDLB. Sungguh sebuah sekolah yang tidak tepat bagi anak autis seperti Fathin. Karena sepulang dari sekolah, dia semakin aneh. Malah menirukan gerakan dan cara bicara teman-temannya yang bisu tuli.
Akhirnya, aku memindahkan dia ke SDIT, sebuah sekolahi inklusi, atas saran beberapa teman.
Dan, sejak bersekolah di sinilah, aku perlahan merasakan keistimewaan itu. Subhanallah....
Ya, dalam setiap perilakunya, aku semakin yakin bahwa Allah tidak pernah salah menciptakan makhlukNya dan tidak pernah luput memberikan hikmah dalam setiap kejadian.
Semenjak bersekolah di SDIT yang memang kental dengan pembiasaan Islaminya, aku tidak pernah mengira bahwa putriku menjadi gadis yang selalu sholat tepat waktu. Tidak hanya itu dia selalu menunggu-nunggu waktu sholat. Pertanyaan sehari-harinya di antar waktu sholat adalah, "Ibu, sudah adzan sholat ?"
Duh, aku sendiri sebagai ibunya hampir tidak pernah menanyakan adzan sudah berkumandang atau belum, apalagi mempersiapkan diri menunggu waktu sholat. Begitu adzan berkumandang, dia langsung berwudhu' dan menggelar sajadah.
Putri cantikku lebih tahu, apa destinasi akhir dari hidup ini dan apa modal utama yang bisa menyelamatkannya di akhirat kelak.
Kini, senyum yang hadir di wajahku, bukan lagi sarana untuk mencoba berdamai dengan takdir. Aku bersyukur, Allah memilihku untuk melahirkan gadis istimewa dari rahimku. Yang di setiap akhir sholat, dia bahkan bisa mendoakan dirinya sendiri supaya sembuh. Menghadapi masa balighnya nanti, aku yakin DIA yang akan memudahkan semuanya.
Mau tahu bagaimana putriku hingga aku menyebutnya gadis yang istimewa ?
![]() |
Putriku yang genap 12 tahun di 25 Juni 2012 |
Autisme yang dia derita aku ketahui ketika dia berumur dua tahun. Saat itu, seorang teman menyarankan untuk membawa ke seorang psikiater anak. Terapi yang diberikan adalah terapi obat. Selama dua tahun, putriku mengkonsumsi obat. Dan obat-obat itu harganya tidak murah. Tabunganku terkuras habis, bahkan sebidang tanah yang pernah aku rencanakan untuk dibangun rumah di atasnya pun terjual demi pengobatan putriku.
Bagi anak seusia dia, minum obat adalah siksaan terberat. Bagi anak autis, minum obat adalah siksaan berat bagi ibunya. Dia adalah seorang anak kecil dengan tenaga luar biasa. Untuk meminumkan obat padanya, tidak bisa dengan bujuk rayu atau iming-iming hadiah. Aku harus mendekap tubuhnya, mengunci kakinya, dan mendongakkan kepalanya. Orang lain ( ibu atau suamiku ) yang memasukkan obat ke dalam mulutnya. Itu pun dengan rangkaian teriakan dan tangisan. Setelah minum obat, dia akan terus menangis. Bahkan jika tantrum, bisa mencapai satu jam. Terus menerus menangis histeris dan membanting-banting tubuhnya. Hingga aku harus melepaskannya di ranjang agar dia tidak melukai dirinya sendiri.
Banyak teman mengatakan, walau memiliki anak tidak normal, wajahku tidak menunjukkan kalau aku stress. Maksudnya, aku tetap saja tersenyum-senyum dan bercanda lepas bila berkumpul dengan teman-temanku. Siapa bilang aku tidak stress ? Lebih tepatnya, aku tertekan. Jadi bila ada lengkung di bibirku, bukan berarti aku sedang gembira. Aku hanya mencoba berdamai dengan takdir. Dan itu tidak mudah.
Setiap kali mengajak putriku bertamu, baik itu ke rumah teman atau kerabat, tuan rumah selalu dengan reflek mengunci kamar-kamar mereka dan mengganjal lemari es mereka dengan kursi. Tentu saja, karena putriku akan langsung mengeksplorasi suasana baru di mana pun dia berada. Jujur, hatiku benar-benar tertohok. Apalagi kadang spontan mereka berkata, "Ada Fathin ... ada Fathin !". Seolah kalimat itu adalah warning untuk menyelamatkan semua barang. Dan mereka semua tak pernah tahu, bahwa air mata membanjiri batinku, bukan sepasang mataku.
Sedih luar biasa. Tidak ada orang yang mengharapkan kehadiran anakku !
Dari beberapa literatur yang aku baca, kebanyakan isinya menghibur para orang tua dengan anak autisme. Bahwa mereka adalah anugerah istimewa. Istimewa apanya ? Dia tak diharapkan di mana pun ! Dan berkali-kali aku berusaha berprasangka baik pada orang-orang di sekelilingku, tapi selalu kembali pada kenyataaan. Here I am. Sampai kapan pun, aku dan anak autisku, tak akan bisa kemana-mana. Di rumah saja, jauh lebih baik. Bagi aku, anakku dan orang-orang di sekitarku.
Tapi, pemikiran itu perlahan berubah. Seiring bertambahnya usianya, aku ingin dia bersekolah. Aku menyadari, aku dan suami akan semakin menua dan dia akan menjadi dewasa. Dia harus bersekolah dan mengenal dunia tempat dia hidup sekarang, bukan dunianya sendiri. Walau aku tidak tahu, bagaimana kelak dia menghadapi masa remaja dan dewasanya ? Apakah dia bisa mandiri dalam segala hal ? Adakah yang mau menikah dengannya ?
Tapi saat dia kumasukkan ke sebuah TK, tak ada anak yang mau bermain dengannya. Karena perilakunya tidak dipahami oleh teman-temannya. Tidak bisa diajak berkomunikasi. Gurunya pun merasa, berhadapan dengan anakku begitu menyulitkan. Dan, telingaku pun harus memerah tiap hari karena mendengar keluhan wali murid lainnya, yang iri kenapa Fathin boleh berkeliling kelas sementara anak mereka tidak boleh. Kenapa Fathin boleh tidak mengerjakan, sedangkan anak mereka tidak boleh. Tapi aku mencoba bertahan.
Dan anakku menempuh pendidikan TK selama 4 tahun. Dua tahun terakhir, aku sendiri yang menjadi gurunya karena saat itu aku mulai bekerja menjadi Guru TK di sebuah TK yang baru didirikan. Selepas itu, aku bingung, mau disekolahkan di mana anakku ? Tubuhnya semakin besar, tapi pola pikirnya masih seperti batita. Walau komunikasi antara aku dan dia hanya satu arah, tapi aku yang paling tahu bahwa dia sangat ingin masuk SD. Memakai baju putih merah.
![]() |
Fathin saat perpisahan di SDLB |
Akhirnya, aku memindahkan dia ke SDIT, sebuah sekolahi inklusi, atas saran beberapa teman.
Dan, sejak bersekolah di sinilah, aku perlahan merasakan keistimewaan itu. Subhanallah....
Ya, dalam setiap perilakunya, aku semakin yakin bahwa Allah tidak pernah salah menciptakan makhlukNya dan tidak pernah luput memberikan hikmah dalam setiap kejadian.
Duh, aku sendiri sebagai ibunya hampir tidak pernah menanyakan adzan sudah berkumandang atau belum, apalagi mempersiapkan diri menunggu waktu sholat. Begitu adzan berkumandang, dia langsung berwudhu' dan menggelar sajadah.
Putri cantikku lebih tahu, apa destinasi akhir dari hidup ini dan apa modal utama yang bisa menyelamatkannya di akhirat kelak.
Kini, senyum yang hadir di wajahku, bukan lagi sarana untuk mencoba berdamai dengan takdir. Aku bersyukur, Allah memilihku untuk melahirkan gadis istimewa dari rahimku. Yang di setiap akhir sholat, dia bahkan bisa mendoakan dirinya sendiri supaya sembuh. Menghadapi masa balighnya nanti, aku yakin DIA yang akan memudahkan semuanya.
Dan menjadi pemenang kedua, infonya ada di sini
Senin, 10 September 2012
Pola-pola Indah di Bumi
![]() |
Sehelai bulu burung. |
![]() |
Kulit Gajah, seperti foto satelit bumi kita |
Padahal hanyalah kulit yang keras, dari binatang berbelalai panjang. Gajah, itulah namanya ... hehehe.
![]() |
Batik indah ini adalah kulit jerapah |
Kalau lukisan yang indah ini, milik sang leher jenjang, jerapah.
Cocok buat motif baju kayaknya. Wah, bangga dong si jerapah punya motif seindah ini.
![]() |
Kulit cheetah sang pelari super cepat |
![]() |
Mata seekor ikan |
Dan tonjolan berwarna hitam itu adalah mata seekor ikan yang dijumpai di perairan negeri kita. Subhanallah, bener-bener lukisan alam tiada tara
![]() |
Si belang ini pasti tak asing kan ? |
Dan yang terakhir, si bolang eh si belang. Hitam-putihnya adalah paduan indah, meski sederhana. Jadi ingat gerombolan si berat dengan baju penjaranya. Hehehe, tapi si belang yang ini bukan penjahat lo.
Dan gambar-gambar indah yang lain dapat anda nikmati langsung di situsnya www.nationalgeography.com.
Janji Para Lelaki, Jangan Mudah Berjanji Bila tak Hendak Menepati
Novel ini mendapatkan
Penghargaan Terbaik Nasional Festival Novel Menggugah 2009.
“Ini bukan
kisah mimpi, tapi cerita memenuhi janji yang acap tak tertepati. Juga bergulat
pada peneguhan jati diri : membawakan panji-panji dalam kafilah Paderi melawan
kompeni “
Dua kalimat
di cover depan novel ini telah membuatku menyeretnya ke kasir. Pasti ada yang
hebat di dalamnya. Kalau tidak, mana mungkin akan memenangkan penghargaan.
Ditambah settingnya di Minangkabau. Serasa menemukan jalan untuk semakin
menyelami budaya suami sendiri J.
Sebelumnya,
aku membayangkan akan berurai air mata membaca Janji Para Lelaki. Ternyata aku
keliru. Menggugah di sini, tidak identik dengan air mata. Tapi membawa ke
sebuah perenungan tentang makna menepati janji. Sungguh cocok dengan kejadian
akhir-akhir ini, yang kerap aku alami. Alangkah mudahnya, melalaikan bahkan
mengingkari janji. Padahal sudah berhijab rapi dan hafal sebuah hadits tentang
kaum munafiqin, yang salah satunya bercirikan ingkar janji. Seharusnya, buku
ini aku pinjamkan pada mereka-mereka yang kerap abai dan lalai pada janji.
Janji Para
Lelaki mengisahkan tentang 3 orang lelaki. Syahdan, Sutan Matari dan Johan.
Mengambil setting tanah Minangkabau di tahun 1803, semasa Paderi mengangkat
senjata melawan Belanda. Tutur bahasanya, melayu banget. Tak berbeda dengan Layar Terkembang atau
Salah Asuhan yang pernah kubaca. Sehingga bagi orang jawa tulen seperti aku,
kerap bertanya pada suami. Walau, kalau dibaca satu atau dua kali sebenarnya mudah
dimengerti, tapi bertanya pada orang Minang asli, terasa lebih pas di hati.
Syahdan
berjanji menikahi Marani. Tapi dia juga terikat janji pada ayahnya. Sebelum
meninggal, ayahnya berwasiat agar Syahdan tidak menikah dulu sebelum menikahkan
Salma, adiknya dan membelikan Salma sebidang tanah. Syahdan yang bekerja di
lapau ( toko ) kain milik Sutan Matari, tidak bisa segera memenuhi janji karena
gajinya tidak mencukupi. Sementara Marani diguna-guna oleh orang yang sakit
hati karena lamarannya ditolak. Syahdan harus segera menikahi Marani, tapi
Amaknya ( ibunya ) tidak mengijinkan sebelum membelikan Salma tanah sawah.
Sutan Matari
semula adalah lelaki yang terlilit hutang. Dia menerima pinangan ayah Bulan,
seorang lelaki cukup berada. Sutan
Matari menikahi Bulan dengan sebuah janji, bahwa dia akan menjaga Bulan dan
toko kainnya. Namun Bulan ternyata seorang istri yang bertindak semena-mena
pada Sutan Matari. Menjatah makan dan uangnya setiap minggu. Dan kerap
mempermalukan Sutan Matari di depan umum. Sehingga Sutan Matari dikenal sebagai
suami yang takut istri. Johan hadir untuk mengembalikan kehormatan Sutan Matari
sebagai suami.
Johan
berjanji pada Mamanya untuk selalu berpihak pada pribumi. Walau dia menjabat
sebagai seorang Letnan Belanda, tapi dia selalu berusaha memenuhi janjinya.
Karena dalam dirinya mengalir darah pribumi. Hal ini yang kerap menjadi
olok-olok Moore, saingannya dalam merebut hati Mary, sang pujaan hati. Walau
semua pejabat Belanda kerap member janji palsu pada pribumi, Johan tetap
bersikukuh untuk berpihak pada pribumi. Baginya, Belanda hanya berperang
melawan Paderi, bukan pribumi.
Ketiganya,
Syahdan, Sutan Matari dan Moore saling berkaitan dalam kisah ini. Berbagai
konflik yang muncul, membuat tak bisa
menebak bagaimana sang penulis akan mengakhiri novel ini.
Kelicikan
Belanda, terpapar jelas. Bagaimana muslihat Johan menjadikan Sutan Matari
sebagai mata-matanya, untuk memantau gerak-gerik di markas Paderi. Bagaimana
pula Sutan Matari belajar dari Johan, untuk membujuk Syahdan menjadi anak
buahnya. Padahal, Syahdan jelas-jelas anggota Paderi.
Setiap
janji, memerlukan pengorbanan untuk dipenuhi. Dan setiap manusia, tidak sama
cara berkorbannya. Terkadang, hanya karena materi, janji sudah lupa ditepati.
Syahdan, tokoh utama di novel ini, bukanlah sosok sempurna. Inilah yang menarik
di novel ini. Penggambaran karakter Syahdan begitu alami dan manusiawi. Bahwa
walapun dia kokoh memegang syariat dan berdiri di jalan jihad Paderi, dia pun
tanpa sadar tergelincir menjadi kaki tangan Belanda.
Secara
keseluruhan, membaca novel ini membuat kita mengenal budaya Minangkabau beserta
seluk beluk adat istiadatnya. Beberapa istilah yang digunakan, terdapat
penjelasan lugas dan jelas. Sehingga membacanya serasa berada di tanah Minang.
Semula saya berharap, segmen pertempuran Paderi melawan Belanda, terasa kuat
ruh pertempurannya. Mengerikan dan menegangkan. Tapi hal itu tidak ditemukan
dalam novel ini. Mungkin karena, Paderi hanya setting dari novel ini, jadi
tidak perlu dibahas terlalu mendalam. Misi utama adalah menyadarkan para
pembaca, alangkah sulitnya memenuhi janji. Maka jangan mudah berjanji, bila tak
hendak menepati.
Sabtu, 08 September 2012
RAYAP
( Cerpen ini pernah dimuat di Colosseum Radar Bromo )
Jeritan istriku
yang sedang berada di dapur terdengar sampai ke ruang tamu. Koran yang sejak
satu jam yang lalu menemani acara minum kopiku langsung kulempar begitu saja.
Dan laksana terbang, aku bergegas berlari ke dapur. Pasti, istriku mengalami
kejadian yang luar biasa, karena pekik ngerinya masih berlanjut.
“Dik ! Ada apa ?” seruku ikut
histeris.
Istriku memeluk
dirinya sendiri. Posisi yang biasa dia lakukan bila dia merasa ngeri. Mimik wajahnya
tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dia menunjuk ke arah lemari yang berada
di bagian bawah tempat kompor gas. Pintu lemari itu terlepas dari engselnya dan
ambruk ke lantai. Serpihan kayu dan tanah berhamburan ke mana mana.
“Kenapa
lemarinya ?” tanyaku bergegas sambil mengguncang badannya. Tubuh istriku
gemetar dan bisa kurasakan bulu-bulu di tangannya merinding.
“Lihat sendiri
!”
Dan wanita yang
sangat kucintai itu pun berlari meninggalkan dapur.
Dengan langkah
jantan, itikad untuk selalu melindungi belahan jiwa, aku mendekat ke arah
lemari. Bisa jadi, ada sesuatu yang mengerikan yang tadi muncul dari dalam
lemari, yang membuat pintu lemari ini sampai terlepas dan sekaligus membuat istriku
sangat ketakutan.
Dan umpatan pun
akhirnya terlontar dari dalam mulutku. Seluruh bagian dalam lemari itu telah
penuh dengan tanah yang didempulkan oleh pelakunya. Sementara mahkluk-makhluk
putih berkeliaran dari sela-sela pintu lemari yang ambruk. Aku menekan sebagian
kusen pintu itu. Dan kurasakan dalamnya bukan lagi kayu. Tapi tanah. Rayap
telah bersarang di lemari kayu ini dan sudah memakan habis semua kayunya. Entah
sudah berapa lama.
OoO
“Bagaimana
mungkin kamu sampai tidak tahu kalau ada rayap di situ, Dik ? Kalau dia baru
sedikit saja membuat sarang, kan
lemari itu masih bisa diselamatkan ?”
“Mas ini
bagaimana sih ? Mas kan
tahu aku paling takut sama binatang-binatang menjijikkan seperti itu. Mana
mungkin aku berani menyentuhnya. “
Aku mendengus, “Kan ada aku, Dik ! Aku
suamimu. Tidak akan kubiarkan apapun membuatmu ketakutan seperti tadi pagi. ”
“Mas ….
Sebenarnya, tiap hari aku selalu membuka lemari itu, karena sebagian perabotan
dapur aku simpan di situ. Tapi bukankah, selama tiga minggu ini kita tinggal di
rumah Bapak karena ibu masuk rumah sakit ? Dan Mas yang tiap hari pulang ke
sini. Kenapa Mas tidak menengok ke dalam lemari itu ?”
Aku mendengus
lagi. Mana tahu aku kalau rayap itu bakal menghabiskan lemari itu ?
“Tugas Mas lo ….
“
“Apa ?”
“Mengusir
rayap-rayap itu. Atau lemari di dapur habis semua. “
Aku hanya
mengangguk. Tenang saja, aku adalah pemimpin di keluarga ini. Jadi, aku yang
akan menyelesaikan semua masalah di rumah ini. Termasuk masalah mahkluk kecil
bernama rayap itu.
OoO
Perburuan di
mulai keesokan harinya. Saat istriku kembali menjerit, karena pintu kusen kamar
mandipun ternyata sudah habis dimakan rayap. Tanpa sengaja, saat keluar dari
kamar mandi, sikut istriku terantuk kusen, dan rontokan tanah keluar dari dalam
kusen yang ternyata sudah kosong isinya.
Senjataku hanya
golok dan semprotan obat nyamuk yang berisi minyak tanah. Istriku kuungsikan ke
rumah mertua. Aku sendiri yang akan menghadapi rayap-rayap itu sampai rayap
terakhir, bahkan mungkin raja rayapnya berhasil kumusnahkan.
Rumah ini adalah
rumah peninggalan almarhum orang tuaku. Sebagai anak tunggal, hanya aku
satu-satunya yang mengenal seluk beluk rumah ini, karena memang sejak aku
dilahirkan dan dibesarkan di rumah ini.
Dari dulu aku
memang tidak pernah peduli dengan urusan rumah. Mungkin saja, sebelumnya, saat
bapak dan ibuku masih ada, mereka sering bertempur dengan rayap, tanpa
kuketahui kapan. Sekarang, generasi telah berganti. Aku yang bertempur melawan
rayap.
Semua kusen di
seluruh rumah kuperiksa. Tanda-tanda rayap yang lihai menyembunyikan aksinya,
kuamati dengan cermat. Beberapa kusen pintu rumahku ternyata sebagian sudah
menjadi korban. Entah karena usia rumah ini sudah lama, atau aku yang kurang
peduli mengurus rumah. Bahkan bagian belakang lemari baju istrikupun sudah
separuh yang dilahap binatang kecil itu. Untung saja, istriku tercinta tidak
ada di tempat. Kalau iya, dia pasti histeris dan pingsan. Bahwa ternyata selama
ini, dia begitu dekat dengan rayap-rayap itu. Mereka berjalan beramai-ramai di
dalam kayu, memakan habis dalamnya, bahkan mungkin sambil terbahak-bahak karena
di empunya telah berhasil dikelabuinya.
Satu liter
minyak tanah sudah kuhabiskan untuk menyemprot semua kayu bekas sarang rayap.
Seperti halnya mereka yang tidak peduli dan tidak pilih-pilih, kayu mana yang
akan mereka makan dan mereka jadikan sarang, aku pun tidak peduli dengan mereka
yang menggeliat-geliat, berlarian ke sana
ke mari, menghindari pertempuranku.
“Kau pasti
bangga pada Mas, Dik ! Aku sudah berhasil membantai semua rayap di rumah kita !
Tidak ada lagi rayap !” gumamku bersemangat.
Semua rayap yang
sudah mati itupun kukumpulkan jadi satu. Beberapa saat, aku sempat menikmati
mereka yang masih menggeliat. Lalu bersama bekas sarang mereka, serpihan kayu
dan tanah liat yang sudah kering, aku buang ke tempat pembuangan sampah. Tempat
yang layak bagi mereka.
OoO
Pertempuranku
dengan rayap yang menuai sukses besar, terdengar seantero kampung. Ini pasti
karena saking bangganya istriku pada suaminya. Jadi dia bercerita ke para
tetangga saat berbenja tentang kepiawaianku memberantas rayap. Rumah kami sudah
bebas rayap.
“Mas … istri Pak
Kodir tadi minta tolong supaya Mas memberantas rayap di rumahnya. Kasihan Mas.
Pak Kodir kan
masih lumpuh karena stroke, jadi siapa lagi yang bisa. Anak-anak mereka tidak
ada kota ini.
Mau kan Mas
?”
“Mereka kan bisa
pakai kuli, dik. Masa aku ?“
“Mereka minta
tolong, Mas. Mereka maunya Mas Nukin, yang sudah mereka percaya. Kalau membayar
kuli, mereka khawatir dibohongi. Mau ya Mas .. “
Rayuan istriku
kurenungkan beberapa saat, dan aku pun mengangguk dengan mantap. Senangnya bisa
membantu tetangga. Apalagi urusan rayap yang sepele.
Istrikupun ikut
senang. Dia ikut membantuku memberantas rayap di rumah Pak Kodir. Bahkan, dia sudah
berani menyapu rontokan tanah bekas rayap. Tapi bila ada rayap yang panik dan
keluar dari rontokan tanah itu, dia pun dengan panik langsung memukul-mukulkan
sapunya berkali-kali pada sang rayap. Ternyata, dia lebih sadis dari aku. He..
he ..
Sukses di rumah
Pak Kodir, membuat reputasiku pun semakin melambung. Aku dan istriku sering
dimintai tolong oleh orang-orang untuk membasmi rayap di rumah mereka. Kalau
mereka menggunakan jasa kuli, pasti keluar ongkos. Tapi, bila mereka meminta
tolong aku dan istriku, yang sekarang jadi tim pembasmi rayap yang kompak, tak
akan mau aku menerima sepeserpun dari mereka. Membantu sudah merupakan
kesenangan bagiku. Dan tentu saja, aku semakin piawai dan ahli dalam bidang
pembasmian rayap. Semakin waspada dan jeli mengamati berbagai kayu dan kusen
tetangga yang seolah tidak dimakan rayap, tapi sebenarnya menjadi sarang rayap.
Bahkan aku mulai menyarankan mereka untuk memakai berbagai jenis obat pencegah
rayap. Dan istriku mulai mencoba berjualan beberapa jenis obat pembasmi rayap.
OoO
Malam itu, aku merebahkan
tubuhku di samping istriku. Ini hari yang melelahkan. Seharian tadi, kami
berdua membasmi rayap di rumah tetangga sebelah. Kerusakannya sangat parah. Dia
telah kehilangan seluruh kusen pintu rumahnya, tanpa disadarinya. Maklum, dia
hanya seorang nenek tua yang tinggal seorang diri.
“Mas …
sepertinya bisnis obat pembasmi rayap cukup menguntungkan ya Mas ?”
“Yah ..
syukurlah. Selain membantu tetangga, kan
juga membantu ekonomi kita. Lumayan, buat persiapan kalau kita punya anak
nanti. “
“Tapi …. Kusen-kusen kita jadi bolong-bolong. Kapan
kita ganti Mas ?”
“Sabar dulu,
dik. Kita kumpulkan dulu uangnya. Soal mengganti kusen, aku bukan ahlinya. Aku
hanya ahli mencari sarang rayap. “
Istriku tertawa
geli dan mencubit lenganku mesra.
“Mas Nukin…
tetangga bilang, katanya Mas baik sekali mau membantu mereka membasmi rayap.
Berarti mereka sayang kita ya Mas ?”
Aku berusaha
sedikti tersenyum. Mataku sudah berat.
“Tapi … aku
merasa, masih ribuan lagi yang membenci kita Mas ?”
Aku mengeryitkan
kening. Apa maksud istriku ?
“Aku yakin,
masih banyak ribuan rayap yang belum Mas basmi. Dan kadang aku merasa was-was,
mereka akan membalas dendam pada kita…. “
Aku terkekeh di
sela kantukku. Mana mungkin, makhluk kecil yang buta itu punya rasa benci pada
kami, apalagi membalas dendam. Wajahku saja dia tidak bisa melihatnya.
Lagipula, salah mereka sendiri memakan kayu di rumah orang.
Oahmmm ….
Sepertinya aku akan tidur lama. Aku butuh istirahat karena sangat ngantuk dan
capek.
OoO
Jam tiga dini
hari, Pak RT dan beberapa warga bergegas menuju rumah Nukin, salah seorang
warganya yang beberapa minggu terakhir menjadi populer di kampungnya sebagai
pembasmi rayap.
Hatinya menjadi
pilu saat melihat rumah Nukin. Tidak ada bencana alam, gempa apalagi tsunami.
Tapi rumah Nukin hancur. Seluruh atapnya ambruk, dan sebagian temboknya runtuh
tertimpa atap. Beberapa warga berusaha menyingkirkan pecahan genteng dan
serpihan kayu yang habis dimakan rayap. Tidak ada suara Nukin dan istrinya dari
dalam reruntuhan rumah, membuat mereka panik.
Ternyata, Nukin
tidak sehebat seperti perkiraan orang. Ada
yang luput dari perhatiannya. Kuda-kuda rumahnya, habis dimakan rayap. Dan
malam itu, rayap-rayap membalaskan dendamnya pada Nukin dan istrinya.
OoO
Langganan:
Postingan (Atom)