Jumat, 28 September 2012

Aku dan PLN : Lebih Menyenangkan Bila Tak Pernah Padam

Kalau sudah berbincang tentang listrik, ingatanku langsung melayang pada 3 momen.

Pertama adalah ketika aku bekerja di sebuah PLTD milik sebuah perusahaan swasta bernama di Tulang Bawang - Lampung. Di perusahaan terpadu tambak udang ini, aku bekerja di Laboratorium QA & EC Power House. Tempat bertenggernya 22 mesin diesel Wartsila yang masing-masing berkapasitas 3 MW. Aku bahkan masih ingat, headset yang kugunakan tiap hari tidak begitu mengurangi bisingnya mesin raksasa itu. Dan air mineral di dalam botol yang senantiasa beriak ketika diletakkan di meja kantor, akibat getaran mesin diesel yang beroperasi. Juga aura hangat ketika melintas di barisan trafo di belakang gedung. Dan pemandangan yang akrab adalah, para operator mesin yang sedang overhoul alias membongkar mesin. Tangan dan wajah mereka yang belepotan oli dan baju yang basah karena keringat. Yang jelas, situasi yang selalu terekam dalam ingatanku adalah gerah dan bising.

Kedua, masih di perusahaan yang sama. Salah seorang temanku bekerja di bagian jaringan. Saat memperbaiki jaringan, terjadi miskomunikasi dengan Power House. Walhasil, tubuh bos dari temanku yang masih nangkring di tiang listrik, sempat bercahaya ketika arus listrik mendadak mengalir. Tubuh itu langsung melorot turun dan pingsan. Ingatan yang masih jelas di kepalaku adalah, profesi mereka adalah profesi yang bertaruh dengan nyawa. Dan kesalahan komunikasi adalah hal yang dimaklumi terjadi sebagai human error, mengingat operator di Power House adalah manusia, bukan malaikat.

Gambar diambil dari sini

Ketiga, adalah sebuah pemandangan indah di kala malam, kurang dari 100 km sebelah timur kotaku. The Java Power, sebuah pembangkit listrik tenaga uap, PLTU Paiton. Setiap traveller yang melewati jalur pantura dari Probolinggo menuju Situbondo pasti melewati PLTU ini. Dan selalu, decak kagum yang terlontar melihat kemegahannya, terutama di malam hari. Jujur, walau gak kerja di sana dan juga bukan pemiliknya, aku sangat bangga dengan PLTU yang gemerlapnya melebihi pasar malam ini.. 

Ternyata, kusadari, aku tidak hanya bergantung pada listrik dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memasak, pompa, menyeterika, penerangan, kipas angin, komputer, charge ponsel dan lain-lain. Tapi, aku juga dekat dengan sumber listrik bahkan pernah bergelut di sana. Jadi, aku sangat memahami ketika tiba-tiba listrik padam, tanpa pemberitahuan dari PLN. Pasti ada troubleshooting yang terjadi di lapangan. Dan aku tahu, itu bukan hal yang mudah dan dapat ditangani dalam waktu singkat. Orang-orang yang bekerja di lapangan, aku sungguh percaya, mereka tak ingin ada trouble, sehingga mereka harus turun ke lapangan dan mengecek trafo atau tiang listrik, dan menuntaskan masalah sesegera mungkin. Sementara para pelanggan tak mau aliran listrik terputus selama berjam-jam.

Tapi, walau aku sudah pernah nyemplung di dunia perlistrikan (walau cuma mengamati dari dekat ...hehehe), tetap saja aku merasa tidak nyaman bila listrik padam tanpa pemberitahuan. Jadinya berasa kembali ke era 30 tahun yang lalu, ketika listrik belum masuk ke desaku. Memasak nasi ala tradisonal yang tidak bisa disambi dengan pekerjaan lain, karena nasinya bisa gosong kalau gak diaduk. Seterika yang harus ditunda hingga listrik menyala. Dan malam hari, penerangan harus menggunakan lilin, yang tentu saja tidak memadai untuk anak-anakku belajar. Dan yang lebih gawat lagi adalah, aku gak bisa menghidupkan komputer. Jadi kalau listrik padam seharian, alamat aku hanya mondar mandir di dalam rumah, gak ada kerjaan.

Saking seringnya listrik padam, jadinya aku sampai hafal jam-jam listrik mati dan kapan hidup lagi. Jika jam 8  sampai 10 pagi sudah padam, alamat hidup lagi paling cepet jam 3 sore dan paling lama menjelang maghrib. Katanya, kalau padam model seperti ini, ada maintenance. Kalau padam tengah malam mendadak, hidup sekelebat dan padam lagi, alamat jadi candle light sleep deh. Katanya, kalau seperti itu pertanda ada trafo yang rusak dan gak bisa nyala lagi. 
Apakah benar begitu, PLN ?

Seperti yang kuceritakan di atas, aku memahami setiap pemadaman yang terjadi. Mungkin karena aku hanya ibu rumah tangga, jadi yaaahhh ... aku tidak mendapat pemberitahuan resmi dari PLN tentang pemadaman. Kalau aku bekerja di kantor atau sebuah perusahaan, pasti ada pemberitahuan dari PLN tentang pemadaman bergilir. Yang jadi pertanyaanku adalah, bila ada kerusakan di jaringan, dan listrik terpaksa padam cukup lama, apa ya yang dilakukan oleh karyawan kantor yang pekerjaannya sangat tergantung pada ketersediaan listrik ? 

Dan aku juga memahami, kalau tarif dasar listrik alias TDL, tidak ubahnya seperti BBM. Naik terus gak pernah turun :D. Mungkin bila semua orang sebelumnya pernah bekerja di PLTD seperti aku, pasti gak bakal protes dengan kenaikan TDL. Lha melihat para karyawannya seperti itu kerjanya, siapa yang tega mereka hanya dibayar seuprit, padahal sudah berjasa membuat malam kita tidak candle ligt terus.

Tapi, sebagai konsumen, dan bertepatan juga dengan HUT PLN yang ke-67, boleh dong aku berharap, di depan lilin yang menyala, agar kinerja PLN ke depan lebih bagus lagi. Katanya sekarang sedang menggalakkan anti korupsi, ayo dong dukung konsumennya juga anti korupsi. Jangan biarkan konsumen berlama-lama membuang jam kerja hanya karena listrik padam. Korupsi waktu dong namanya. 

Sebagai masyarakat awam, aku hanya bisa  make a wish buat PLN.

Pertama, tambah dong tenaga 'super ahli' yang bisa menangani troubleshooting di lapangan dalam hitungan detik saja ( maunya begitu ... hehehe ), hingga listrik tidak perlu padam berjam-jam. Tapi akan lebih menyenangkan lagi bila tak pernah padam.

Kedua, para masyarakat non kantoran seperti saya, juga ingin mendapat pemberitahuan bila ada pemadaman berkala. Di daerah perkampungan, terkadang pemberitahuan via mesjid atau muholla lebih efektif dan efisian menjangkau semua lapisan masyarakat. Jadi, kita sudah mempersiapkan segala kebutuhan yang membutuhkan listrik lebih awal dan siap memanfaatkan waktu tanpa listrik dengan pekerjaan lain yang lebih bermanfaat.

Ketiga dan terakhir, doaku buat PLN, semoga tercapai tekadnya untuk menjadi instansi yang bersih dari segala bentuk korupsi dan semoga PLN semakin profesional dalam melayani masyarakat, setia masyarakat dan terangi Nusantara. Aamiin.



TRESNO JALARAN SOKO SURPRISE


Sepulang menjemput Nayla ( putri ke-3 ) ku, aku sudah curiga. Suami dan anakku itu tidak segera masuk rumah, tapi masih berbisik-bisik di depan pintu. Tak lama kemudian, Nayla masuk membawa sebuah bungkusan.
"Ayo tebak ! Siapa yang ulang tahun ?" ucapnya seraya tersenyum-senyum.
Aku menduga, ada teman ngajinya yang berulang tahun dan dia mendapat jatah kue.
"Gak tahu ..." jawabku polos.
"Masa ibu tidak tahu ?"
Aku mencoba menggali ingatan, dan aku yakin tidak ada yang berulang tahun bulan ini dan hari ini.
"Ibu ... Selamat Ulang Tahun !" seru Nayla dan menyerahkan bungkusannya padaku.
Aku keheranan sendiri, apalagi kemudian Nayla dan suamiku memeluk dan menciumiku. Waduh, ada apa ini sebenarnya ? Aku ulang tahun saja, gak pernah ada yang ingat apalagi ngasih surprise hadiah atau makanan. Lah ini, tahu-tahu dapat surprise dan 5 es krim cone pula. Jadi tambah curiga apa mau kedua orang ini ?
"Ibu kan ulang tahun hari ini, 28 September !" seru suamiku dengan percaya diri.
Ya ampuun, SALAAAAH !
"Bang, masa sih lupa tanggal lahir istrinya ?" protesku.
"Loh, kan bener ...28 .... waduh, salah ya ? "
Akhirnya, pecah deh tawa. Kasihan juga sebenarnya, sudah susah-susah belikan es krim, merancang surprise, salah pula tanggalnya. Tapi kami melahap es krim itu sama-sama sambil mendengarkan Nayla dan ayahnya saling menyalahkan. Dan Nayla membuka rahasia.
"Tadi itu aku dan ayah bingung mau ngasih hadiah apa ke ibu. Bedak apa novel ya ?"
Beuuuuu, jadi terharu bener. Dua orang itu tahu bener, apa yang kubutuhkan saat ini. Beli novel dan bedak ....hihihi.
Oke deh, bulan depan boleh diulang nih surprisenya. Terima kasih buat orang-orang terkasihku :D.
Jadi tambah tresno jalaran soko surprise.

Selasa, 25 September 2012

Gara-gara Status FB


Hari ini aku nyetatus dan membuat heboh teman-temanku. Aku sendiri gak nyangka, komen teman-temanku di statusku bisa seperti itu. Berikut link statusku tersebut, silakan mampir kalau gak percaya.

https://www.facebook.com/amalia.dewi.f/posts/426369770753053?ref=notif&notif_t=feed_comment

Jadi, kalau diurutkan status dan komen di statusku sendiri adalah :
1. Pagi-pagi sudah dilamar. Kuserahkan keputusan pada suami, dia mau menerima lamaran itu atau tidak, aku yang mikir-mikir jadinya. Kalau lamaran itu diterima, aku dan suami tidak bisa seperti dulu lagi ... hiks.
2. yang ngelamar akhwat. Jadi mumet nih, mudah2an suamiku bisa mengambil keputusan yang bijaksana.
3. Karena aku tidak mau memberikan jawaban, akhwat itu minta ijin menemui suamiku langsung di tempat kerjanya untuk meminta jawaban. Dan aku sedang deg2an menunggu suamiku pulang
4.  Sebenarnya aku masih belum siap berbagi. Sudah kebayang gak bisa lagi full nulis dan merajut. Hiks, tengkyu temen2 atas motivasinya
5. Insya Allah jam 3 nanti suamiku pulang, semoga dia memberikan keputusan terbaik bagiku, bagi dia, juga bagi anak-anak kami. Doakan ya teman-teman .
6.  maaaaapppp :D sudah menimbulkan persepsi berbeda. Kejadiannya emang bener tadi pagi aku dilamar buat kerja di sebuah instansi, tapi aku gak mau jawab, karena suami selama ini minta aku di rumah saja. Beliaunya, saking mendesaknya kebutuhan, akhirnya ke suami.
7.  kalau yang dilamar ' lain', mana mungkin lah diriku bisa nyetatus, paling sudah ada yang diasah tuh di dapur, sendok atau centong gitu .... qiqiqi.

Jadi, teman-teman, ternyata kita terlalu reaktif terhadap sebuah berita. Terkait dengan  berita di MetroTV kemarin tentang ROHIS. Menurut pendapatku, istilah ROHIS itu tidak dimunculkan oleh pihak Metro, tapi oleh orang-orang yang menangkap pemberitaan itu sebagai ROHIS. Akhirnya berita berkembang dan beranak pinak.  Walau akhirnya MetroTV mengakui kesalahannya ... http://regional.kompasiana.com/2012/09/24/akhirnya-metro-tv-mengaku-salah/ ... tapi menurut saya, dia sudah sukses sebagai media.

Berhati-hatilah kita dalam menyikapi berita. Karena pihak media sangat piawai meracik bahasa agar supaya menimbulkan beragam persepsi. Dan persepsi yang terbentuk di masyarakat, kadang menjadi tidak terkendali dan memicu chaos. Kalau chaos tomat sih gak masalah. Tapi bila persepsi itu kemudian disetujui oleh masyarakat dan membentuk opini publik, maka kita akan turut andil dalam ghibah bahkan bisa menjurus ke namimah ( adu domba ).

Maka waspadalah ! Waspadalah !

Minggu, 23 September 2012

Kalau Aku Sudah Punya Anak

Listrik padam sejak jam 3 dini hari.
Selepas subuh, aku terpaksa memaksa nasi dengan cara tradisonal, maksudnya tidak menggunakan Magic Comp seperti biasanya. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengajari Nayla, putri ke-3 ku. Nayla ini anak yang motorik kasar dan halusnya bagus. Dia pun suka diajari hal-hal baru yang berbau 'wanita'.
Saat aku mengaduk beras di atas panci, maka nasehat pun aku luncurkan. Dia yang menyorotkan lampu senter dan aku yang memasak.

"Nay, begini cara masak nasi yang sebenarnya. Direbus dulu, baru nanti dikukus. Dulu ibu waktu sekolah, membantu nenek memasak nasi seperti ini."
"Tidak pakai magic comp ya bu ?"
"Tidak. Seperti ini masaknya."
Nayla diam sejenak, lalu dia menggelandot di pingganggku.
"Ibu, kalau aku besok sudah punya anak, terus lampu mati, terus aku masak nasi seperti ini, terus aku bilang begiti, dulu ibu suka membantu nenek masak nasi seperti ini. Begitu ya bu ?"

Aku hampir terbahak. 
Jadi yang dia tangkap adalah kalimatku saja. Tapi mudah-mudahan kelak kau akan menjadi ibu rumah tangga yang baik dan istimewa, Nak. Lebih baik dari ibumu ini, yang bisanya cuma mengetik kisah ini di blog.

Minggu, 16 September 2012

MELAMAR NENENG


( Cerpen ini dimuat di Radar Bromo, lupa tanggalnya ...hihihi )

Mugi sudah membulatkan tekad melamar Neneng. Seorang gadis cantik ang tinggal di  kecamatan Wonoasih. Menjadi kasir di sebuah koperasi. Tepat di hadapan bengkelnya yang kerap sepi. Dia sudah tidak tahan lagi melihat Neneng yang sering digoda teman laki-lakinya. Dia tak rela melihat Neneng yang marah besar bila teman-teman sekantornya menggodanya. Lalu para lelaki itu tertawa senang.
Mugi sebenarnya ingin menolong layaknya pahlawan. Tapi apalah daya. Neneng tidak ada ikatan dengannya. Mugi hanya kerap menyampaikan salam. Itupun lewat satpam.
Semakin hari, Mugi semakin geregetan. Baginya Neneng adalah istri idaman. Berjilbab rapi dan rupawan. Setiap hari, menaiki motor bebeknya dan selalu menjadi karyawan pertama yang datang. Sudah setahun ini, Mugi mengamati Nenang dari bengkelnya. Dan dia pun tak tahan untuk mengirim salam setiap hari. Pada satpam koperasi yang kerap melepas lelah seraya minum kopi, di bengkelnya yang selalu sepi.
“Neneng itu anak tunggal, “ cerita Mamat, sang satpam koperasi, “bapaknya kerja di Surabaya, ibunya tinggal di Bondowoso. Kalau mau melamar Nenang, kau harus menghadap bapaknya di Surabaya. Orang-orang di kantor gak ada yang berani ngelamar Neneng. Katanya, bapaknya sangar. ”
Mugi cengar-cengir. Orang sangar belum tentu hatinya sangar. Mugi yakin bisa menaklukkan hati bapaknya Neneng. Dia sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai macam tipe orang. Yang terasa berat baginya adalah ongkos melamar ke Surabaya yang tidak murah. Dan untuk itu Mugi harus banting tulang demi mendapatkan Neneng. Maka, saat Pak Lek-nya memberi dana, tanpa pikir panjang, Mugi melapor pada Mamat, si mak comblang.
“Aku mau melamar Neneng. “
Mamat terkejut, tidak menyangka Mugi nekad melamar. Dipandanginya Mugi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambutnya keramas seminggu sekali. Untunglah, bau kecutnya kalah oleh bau oli. Seragam kerjanya tentu saja baju kumal penuh noda oli yang sudah bolong di sana sini. Kakinya tak pernah menyapa alas kaki, meskipun hanya kelompen atau sandal jepit. Mugi hanya memakai sandal kalau Jum’atan ke mesjid. Itupun setelah sibuk mencari pinjaman ke sana sini. Saat itulah dia kelihatan rapih dan bersih. Meski istilah ganteng masih harus dipikirkan masak-masak untuk menyebutnya walau sekali.
“Aku akan mempertemukan kau dan Neneng, selesai Jum’atan, “ ucap Mamat bijak, walau dia sangsi Mugi akan diterima. Dia dan Neneng seperti bumi dan langit.
“Dukung aku, ya Mat. Kalau dia sudah kulamar, dia tidak akan digoda lagi sama orang-orang di kantormu. “
Mamat manggut-manggut, setuju dengan niat baik Mugi. Setidaknya, lelaki di hadapannya adalah lelaki yang sangat menghormati Neneng. Hanya nitip salam, tidak pernah menggoda seperti lelaki lain. Walau kere, tapi hatinya kaya. Buktinya, dia mentraktir Mamat minum kopi siang ini.
“Soal dana kawin, itu gampang dicari. Aku bisa ngutang sama kamu, kan Mat ?”
Mamat tersedak.
OoO
Tidak disangka, Mugi ternyata panas dingin begitu dipertemukan dengan Neneng. Padahal, setiap saat Mugi memantau Neneng dari seberang jalan. Pintu depan koperasi berkaca bening, tepat di depan kasir. Dan bengkel Mugi, pas lurus di seberang jalan. Bukankah dia sudah terbiasa melihat Neneng ? Mamat geleng-geleng kepala. Seingatnya, dia tidak se-grogi Mugi saat apel ke calon istrinya dulu. Pantesan selama ini Mugi hanya berani titip salam.
“Neng, Mugi mau melamar kamu, “ ucap Mamat, tandas.
Neneng terkejut. Mamat sama sekali tidak pantas menjadi mak comblang. Sama sekali tidak ada kata-kata pembukaan apalagi kata-kata manis yang menyanjung Mugi. Mugi merutuk dalam hati. Sementara baju kokonya sudah basah oleh keringat dingin. Sarungnya pun, walau tak melorot, berkali-kali dinaikkannya.
Neneng menatap Mugi sekilas. Tak pernah dia berharap, bahkan dalam mimpinya sekalipun, akan dilamar di depan cash registre. Beberapa pramuria terkikik di balik rak minuman. Beruntung bagi Mugi, teman-teman kantor Neneng masih belum pulang dari Jum’atan. Kalau tidak, pasti dia ditertawakan habis-habisan.
“Aku … aku ….”
Mugi tersenyum gembira. Katanya, kalau gadis tidak bisa ngomong pas dilamar, pertanda dia menerima. Entah Mugi mendapat info dari siapa.
“Gini aja, Neng. Baiknya, Mugi ini kamu kasih alamat bapakmu. Biar dia sendiri yang melamar ke bapakmu, “ saran Mamat lagi, memperjelas keadaan, mempercepat pekerjaan.
Neneng menelan ludah. Mugi juga. Tapi kemudian Neneng mengangguk. Mengambil secarik kertas dan menuliskan alamat. Lengkap dengan naik bus kota dan angkot jurusan apa dan turun di mana.
Mugi mengambil kertas itu dan pamit dengan sopan setelah membetulkan peci dan sarungnya. Tinggal Neneng yang masih termangu, tidak percaya pada apa yang baru saja dialaminya. Diliknya Mugi yang sudah duduk di bengkelnya, tersenyum-senyum membaca kertas yang diberinya tadi.
“Apa benar, lelaki itu calon suamiku ?”
Pikiran Neneng menjadi kacau. Tiba-tiba dilamar orang yang tak terduga. Padahal dia mengira, salah seorang teman sekantornya yang akan melakukanya lebih dulu. Neneng bertekad sholat istikharoh semalam suntuk, sebelum menelpon bapaknya.
OoO
Akhirnya Mugi berhasil menemukan kantor tempat bapak Neneng bekerja, sebuah travel bus antar provinsi. Setelah salah naik angkot dan terpaksa bertanya ke lebih dari dua puluh orang. Terik dan ruwetnya Surabaya telah membuatnya kering. Air mineralnya tandas dan uangnya hanya cukup untuk ongkos pulang, tentunya tanpa keliru angkot dan bus kota.
Pak Gatot, lelaki gendut berkumis tebal itu memang layak disebut sangar. Menatap matanya saja, sudah membuat lutut Mugi gemetaran. Tapi tak mungkin niatnya dibatalkannya begitu saja. Dia sudah banyak berkorban. Walaupun ditolak, dia tidak akan patah arang. Setidaknya, dia sudah membuktikan pada Neneng, bahwa dia serius ingin meminang.
Pak Gatot tersenyum melihat secarik kertas milik Neneng. Rute bus kota dan angkot. Dia pun mengerti, kenapa Neneng memberi Mugi rute berputar-putar kota Surabaya hanya untuk menemui dirinya. Padahal kantornya bisa ditempuh hanya berjalan kaki lima menit saja dari Terminal Purabaya.
“Hm, Neneng sudah menelpon kemarin. Katanya Nak Mugi mau melamar Neneng ?”
Mugi mengangguk hormat.
“Nak Mugi kerja apa ?” tanya Pak Gatot dengan ramah.
Mugi merasa lega. Pak Gatot ternyata tidak sesangar wajahnya, seperti perkiraannya. “Saya kerja di bengkel, Pak. Punya saya sendiri. “
“Hmm. Sudah mantap mau menikahi anak saya. “
“Iya, Pak. “
“Kalau begitu, Nak Mugi harus melakukan sesuatu untuk saya. “
“Apa itu, Pak ?”
“Tolong antarkan bungkusan ini ke istri saya, ibunya Neneng di Bondowoso. Malam ini harus sudah sampai. Ini alamatnya dan ini ongkosnya. “
Mugi tertegun melihat amplop dan sebuah kotak mirip kardus sepatu yang dibungkus kertas sampul, tepat di hadapannya. Bahkan, dia pun diberi ongkos.
“Tapi, dompet Nak Mugi ditinggal saja di sini. KTP-nya saja yang dibawa. Dan ini alamat rumah saya di Bondowoso.”
Mugi menelan ludah. Berkali-kali.
OoO
Mugi mengumpat berkali-kali dalam hati. Merutuki kebodohannya tanpa suara. Uang di amplop itu hanya cukup untuk membawanya ke Probolinggo, kotanya sendiri. Mugi merasa, ini sebuah peringatan halus, bahwa lamarannya ditolak. Dia harus kembali ke kotanya, kembali mengadu nasib di bengkel sepeda motornya yang selalu sepi.
“Tapi, aku harus mendapatkan Neneng, “ tekadnya membaja, apalagi membayangkan senyum manis Neneng pada setiap pengunjung koperasi. Dia ingin memiliki senyum itu setiap hari. Akan menjadi pelepas lelahnya setelah menutup bengkel.
Maka dia berdiri di depan terminal Bayuangga, terminal Probolinggo. Melambai-lambai pada truk-truk yang lewat, berharap mendapat tumpangan. Perutnya sudah melilit, kelaparan. Dan kerongkongannya kering kerontang. Sementara matahari mulai tergelincir ke barat, dan sebentar lagi akan ditelan malam. Mugi melirik lelaki di sebelahnya, yang sedang menunggu bus. Lelaki perlente dengan baju dan celana necis. Dasi dan tas koper. Dia sibuk menelpon dengan handphone-nya. Andai lelaki ini yang melamar Neneng, pasti dia bisa sampai di Bondowoso dengan tetap segar bugar.
Mugi mengeluarkan handphonenya, model paling lawas yang dibelinya dari seorang teman. Bahkan tak ada pulsa di dalamnya. Mugi putus asa, tak bisa meminta tolong pada Mamat. Dia hanya bisa berdoa, semoga Tuhan mendatangkan malaikat penolong baginya.
Sebuah bus jurusan Bondowoso lewat di hadapannya. Mugi tak berani mengayunkan tangan untuk memberhentikannya. Namun, seraut wajah menatapnya dari balik kaca jendela bus, di deretan bangku paling depan. Neneng ! Segera Mugi menghadang truk yang berjalan pelan di belakang bus yang ditumpangi Neneng. Mugi langsung melompat naik dan berdiri di jendela sopir.
“Mas ? Ke Bondowoso ?”
“Kraksaan, Mas. “
“Aku numpang ya, Mas. Tolong. Aku harus mengejar calon istriku !” pinta Mugi dengan tampang memelas. Sebenarnya dia tidak perlu melakukannya, karena wajahnya sudah mengenaskan.
Sopir itu mengangguk. Mugi langsung membuka pintu dan duduk dengan lega. Berkali-kali dia mengucap syukur. Allah telah mengirim sebuah pertolongan. Wajah Neneng yang telah memompa semangatnya. Dipeluknya bungkusan dari Pak Gatot itu erat-erat. Dia harus sampai ke Bondowoso malam ini juga.
OoO
Rumah bercat putih itu tampak bergoyang ke kiri dan ke kanan. Apalagi bila Mugi mengerjapkan matanya, rumah itu tampak menjadi dua atau tiga, berjejer saling tumpang tindih. Langkah Mugi terseok-seok. Sudah lewat tengah malam, dan dia telah menempuh berkilo-kilo meter dari pinggir kota Bondowoso. Syukurlah, dari Kraksan ke Situbondo, dia mendapat tumpangan seorang tukang ojek. Dia pun sudah banyak bertanya pada tukang-tukang becak yang sudah mendengkur di becaknya. Atau satpam bank yang menatap curiga padanya. Ahirnya dia sampai di rumah Neneng.
“Neneng, aku sudah tak sanggup lagi …” batin Mugi dalam hati. Bahkan membatin pun Mugi sudah tak ada tenaga lagi.
Perlahan, dia membuka pintu pagar dengan langkah lunglai. Memencet bel di tembok, lalu ndelosor di lantai. Terdengar ayam berkokok di kejauhan. Sebentar lagi subuh.
Pintu terbuka, dan seorang wanita separuh baya terkejut melihat Mugi, lalu memanggil-manggil anaknya.
“Neng ! Neneng ! Lihat siapa yang datang !”
Mendengar nama Neneng disebut, Mugi kontan bisa bersimpuh dengan punggung tegak. Tak kuat lagi dia mengangkat dengkulnya. Dengan hormat dia menyerahkan bungkusan titipan Pak Gatot pada wanita di hadapannya. Andai dia masih kuat bicara, dia pasti berucap, sendiko dawuh…
Neneng muncul di teras, melotot tak percaya melihat Mugi bersimpuh di hadapan ibunya. Barulah dia percaya, bahwa mengapa bapaknya setuju menerima Mugi jadi suaminya. Sementara sang ibu membuka bungkusan dari suaminya, dan membaca surat yang ada di dalamnya.
Bu, ini uang buat biaya kawin anak kita. Yang ngantar ini calon mantu kita.
Mugi langsung terkapar. Dia merasa bagai di surga. Sempat dia memaki dalam hati pria gendut berkumis tebal itu. Mengapa hanya mengongkosinya lima belas ribu, sementara bungkusan yang dipeluknya sejak dari Surabaya itu berisi berjuta-juta.
OoO

Sabtu, 15 September 2012

Gift From Mr.Kim, Aida MA

Mr. Kim Tae Won

Belum pernah megang bukunya, apalagi baca isinya. Cuma lihat covernya doang. Terus aku bisa cerita apa ya tentang Mr. Kim Tae Won ? Ada-ada saja nih mbak Aida MA. bikin acara. Hihihi ...

Hmmm ... lihat siluetnya dulu dah.

Mr. Kim adalah seorang pekerja keras. Di Korea, dia mempunyai sebuah usaha Bakery yang lumayan besar. Dari sinilah dia menghidupi dua orang istri ( weekk ... duuuuuaaaa, kayak iklan mie instan ajah........kekeke ) dan kelima orang anak lelakinya.

Mr. Kim memang seorang lelaki yang mempesona. Kalau versi barat, mirip-mirip Harrison Ford-lah. Rambutnya agak ikal dan matanya tidak begitu sipit. Hidungnya lumayan mancung dan dia punya senyum terindah se-Seoul. Senyum itu yang berhasil menaklukkan hati kedua wanita yang kini menjadi istrinya dan tentu saja para pelanggan Bakery-nya selalu bertambah karenanya. Hingga para pelanggan menjuluki Bakery Mr. Kim sebagai Toko Senyum, saking terkenalnya senyum Mr. Kim ( jadi penasaran sendiri nih .... )

Walaupun sudah berumur, Mr. Kim masih kelihatan muda, karena dia rajin berolahraga dan suka makan sayur ( hayooo ... yang sudah merasa tua contoh nih Mr. Kim ) Dia seorang lelaki berbadan atletis tapi berjiwa lembut. Kelembutan hatinya bersenyawa dengan roti-rotinya yang terkenal empuk dan lembut di mulut. Namun sayang, kelima anak dari kedua istrinya, ternyata menjadi anak-anak yang buruk akhlaknya dan keras perangainya. Hingga Mr. Kim tak hendak mewariskan usaha Bakery-nya pada satupun anaknya. Kecuali bila istrinya melahirkan satu orang anak perempuan, yang dia yakini pastilah lemah lembut perangainya. Kedua istrinya menolak karena mereka sudah berumur. Maka  Mr. Kim berniat mencari istri lagi yang bisa melahirkan anak perempuan.

Hingga suatu ketika, datanglah Wika ke tokonya. Gadis belia itu tampak kelaparan karena baru saja kecopetan hingga tak ada uang untuk membeli makanan. Sementara dia tidak mengenal satu pun orang di Korea, karena dia baru seminggu tiba dari Indonesia. Wika sedang mencari bapak kandungnya yang tinggal di Seoul.
Terbetik di benak Mr. Kim yang berjiwa lembut itu, untuk menolong Wika dan menjadikannya istri. 

Nah lho ? (Maaaaaap Mbak Aidaaa, kebablas nih imajinasinya ....kekeke ).

Lalu bagaimana kisah ini selanjutnya ? Biar lebih jelas, ayo dukung saya supaya bisa ngedapetin buku ini, jadi ceritanya gak ngelantur. Chayooo !



Jumat, 14 September 2012

Waspadalah Bila Ikut Lomba Menulis di Internet

Lomba menulis atau kuis di dunia maya semakin menjamur. Dengan iming-iming hadiah yang beraneka ragam. Mulai dari sebuah buku, uang, janji diterbitkan atau malah royalti didonasikan. Tapi kita perlu waspada, sebagaimana pesan Bang Napi : Waspadalah ! Waspadalah !

Kenapa ? Apakah lomba-lomba itu sebenarnya menipu kita ? Saya hanya ingin berbagi pengalaman mengikuti sebuah Lomba Menulis, agar teman-teman bisa mengambil pelajaran, dan tidak gegabah. Sebelum mengikuti Lomba Menulis yang diworo-woro di dumay, sebaiknya kita perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini :

  1. Pastikan anda adalah orang yang aktif di dumay. Maksudnya, anda bukan orang yang setahun sekali terkoneksi dengan internet. Minimal seminggu sekali, anda terhubung dengan internet.
  2. Pastikan info Lomba Menulis itu diselenggarakan oleh sebuah institusi terpercaya atau orang yang bisa anda percaya. Jadi bila anda menang, pihak panitia akan bela-belain mencari anda sampai ke ujung dunia untuk menyerahkan hadiah.
  3. Catat lomba apa saja yang anda ikuti. Bila anda mengikuti banyak lomba menulis, jangan lupa untuk selalu menuliskan di tembok dengan tulisan gedhe-gedhe kapan DEADLINE, TANGGAL PENGUMUMAN dan DIUMUMKAN DIMANA.
Kenapa hal ini saya sampaikan, karena saya pernah merasa begitu dirugikan oleh sebuah lomba menulis karena saya tidak melakukan hal tersebut di atas. Yaitu :
  1. Sebelumnya saya hanya terhubung dengan internet 3 bulan sekali, dan hal ini membuat saya kapok karena selalu ketinggalan informasi Lomba Menulis
  2. Suatu ketika saya menang Lomba Menulis dan hadiahnya gak pernah saya terima karena poin nomer satu di atas, dan karena panitianya tinggal di Luar Negeri dan malas mencari saya ke pelosok desa. Padahal, gak usah pakai dukun pun saya pasti mudah ditemukan :D
  3. Saya gak pernah nyatet tanggal pengumuman dan diumumkan dimana Lomba Menulis yang saya ikuti, walhasil, kembali ke poin satu lalu balik ke poin 3, saya jadi gak tahu kalau saya menang Lomba Menulis dan ini membuat saya nangis bombay .... huaaaaaa.
Mungkin anda mengira, saya hanya ngaco menulis postingan ini. Tapi percayalah, tulisan ini muncul karena mendadak saya ingat kalau saya pernah ikut lomba di tahun 2007 dan saya baru ingat di tahun 2012. Parah bukan ?


PENGUMUMAN HASIL SAYEMBARA
CERPEN A.A NAVIS
KERJASAMA UNIVERSITAS NEGERI PADANG DENGAN DEAKIN UNIVERSITY
IKUT DISPONSORI OLEH BANK NAGARI SUMATERA BARAT

Dewan Juri yang terdiri dari: Ismet Fanany (Ketua), Rizanur Gani (Anggota), dan Wisran Hadi (Anggota) dengan ini mengumumkan hasil Sayembara Perdana Menulis Cerpen AA Navis sebagai berikut:
Juara I: Arisan Mati, karya Iim Fahmi Ilman
Juara II: Cincin Kelopak Mawar, karya Firdaus
Juara III: Hujan Kota Arang, karya Muram Batu

Selain hadiah utama di atas, sepuluh cerpen terpilih sebagai pemenang hadiah hiburan (dalam urutan abjad) adalah:

Beduk di Atas Kuburan, karya Eriyandi Budiman
Bersampan ke Tepi Tanah Mimpi, karya Satmoko Budi Santoso
Bila Si Janah Hamil Tua, karya Narudin
Gajah Berkaki Tiga, karya Budi Hutasuhut
Gatotkaca Sang Provokator, karya Reka Yuda Mahadika
Impian, karya Roidah
Lampu Neon, karya Lumaksono
Langit Lebaran Dokar, karya Shofa Muhammad
Mahar Isnani, karya Amalia Dewi Fatimah
Sebuah Sayatan, karya Alex Gunawan

Juara I mendapat hadiah sebesar Rp 5 juta, Juara II Rp 3 juta, dan Juara III Rp 2 juta, sementara pemenang hadiah hiburan masing-masing menerima Rp 250 ribu. Selain itu, para pemenang juga akan menerima sebuah piagam.
Penyerahan hadiah dan piagam tersebut akan dilakukan dalam sebuah acara yang akan diadakan di Universitas Negeri Padang pada tanggal 11 Juli 2007. Semua pemenang diundang untuk menghadiri acara tersebut. Para pemenang diharapkan menghubungi panitia untuk memastikan kehadiran dan memberi tahu ke alamat mana hadiah dan piagam itu dapat dikirimkan melalui e-mail: ifanany@deakin.edu.au atau rektor@unp.ac.id atau effendi411@yahoo.com . 
Gubrak ! Selalu hadiah hiburan ....kekeke !
Setelah 5 tahun berlalu baru tahu kalau pernah menang Lomba Menulis  dengan penyelenggara sekeren AA Navis. Segera ku email, tapi ternyata email itu sudah tidak ada lagi .... huaaaa !

Oleh karena itu, bagi teman-teman yang ikut Lomba Menulis di internet. Waspadalah ! Atau hadiah anda melayang.


 

Kamis, 13 September 2012

VEGETARIAN


Dimuat di : Radar Bromo, 31 Oktober 2010

Jaka adalah teman yang baik tapi tidak menyenangkan. Dia baik dalam segala hal namun tidak menyenangkan dalam urusan makan. Teman yang berada dalam kesulitan apapun bentuknya, dia selalu menjadi orang pertama yang menawarkan bantuan. Dia bisa sangat dermawan untuk urusan makanan, terutama bila makanan itu tidak masuk dalam daftar makanan vegetariannya.
“Darimana kamu mendapat protein ?” bisikku saat makan siang di kantin kantor.
Di hadapan Jaka hanya ada nasi, sayur-sayuran mentah, dua iris tempe goreng dan pepes tahu. Tentu saja semuanya dia bawa dari rumahnya. Diletakkan dalam kotak bekal makanan yang memenuhi standar kesehatan. Begitu juga dengan bekal minumnya. Air bening ( bagiku air putih adalah susu ) yang juga berada dalam botol minuman berstandar kesehatan. Aku yakin, istrinya adalah orang yang paling sering dibuatnya pusing tujuh keliling.
“Protein dari kedele lebih bagus dari daging di hadapanmu itu. “
“Bagus buat dompet ?”
Jaka tersenyum. Seperti biasa, di mana-mana dia begitu percaya diri dengan pola hidupnya. Setahuku, semua vegetarian seperti itu. Begitu bangga dengan pola hidup sehatnya.
“Memang. Bagus buat dompet. Sekarang dan masa yang akan datang. “
“Maksudmu ?”
“Kalau aku sudah seusia Pak Herman, aku tidak akan bolak-balik masuk rumah sakit. Kesehatan mahal harganya. “
Aku mengangkat bahu. Terlintas raut wajah Pak Herman dengan mulut agak miring akibat stroke yang menyerangnya sebulan yang lalu. Sekarang, atasan kami itu terbaring tidak lagi di rumah sakit. Padahal baru dua minggu yang lalu dia tampak sehat dan sudah masuk kantor.
“Sebaiknya kau perhatikan pola makanmu, Rus, “ ucap Jaka sambil menikmati sayur kol mentahnya sambil melirik ke arah piringku yang belum kusentuh, “mumpung masih muda, masa depan kita masih panjang. “
Aku selalu merasa mual melihat Jaka bila sudah melahap sayur mayur mentahnya. Aku teringat hewan peliharaan mertuaku. Apa enaknya makan sayur mentah ? Menyedihkan. Bahkan melihat Jaka mengunyahnya dengan lahap, sempat menghilangkan selera makanku. Padahal paha ayam bumbu kecap dan sambal bajak yang kini berada di hadapanku adalah menu favoritku di siang hari yang terik ini. Dan sebotol minuman bersoda dingin sebagai pendampingnya.
Hhhh … apa peduli Jaka ? Harusnya aku juga tidak peduli dengan menu makan siangnya yang menyedihkan. Bagiku yang penting bisa makan enak dan enak makan.
OoO
Prasmanan. Tentu saja ritual makan yang menggairahkan bagi semua undangan. Hani, seorang staff TU yang baru setahun bekerja di kantor kami, menggelar resepsi pernikahannya di sebuah hotel. Cukup mewah. Tidak mengherankan, karena walaupun Hani cuma seorang TU, bapaknya adalah pemilik hotel ini.
“Bagaimana Jaka ?” bisik istriku saat para undangan yang sudah memberi selamat kepada kedua pengantin, dipersilahkan untuk menikmatai hidangan.
“Memangnya kenapa dia ?” tanyaku balik bertanya.
“Dia mau makan apa di sini ?”
Aku menebar pandanganku ke meja-meja tempat semua makanan serba lezat itu dihidangkan. Tidak ada satupun selera Jaka ada di sana. Semuanya adalah seleraku. Walaupun jam enam tadi pagi aku sudah sarapan, tapi melihat semua hidangan itu, aku menjadi kelaparan. Padahal masih jam sepuluh, belum waktunya makan siang. Apa peduliku …. ini pesta, kan ? Jaka ada benarnya. Mumpung masih muda dan masa depan panjang, maka manfaatkan sebaik-baiknya sebelum masa tua datang. Yaitu, saat dokter memberikan list daftar makanan yang terlarang untuk dikonsumsi.
“Mungkin dia akan makan ini ….” bisikku pada istriku sambil menunjuk ke deretan daun selada yang menghiasi tepi beberapa piring lauk pauk
Istriku tertawa geli. Dia menoleh ke belakang, mencari sosok Jaka dan istrinya.
“Kasihan dia, Mas … “
“Tidak usah dipedulikan. “
Lalu aku dan istriku mengambil tempat duduk di tepi kolam ikan. Rupanya Jaka dan istrinya menyusul. Aku dan Jaka memang teman dekat. Maka tak heran kami selalu tampak bersama di kantor.
Rupanya istri Jaka bukan seorang vegetarian. Kulihat lima tusuk sate di piringnya, sepotong ayam goreng, beberapa sendok nasi. Sama sekali tidak ada sayur. Dan seperti perkiraanku, Jaka mengambil beberapa helai daun selada dan dua iris tomat.
“Jaka … kamu menyingung perasaan Hani, “ ucapku bercanda, “makanan di pestanya tidak ada yang enak. “
Jaka tersenyum seperti biasa, “Ini yang super enak, Rus ! Coba deh !”
Aku menggeleng dan memutar badanku. Tidak tega, tidak sampai hati, tidak ingin kehilangan selera makan bila berhadapan dengan Jaka.
Di mata aku dan istriku, alangkah tersiksanya hidup Jaka dengan pola makan vegetariannya. Bahkan di sebuah pesta tempat kita bebas makan sepuasnya, hanya dia yang tampak terpenjara dengan sayur mayurnya.
OoO
Himbauan Jaka atau mungkin lebih tepat rayuan tak ayal membuatku tertarik untuk mencoba.
“Mengkonsumsi sayuran mentah akan memberikan vitamin dan nutrisi segar pada tubuh kita, Rus. Lihat saja kulitku. Bersih dan sehat kan ?”
Sejak dulu aku memang heran dengan kulit Jaka yang tampak bersih. Apalagi kulitnya kuning langsat, tidak seperti kulitku yang sawo matang. Kukira dulu dia rajin menggunakan lotion untuk pria atau sejenisnya. Apalagi, di usia kami yang menjelang empat puluh, wajahnya tampak masih kencang, alias jauh dari keriput. Ternyata itu rahasianya.
“Karena tidak beresiko terkena berbagai penyakit degeneratif, maka lebih panjang umur.”
Aku tertegun. Panjang umur ? Sepertinya nasehat itu lebih cocok untuk Pak Herman yang kondisinya sedang kritis sejak kemarin. Usia beliau sudah lima puluh lima. Tahun depan sudah pensiun. Tapi, bisa jadi dia akan pensiun lebih dulu kalau serangan jantungnya kemarin berhasil mengalahkannya.
“Umur tidak ditentukan oleh makanan, Jaka. Tapi oleh takdir. Kalau sudah saatnya mati, ya pasti mati. Tidak bisa ditangguhkan. “
Jaka tersenyum.
“Siapa bilang aku tidak percaya takdir. Tapi takdir bisa berubah tergantung usaha dan doa kita, kan Rus ?”
Aku mengangkat bahu. Lalu pandanganku jatuh di atas kotak bekal makanan Jaka. Kali ini irisan wortel mentah, mentimun dan tahu yang dibuat mirip paha ayam.
“Cobalah wortelnya. Manis. “
Jaka mengulurkan kotak bekalnya. Aku hendak mencomot paha ayam palsu itu, penasaran dengan rasanya. Tapi kasihan Jaka, nanti dia makan tanpa lauk. Di kantin tidak akan ada lauk seperti ini. Akhirnya aku mencomot seiris wortel. Perlahan, kumasukkan dalam mulutku. Mengunyah … mengunyah … mengunyah … dan m-e-n-e-l-a-n.
“Bagaimana ?” tanya Jaka yang mengamatiku sejak tadi.
Perutku tiba-tiba mual, karena tadi sempat membayangkan telingaku menjadi lebar dan panjang seperti kelinci.
“E-n-a-k …” jawabku terbata.
Sebotol minuman bersoda seketika menjadi penawar rasa wortel yang getir bagiku. Jaka tertawa kecil. Aku merutuk dalam hati, bersumpah tidak akan menuruti anjuran Jaka lagi. Selera makanku menjadi hilang, karena perut sudah kenyang oleh sebotol minuman bersoda.
“Kalau kamu membiasakannya, kamu bisa panjang umur, Rus. Coba juga kecambah mentah. Itu lebih bagus lagi. “
“Bisa panjang umur ?”
“Tentu saja. “ jawab Jaka optimis.
OoO
Lembur membuat mengantuk di pagi hari. Tapi membuat para istri senang saat menerima gaji. Tak apalah, toh aku tidak perlu lembur setiap hari. Hanya seminggu menjelang akhir bulan ini. Jaka mengeluh.
“Sebenarnya kita tidak perlu lembur di akhir bulan. Kalau saja Pak Herman tidak menumpuk tugas-tugas kita dan baru membaginya kemarin … “
“Dia hanya membantu kita. Menambah penghasilan. Hehehe … jalani saja, Jaka. Apalagi Pak Herman sakit sebulan ini. Makanya sekretarisnya tidak tahu kalau masih banyak tugas yang belum diserahkan pada kita. “
“Iya sih … tapi sepertinya, bulan ini kita lebih sering lembur gara-gara kita dia sakit. “
Aku mengangguk-angguk. Sebenarnya berusaha mengusir kantuk. Sudah hampir jam dua belas malam. Memang sudah waktunya berlayar di pulau kapuk bersama istri tersayang.
“Jaka … aku tidak kuat lagi nih. Aku harus pulang !”
Mataku sudah sangat berat, seperti digantungi berkas-berkas tebal di hadapanku. Di ruangan kami, ada lima orang yang terpaksa kerja lembur. Aku menoleh ke arah Jaka. Pantas dia tidak merespon. Dia sudah tertidur di hadapan komputernya.
“Jaka … aku mau pulang dulu !”
“Hmm …  “ sahutnya samar. Rupanya dia masih mendengarku.
Sebelum pulang, aku mampir dulu di sebuah depot dekat kantor yang masih buka. Memesan kopi jahe, berharap bisa membuatku terjaga sampai rumah. Berkendara sepeda motor dalam kondisi mengantuk bukanlah hal yang kusukai. Berjalan lambat tambah mengantuk, berjalan cepat malah khawatir. Kuharap jahe yang dimemarkan yang berada dalam gelas kopiku dapat membantuku melek sepanjang jalan. Aku mengunyah jahe itu. Seketika mataku melotot. Pedas. Sempat teringat wortel mentah Jaka, tapi segera kuusir jauh-jauh ingatan itu.
OoO
Aku berharap suasana kantor di pagi hari tampak segar, walau aku tidak bisa menjamin hal itu terjadi. Karena di ruanganku, semalam lembur semua. Aku tidak tahu mereka lembur sampai jam berapa, karena aku pulang  lebih dulu.
Ruangan sepi. Kemana semua orang. Hanya ada sekretaris Pak Herman, wajahnya kusut. Sepertinya dia habis menangis.
“Ada apa Bu ?” tanyaku penasaran.
Dia menyusut air matanya. Aku curiga, jangan-jangan perkiraan kami benar-benar terbukti. Pak Herman benar-benar meninggal ?
“Semalam … ada yang kecelakaan, Pak Rus. “
“Apa ? Siapa ?”
“Pak Jaka. “
Aku segera melompat mendekati wanita itu. Dia semakin terisak.
“Lalu di mana di sekarang ? Bagaimana kondisinya ?”
“Barusan polisi yang menelpon. Dia sudah …. meninggal. “
Innalillahi ….
Aku langsung terduduk lemas. Pasti dia sangat mengantuk saat naik menyetir sepeda motor. Bukankah Jaka yakin dia akan berumur panjang dengan pola makannya ? Lalu mengapa dia mati begitu cepat ?  Aku tidak dapat menemukan jawabannya dengan cepat, karena berbagai lintasan ingatan tentang semua sayur mayur mentah yang telah dilahap Jaka begitu bersemangat.
OoO


Terkunci

Postingan ini diikutkan dalam #FF2in1 @nulisbuku 13 September 2012 pukul 21.30

Selalu saja, tak pernah berhasil. Setiap lukisan yang kuhasilkan, selalu saja menghasilkan sepasang mata indah dengan bulu lentik itu. Lesung pipit dan deretan gigi yang putih bersih. Heran, sungguh mengherankan. Padahal semua tentang dirinya sudah aku kubur bersama lukisan-lukisan dirinya.

Aku harus mengubah jalan hidupku. Hidupku bukanlah burung dalam sangkar. Yang hanya menerima takdir, melihatmu dalam sangkar indah lainnya. Tidak, aku selalu bertekad untuk bebas dan lepas dari cinta yang memenjara ini. Tapi kenapa aku selalu tak berdaya.

Kembali, lukisan lelaki berjenggot di hadapanku, terlukis dengan mata indahmu. Juga lesung pipitmu. Hingga lelaki itu begitu murka dan menyobek-nyobek kanvas di hadapanku. Aku hanya bisa tertegun. Sungguh, aku tak pernah bisa melupakan mata indahmu.

Kemarin, aku dipecat dari galery. Mereka tak mau mempekerjakan aku lagi. Karena semua lukisan binatang yang mereka pesan, selalu berbulu mata lentik dan indah sepertimu. Aku sungguh tak bisa lagi melukis hal nyata dalam hidupku. Semua imajinasi dan akalku terkunci dalam dirimu.


Yang Terdalam


Postingan ini diikutkan dalam #FF2in1 @nulisbuku 13 September 21.00 WIB
Tema : Yang Terdalam - Peter Pan

Senja itu, aku terpaku menatap tergelincirnya Sang Surya di ufuk barat. Semburat oranye mewarnai langit. Dan kurasakan bayang wajah lelaki itu memenuhi kepala dan dadaku. Sesak. Aku merasa percuma berdiri di pantai nan luas ini. Berharap rasa sesak itu menguar bersama angin yang mendingin.

Pras. Hanya nama itu yang bisa kugaungkan. Betapa hatiku sudah dia gali begitu dalam dan dia bersemayam di sana dengan nyaman. Kugelengkan kepala keras-keras. Sudah kucoba segala upaya untuk melebur nama itu di lautan. Menerbangkannya di setiap kepak sayap camar. Tapi usahaku selalu kandas. Karam.

Ijinkan aku mengenangmu Pras. Meski, selamanya kau tak akan berada di sisiku. Demi rasa yang sudah mendalam ini. Aku tidak akan membiarkan sedikit pun perih menodainya. Apakah aku salah ? Bila aku masih berharap menanti cintamu ?

Rabu, 12 September 2012

Reviving Moment - Gadis Istimewa dari Rahimku

Judul di atas, bukan untuk menonjolkan tentang kehebatan putriku atau menghibur diriku. Tapi judul yang kuambil dalam rangka Giveaway di blog Monilando ini, adalah bentuk kekagumanku pada Pencipta putriku.
Mau tahu bagaimana putriku hingga aku menyebutnya gadis yang istimewa ?

Putriku yang genap 12 tahun di 25 Juni 2012
Ini foto putriku, cantik bukan ? Semua ibu pasti akan mengatakan putrinya cantik :D. Namanya Fathin Nisa Elfathiyya. Putriku ini menderita autisme. Dia adalah putri kedua dari keempat putra-putriku.

Autisme yang dia derita aku ketahui ketika dia berumur dua tahun. Saat itu, seorang teman menyarankan untuk membawa ke seorang psikiater anak. Terapi yang diberikan adalah terapi obat. Selama dua tahun, putriku mengkonsumsi obat. Dan obat-obat itu harganya tidak murah. Tabunganku terkuras habis, bahkan sebidang tanah yang pernah aku rencanakan untuk dibangun rumah di atasnya pun terjual demi pengobatan putriku.

Bagi anak seusia dia, minum obat adalah siksaan terberat. Bagi anak autis, minum obat adalah siksaan berat bagi ibunya. Dia adalah seorang anak kecil dengan tenaga luar biasa. Untuk meminumkan obat padanya, tidak bisa dengan bujuk rayu atau iming-iming hadiah. Aku harus mendekap tubuhnya, mengunci kakinya, dan mendongakkan kepalanya. Orang lain ( ibu atau suamiku ) yang memasukkan obat ke dalam mulutnya. Itu pun dengan rangkaian teriakan dan tangisan. Setelah minum obat, dia akan terus menangis. Bahkan jika tantrum, bisa mencapai satu jam. Terus menerus menangis histeris dan membanting-banting tubuhnya. Hingga aku harus melepaskannya di ranjang agar dia tidak melukai dirinya sendiri.

Banyak teman mengatakan, walau memiliki anak tidak normal, wajahku tidak menunjukkan kalau aku stress. Maksudnya, aku tetap saja tersenyum-senyum dan bercanda lepas bila berkumpul dengan teman-temanku. Siapa bilang aku tidak stress ? Lebih tepatnya, aku tertekan. Jadi bila ada lengkung di bibirku, bukan berarti aku sedang gembira. Aku hanya mencoba berdamai dengan takdir. Dan itu tidak mudah.

Setiap kali mengajak putriku bertamu, baik itu ke rumah teman atau kerabat, tuan rumah selalu dengan reflek mengunci kamar-kamar mereka dan mengganjal lemari es mereka dengan kursi. Tentu saja, karena putriku akan langsung mengeksplorasi suasana baru di mana pun dia berada. Jujur, hatiku benar-benar tertohok. Apalagi kadang spontan mereka berkata, "Ada Fathin ... ada Fathin !". Seolah kalimat itu adalah warning untuk menyelamatkan semua barang. Dan mereka semua tak pernah tahu, bahwa air mata membanjiri batinku, bukan sepasang mataku.

Sedih luar biasa. Tidak ada orang yang mengharapkan kehadiran anakku !

Dari beberapa literatur yang aku baca, kebanyakan isinya menghibur para orang tua dengan anak autisme. Bahwa mereka adalah anugerah istimewa. Istimewa apanya ? Dia tak diharapkan di mana pun ! Dan berkali-kali aku berusaha berprasangka baik pada orang-orang di sekelilingku, tapi selalu kembali pada kenyataaan. Here I am. Sampai kapan pun, aku dan anak autisku, tak akan bisa kemana-mana. Di rumah saja, jauh lebih baik. Bagi aku, anakku dan orang-orang di sekitarku.

Tapi, pemikiran itu perlahan berubah. Seiring bertambahnya usianya, aku ingin dia bersekolah. Aku menyadari, aku dan suami akan semakin menua dan dia akan menjadi dewasa. Dia harus bersekolah dan mengenal dunia tempat dia hidup sekarang, bukan dunianya sendiri. Walau aku tidak tahu, bagaimana kelak dia menghadapi masa remaja dan dewasanya ? Apakah dia bisa mandiri dalam segala hal ? Adakah yang mau menikah dengannya ?

Tapi saat dia kumasukkan ke sebuah TK, tak ada anak yang mau bermain dengannya. Karena perilakunya tidak dipahami oleh teman-temannya. Tidak bisa diajak berkomunikasi. Gurunya pun merasa, berhadapan dengan anakku begitu menyulitkan. Dan, telingaku pun harus memerah tiap hari karena mendengar keluhan wali murid lainnya, yang iri kenapa Fathin boleh berkeliling kelas sementara anak mereka tidak boleh. Kenapa Fathin boleh tidak mengerjakan, sedangkan anak mereka tidak boleh. Tapi aku mencoba bertahan.

Dan anakku menempuh pendidikan TK selama 4 tahun. Dua tahun terakhir, aku sendiri yang menjadi gurunya karena saat itu aku mulai bekerja menjadi Guru TK di sebuah TK yang baru didirikan. Selepas itu, aku bingung, mau disekolahkan di mana anakku ? Tubuhnya semakin besar, tapi pola pikirnya masih seperti batita. Walau komunikasi antara aku dan dia hanya satu arah, tapi aku yang paling tahu bahwa dia sangat ingin masuk SD. Memakai baju putih merah.

Fathin saat perpisahan di SDLB
Untuk masuk ke sekolah umum, jelas tidak mungkin. Tidak ada SD yang siap menerima anak seperti Fathin. Akhirnya aku masukkan dia ke SDLB. Sungguh sebuah sekolah yang tidak tepat bagi anak autis seperti Fathin. Karena sepulang dari sekolah, dia semakin aneh. Malah menirukan gerakan dan cara bicara teman-temannya yang bisu tuli.




Akhirnya, aku memindahkan dia ke SDIT, sebuah sekolahi inklusi, atas saran beberapa teman.


Dan, sejak bersekolah di sinilah, aku perlahan merasakan keistimewaan itu. Subhanallah....

Ya, dalam setiap perilakunya, aku semakin yakin bahwa Allah tidak pernah salah menciptakan makhlukNya dan tidak pernah luput memberikan hikmah dalam setiap kejadian.

Semenjak bersekolah di SDIT yang memang kental dengan pembiasaan Islaminya, aku tidak pernah mengira bahwa putriku menjadi gadis yang selalu sholat tepat waktu. Tidak hanya itu dia selalu menunggu-nunggu waktu sholat. Pertanyaan sehari-harinya di antar waktu sholat adalah, "Ibu, sudah adzan sholat ?"
Duh, aku sendiri sebagai ibunya hampir tidak pernah menanyakan adzan sudah berkumandang atau belum, apalagi mempersiapkan diri menunggu waktu sholat. Begitu adzan berkumandang, dia langsung berwudhu' dan menggelar sajadah.
Putri cantikku lebih tahu, apa destinasi akhir dari hidup ini dan apa modal utama yang bisa menyelamatkannya di akhirat kelak.

Kini, senyum yang hadir di wajahku, bukan lagi sarana untuk mencoba berdamai dengan takdir. Aku bersyukur, Allah memilihku untuk melahirkan gadis istimewa dari rahimku. Yang di setiap akhir sholat, dia bahkan bisa mendoakan dirinya sendiri supaya sembuh. Menghadapi masa balighnya nanti, aku yakin DIA yang akan memudahkan semuanya.




Dan menjadi pemenang kedua, infonya ada di sini



Senin, 10 September 2012

Pola-pola Indah di Bumi

 Pernahkah mengamati dengan teliti, bahwa Allah menciptakan pola- pola indah di bumi ini ? Melihatnya dalam jarak dekat, kita akan dibuat takjub, bahwa pola-pola ini ada di sekitar kita, setiap harinya.

Sehelai bulu burung.
 Foto di atas adalah foto sehelai bulu burung yang diambil dari jarak sangat dekat. Sama sekali tidak mengira bukan, bahwa di antara kepak burung yang kerap melintas di atas kita,  terdapat pola yang demikian fantastis.

Kulit Gajah, seperti foto satelit bumi kita
Sedangkan pola abu-abu di sebelah ini, seperti gambaran permukaan bumi bila dilihat dari foto satelit.
Padahal hanyalah kulit yang keras, dari binatang berbelalai panjang. Gajah, itulah namanya ... hehehe.
Batik indah ini adalah kulit jerapah









Kalau lukisan yang indah ini, milik sang leher jenjang, jerapah.
Cocok buat motif baju kayaknya. Wah, bangga dong si jerapah punya motif seindah ini.









Kulit cheetah sang pelari super cepat
Si pelari nang lincah, cheeta juga punya pola batik di tubuhnya. Gak perlu sih memburunya, dan mengambil kulitnya untuk baju hangat. Kita contoh saja polanya yuk.
Mata seekor ikan











Dan tonjolan berwarna hitam itu adalah mata seekor ikan yang dijumpai di perairan negeri kita. Subhanallah, bener-bener lukisan alam tiada tara





Si belang ini pasti tak asing kan ?





 
Dan yang terakhir, si bolang eh si belang. Hitam-putihnya adalah paduan indah, meski sederhana. Jadi ingat gerombolan si berat dengan baju penjaranya. Hehehe, tapi si belang yang ini bukan penjahat lo.








Dan gambar-gambar indah yang lain dapat anda nikmati langsung di situsnya www.nationalgeography.com.

Janji Para Lelaki, Jangan Mudah Berjanji Bila tak Hendak Menepati


Novel ini mendapatkan Penghargaan Terbaik Nasional Festival Novel Menggugah 2009.
“Ini bukan kisah mimpi, tapi cerita memenuhi janji yang acap tak tertepati. Juga bergulat pada peneguhan jati diri : membawakan panji-panji dalam kafilah Paderi melawan kompeni “
Dua kalimat di cover depan novel ini telah membuatku menyeretnya ke kasir. Pasti ada yang hebat di dalamnya. Kalau tidak, mana mungkin akan memenangkan penghargaan. Ditambah settingnya di Minangkabau. Serasa menemukan jalan untuk semakin menyelami budaya suami sendiri J.
Sebelumnya, aku membayangkan akan berurai air mata membaca Janji Para Lelaki. Ternyata aku keliru. Menggugah di sini, tidak identik dengan air mata. Tapi membawa ke sebuah perenungan tentang makna menepati janji. Sungguh cocok dengan kejadian akhir-akhir ini, yang kerap aku alami. Alangkah mudahnya, melalaikan bahkan mengingkari janji. Padahal sudah berhijab rapi dan hafal sebuah hadits tentang kaum munafiqin, yang salah satunya bercirikan ingkar janji. Seharusnya, buku ini aku pinjamkan pada mereka-mereka yang kerap abai dan lalai pada janji.
Janji Para Lelaki mengisahkan tentang 3 orang lelaki. Syahdan, Sutan Matari dan Johan. Mengambil setting tanah Minangkabau di tahun 1803, semasa Paderi mengangkat senjata melawan Belanda. Tutur bahasanya, melayu banget.  Tak berbeda dengan Layar Terkembang atau Salah Asuhan yang pernah kubaca. Sehingga bagi orang jawa tulen seperti aku, kerap bertanya pada suami. Walau, kalau dibaca satu atau dua kali sebenarnya mudah dimengerti, tapi bertanya pada orang Minang asli, terasa lebih pas di hati.
Syahdan berjanji menikahi Marani. Tapi dia juga terikat janji pada ayahnya. Sebelum meninggal, ayahnya berwasiat agar Syahdan tidak menikah dulu sebelum menikahkan Salma, adiknya dan membelikan Salma sebidang tanah. Syahdan yang bekerja di lapau ( toko ) kain milik Sutan Matari, tidak bisa segera memenuhi janji karena gajinya tidak mencukupi. Sementara Marani diguna-guna oleh orang yang sakit hati karena lamarannya ditolak. Syahdan harus segera menikahi Marani, tapi Amaknya ( ibunya ) tidak mengijinkan sebelum membelikan Salma tanah sawah.
Sutan Matari semula adalah lelaki yang terlilit hutang. Dia menerima pinangan ayah Bulan, seorang lelaki cukup berada.  Sutan Matari menikahi Bulan dengan sebuah janji, bahwa dia akan menjaga Bulan dan toko kainnya. Namun Bulan ternyata seorang istri yang bertindak semena-mena pada Sutan Matari. Menjatah makan dan uangnya setiap minggu. Dan kerap mempermalukan Sutan Matari di depan umum. Sehingga Sutan Matari dikenal sebagai suami yang takut istri. Johan hadir untuk mengembalikan kehormatan Sutan Matari sebagai suami.
Johan berjanji pada Mamanya untuk selalu berpihak pada pribumi. Walau dia menjabat sebagai seorang Letnan Belanda, tapi dia selalu berusaha memenuhi janjinya. Karena dalam dirinya mengalir darah pribumi. Hal ini yang kerap menjadi olok-olok Moore, saingannya dalam merebut hati Mary, sang pujaan hati. Walau semua pejabat Belanda kerap member janji palsu pada pribumi, Johan tetap bersikukuh untuk berpihak pada pribumi. Baginya, Belanda hanya berperang melawan Paderi, bukan pribumi.
Ketiganya, Syahdan, Sutan Matari dan Moore saling berkaitan dalam kisah ini. Berbagai konflik yang muncul, membuat  tak bisa menebak bagaimana sang penulis akan mengakhiri novel ini.
Kelicikan Belanda, terpapar jelas. Bagaimana muslihat Johan menjadikan Sutan Matari sebagai mata-matanya, untuk memantau gerak-gerik di markas Paderi. Bagaimana pula Sutan Matari belajar dari Johan, untuk membujuk Syahdan menjadi anak buahnya. Padahal, Syahdan jelas-jelas anggota Paderi.
Setiap janji, memerlukan pengorbanan untuk dipenuhi. Dan setiap manusia, tidak sama cara berkorbannya. Terkadang, hanya karena materi, janji sudah lupa ditepati. Syahdan, tokoh utama di novel ini, bukanlah sosok sempurna. Inilah yang menarik di novel ini. Penggambaran karakter Syahdan begitu alami dan manusiawi. Bahwa walapun dia kokoh memegang syariat dan berdiri di jalan jihad Paderi, dia pun tanpa sadar tergelincir menjadi kaki tangan Belanda.
Secara keseluruhan, membaca novel ini membuat kita mengenal budaya Minangkabau beserta seluk beluk adat istiadatnya. Beberapa istilah yang digunakan, terdapat penjelasan lugas dan jelas. Sehingga membacanya serasa berada di tanah Minang. Semula saya berharap, segmen pertempuran Paderi melawan Belanda, terasa kuat ruh pertempurannya. Mengerikan dan menegangkan. Tapi hal itu tidak ditemukan dalam novel ini. Mungkin karena, Paderi hanya setting dari novel ini, jadi tidak perlu dibahas terlalu mendalam. Misi utama adalah menyadarkan para pembaca, alangkah sulitnya memenuhi janji. Maka jangan mudah berjanji, bila tak hendak menepati.







Sabtu, 08 September 2012

RAYAP


( Cerpen ini pernah dimuat di Colosseum Radar Bromo )

Jeritan istriku yang sedang berada di dapur terdengar sampai ke ruang tamu. Koran yang sejak satu jam yang lalu menemani acara minum kopiku langsung kulempar begitu saja. Dan laksana terbang, aku bergegas berlari ke dapur. Pasti, istriku mengalami kejadian yang luar biasa, karena pekik ngerinya masih berlanjut.
“Dik ! Ada apa ?” seruku ikut histeris.
Istriku memeluk dirinya sendiri. Posisi yang biasa dia lakukan bila dia merasa ngeri. Mimik wajahnya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dia menunjuk ke arah lemari yang berada di bagian bawah tempat kompor gas. Pintu lemari itu terlepas dari engselnya dan ambruk ke lantai. Serpihan kayu dan tanah berhamburan ke mana mana.
“Kenapa lemarinya ?” tanyaku bergegas sambil mengguncang badannya. Tubuh istriku gemetar dan bisa kurasakan bulu-bulu di tangannya merinding.
“Lihat sendiri !”
Dan wanita yang sangat kucintai itu pun berlari meninggalkan dapur.
Dengan langkah jantan, itikad untuk selalu melindungi belahan jiwa, aku mendekat ke arah lemari. Bisa jadi, ada sesuatu yang mengerikan yang tadi muncul dari dalam lemari, yang membuat pintu lemari ini sampai terlepas dan sekaligus membuat istriku sangat ketakutan.
Dan umpatan pun akhirnya terlontar dari dalam mulutku. Seluruh bagian dalam lemari itu telah penuh dengan tanah yang didempulkan oleh pelakunya. Sementara mahkluk-makhluk putih berkeliaran dari sela-sela pintu lemari yang ambruk. Aku menekan sebagian kusen pintu itu. Dan kurasakan dalamnya bukan lagi kayu. Tapi tanah. Rayap telah bersarang di lemari kayu ini dan sudah memakan habis semua kayunya. Entah sudah berapa lama.
OoO
“Bagaimana mungkin kamu sampai tidak tahu kalau ada rayap di situ, Dik ? Kalau dia baru sedikit saja membuat sarang, kan lemari itu masih bisa diselamatkan ?”
“Mas ini bagaimana sih ? Mas kan tahu aku paling takut sama binatang-binatang menjijikkan seperti itu. Mana mungkin aku berani menyentuhnya. “
Aku mendengus, “Kan ada aku, Dik ! Aku suamimu. Tidak akan kubiarkan apapun membuatmu ketakutan seperti tadi pagi. ”
“Mas …. Sebenarnya, tiap hari aku selalu membuka lemari itu, karena sebagian perabotan dapur aku simpan di situ. Tapi bukankah, selama tiga minggu ini kita tinggal di rumah Bapak karena ibu masuk rumah sakit ? Dan Mas yang tiap hari pulang ke sini. Kenapa Mas tidak menengok ke dalam lemari itu ?”
Aku mendengus lagi. Mana tahu aku kalau rayap itu bakal menghabiskan lemari itu ?
“Tugas Mas lo …. “
“Apa ?”
“Mengusir rayap-rayap itu. Atau lemari di dapur habis semua. “
Aku hanya mengangguk. Tenang saja, aku adalah pemimpin di keluarga ini. Jadi, aku yang akan menyelesaikan semua masalah di rumah ini. Termasuk masalah mahkluk kecil bernama rayap itu.
OoO
Perburuan di mulai keesokan harinya. Saat istriku kembali menjerit, karena pintu kusen kamar mandipun ternyata sudah habis dimakan rayap. Tanpa sengaja, saat keluar dari kamar mandi, sikut istriku terantuk kusen, dan rontokan tanah keluar dari dalam kusen yang ternyata sudah kosong isinya.
Senjataku hanya golok dan semprotan obat nyamuk yang berisi minyak tanah. Istriku kuungsikan ke rumah mertua. Aku sendiri yang akan menghadapi rayap-rayap itu sampai rayap terakhir, bahkan mungkin raja rayapnya berhasil kumusnahkan.
Rumah ini adalah rumah peninggalan almarhum orang tuaku. Sebagai anak tunggal, hanya aku satu-satunya yang mengenal seluk beluk rumah ini, karena memang sejak aku dilahirkan dan dibesarkan di rumah ini.
Dari dulu aku memang tidak pernah peduli dengan urusan rumah. Mungkin saja, sebelumnya, saat bapak dan ibuku masih ada, mereka sering bertempur dengan rayap, tanpa kuketahui kapan. Sekarang, generasi telah berganti. Aku yang bertempur melawan rayap.
Semua kusen di seluruh rumah kuperiksa. Tanda-tanda rayap yang lihai menyembunyikan aksinya, kuamati dengan cermat. Beberapa kusen pintu rumahku ternyata sebagian sudah menjadi korban. Entah karena usia rumah ini sudah lama, atau aku yang kurang peduli mengurus rumah. Bahkan bagian belakang lemari baju istrikupun sudah separuh yang dilahap binatang kecil itu. Untung saja, istriku tercinta tidak ada di tempat. Kalau iya, dia pasti histeris dan pingsan. Bahwa ternyata selama ini, dia begitu dekat dengan rayap-rayap itu. Mereka berjalan beramai-ramai di dalam kayu, memakan habis dalamnya, bahkan mungkin sambil terbahak-bahak karena di empunya telah berhasil dikelabuinya.
Satu liter minyak tanah sudah kuhabiskan untuk menyemprot semua kayu bekas sarang rayap. Seperti halnya mereka yang tidak peduli dan tidak pilih-pilih, kayu mana yang akan mereka makan dan mereka jadikan sarang, aku pun tidak peduli dengan mereka yang menggeliat-geliat, berlarian ke sana ke mari, menghindari pertempuranku.
“Kau pasti bangga pada Mas, Dik ! Aku sudah berhasil membantai semua rayap di rumah kita ! Tidak ada lagi rayap !” gumamku bersemangat.
Semua rayap yang sudah mati itupun kukumpulkan jadi satu. Beberapa saat, aku sempat menikmati mereka yang masih menggeliat. Lalu bersama bekas sarang mereka, serpihan kayu dan tanah liat yang sudah kering, aku buang ke tempat pembuangan sampah. Tempat yang layak bagi mereka.
OoO
Pertempuranku dengan rayap yang menuai sukses besar, terdengar seantero kampung. Ini pasti karena saking bangganya istriku pada suaminya. Jadi dia bercerita ke para tetangga saat berbenja tentang kepiawaianku memberantas rayap. Rumah kami sudah bebas rayap.
“Mas … istri Pak Kodir tadi minta tolong supaya Mas memberantas rayap di rumahnya. Kasihan Mas. Pak Kodir kan masih lumpuh karena stroke, jadi siapa lagi yang bisa. Anak-anak mereka tidak ada kota ini. Mau kan Mas ?”
“Mereka kan bisa pakai kuli, dik. Masa aku ?“
“Mereka minta tolong, Mas. Mereka maunya Mas Nukin, yang sudah mereka percaya. Kalau membayar kuli, mereka khawatir dibohongi. Mau ya Mas .. “
Rayuan istriku kurenungkan beberapa saat, dan aku pun mengangguk dengan mantap. Senangnya bisa membantu tetangga. Apalagi urusan rayap yang sepele.
Istrikupun ikut senang. Dia ikut membantuku memberantas rayap di rumah Pak Kodir. Bahkan, dia sudah berani menyapu rontokan tanah bekas rayap. Tapi bila ada rayap yang panik dan keluar dari rontokan tanah itu, dia pun dengan panik langsung memukul-mukulkan sapunya berkali-kali pada sang rayap. Ternyata, dia lebih sadis dari aku. He.. he ..
Sukses di rumah Pak Kodir, membuat reputasiku pun semakin melambung. Aku dan istriku sering dimintai tolong oleh orang-orang untuk membasmi rayap di rumah mereka. Kalau mereka menggunakan jasa kuli, pasti keluar ongkos. Tapi, bila mereka meminta tolong aku dan istriku, yang sekarang jadi tim pembasmi rayap yang kompak, tak akan mau aku menerima sepeserpun dari mereka. Membantu sudah merupakan kesenangan bagiku. Dan tentu saja, aku semakin piawai dan ahli dalam bidang pembasmian rayap. Semakin waspada dan jeli mengamati berbagai kayu dan kusen tetangga yang seolah tidak dimakan rayap, tapi sebenarnya menjadi sarang rayap. Bahkan aku mulai menyarankan mereka untuk memakai berbagai jenis obat pencegah rayap. Dan istriku mulai mencoba berjualan beberapa jenis obat pembasmi rayap.
OoO
Malam itu, aku merebahkan tubuhku di samping istriku. Ini hari yang melelahkan. Seharian tadi, kami berdua membasmi rayap di rumah tetangga sebelah. Kerusakannya sangat parah. Dia telah kehilangan seluruh kusen pintu rumahnya, tanpa disadarinya. Maklum, dia hanya seorang nenek tua yang tinggal seorang diri.
“Mas … sepertinya bisnis obat pembasmi rayap cukup menguntungkan ya Mas ?”
“Yah .. syukurlah. Selain membantu tetangga, kan juga membantu ekonomi kita. Lumayan, buat persiapan kalau kita punya anak nanti. “
“Tapi  …. Kusen-kusen kita jadi bolong-bolong. Kapan kita ganti Mas ?”
“Sabar dulu, dik. Kita kumpulkan dulu uangnya. Soal mengganti kusen, aku bukan ahlinya. Aku hanya ahli mencari sarang rayap. “
Istriku tertawa geli dan mencubit lenganku mesra.
“Mas Nukin… tetangga bilang, katanya Mas baik sekali mau membantu mereka membasmi rayap. Berarti mereka sayang kita ya Mas ?”
Aku berusaha sedikti tersenyum. Mataku sudah berat.
“Tapi … aku merasa, masih ribuan lagi yang membenci kita Mas ?”
Aku mengeryitkan kening. Apa maksud istriku ?
“Aku yakin, masih banyak ribuan rayap yang belum Mas basmi. Dan kadang aku merasa was-was, mereka akan membalas dendam pada kita…. “
Aku terkekeh di sela kantukku. Mana mungkin, makhluk kecil yang buta itu punya rasa benci pada kami, apalagi membalas dendam. Wajahku saja dia tidak bisa melihatnya. Lagipula, salah mereka sendiri memakan kayu di rumah orang.
Oahmmm …. Sepertinya aku akan tidur lama. Aku butuh istirahat karena sangat ngantuk dan capek.
OoO
Jam tiga dini hari, Pak RT dan beberapa warga bergegas menuju rumah Nukin, salah seorang warganya yang beberapa minggu terakhir menjadi populer di kampungnya sebagai pembasmi rayap.
Hatinya menjadi pilu saat melihat rumah Nukin. Tidak ada bencana alam, gempa apalagi tsunami. Tapi rumah Nukin hancur. Seluruh atapnya ambruk, dan sebagian temboknya runtuh tertimpa atap. Beberapa warga berusaha menyingkirkan pecahan genteng dan serpihan kayu yang habis dimakan rayap. Tidak ada suara Nukin dan istrinya dari dalam reruntuhan rumah, membuat mereka panik.
Ternyata, Nukin tidak sehebat seperti perkiraan orang. Ada yang luput dari perhatiannya. Kuda-kuda rumahnya, habis dimakan rayap. Dan malam itu, rayap-rayap membalaskan dendamnya pada Nukin dan istrinya.
OoO



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...