Rabu, 30 Mei 2012

Tentang Sebuah Ladang



        LADANG

Sebuah sore yang telah kupersiapkan dengan matang, akhirnya menjadi badai besar yang menghantam batinku. Tapi entah kenapa, jasad ini masih berdiri kokoh layaknya batu karang. Apakah karena sepasang mata lelaki yang teramat kucintai itu menatapku penuh kasih ? Seolah apa yang baru diucapkannya tidak menjanjikan sebuah hati akan terbagi.
”Aku tetap mencintai kamu, Dea. Seperti dulu, seperti sekarang. Seperti sebelum terlahir Angga dan Rina, seperti hari ini juga. ” ucapnya dengan senyum mesra.
Aku memalingkan wajah, sementara dengan lembut dia merengkuhku dalam dada bidangnya. Aku tidak mendengar degup jantungnya berdebar kencang. Dia sudah merencakan ini semua dengan matang. Bahkan ucapannya barusan tidak membuat jantungnya perlu berdetak keras. Ragu mulai menyergap batinku. Perlahan, aku mulai tidak mempercayai ungkapan mesranya. Apakah, dia bersandiwara ?
Sebuah pelabuhan baru, di tengah-tengah perjalanan pernikahanku ? Aku yakin, pernikahan indah ini tak pernah ada kata berakhir. Aku yakin, cinta kami begitu kuat, walaupun dua tahun terakhir, kami hanya bertemu di hari Sabtu dan Minggu.
”Aku tidak pernah berniat mengkhianati kamu, Dea. Sungguh. Aku hanya berusaha menjaga nama baik dan kerhormatan keluarga kita, ” bisiknya kemudian, seraya menciumi rambutku.
Aku memejamkan mata. Berusaha menahan rasa nyeri di dadaku yang tak
kunjung reda. Jika benar lelaki yang telah menikahiku selama lima belas tahun ini benar-benar masih mencintaiku, mengapa dia tidak bisa merasakan perih ini ? Bahkan aku sampai tak sanggup menggerakkan lidahku dan membalas lambaian tangan Angga di kejauhan. Sulungku yang tampan, bahkan tinggi badannya sudah melampauiku. Apakah dia juga harus berbagi hati seperti aku ? Ya, Tuhan ... aku tidak sanggup. Sore yang cerah ini begitu kelam. Sekelam brownis kukus buatanku yang tak tersentuh di hadapanku. Padahal, berjam-jam aku mempersiapkannya di hari istimewa ini. Hari ulang tahun pernikahanku yang kelima belas.
OoO
Bahkan aku tidak sanggup menyampaikannya pada Angga dan Rina. Mereka tidak akan bisa memahami tentang menjaga nama baik dan kehormatan keluarga. Kedua bocah itu bahkan tidak akan kubiarkan meraba isi hatiku melalui raut wajahku.
”Ayah tetap akan pulang hari Sabtu dan Minggu saja, bu ?” tanya Rina sambil melahap sarapannya.
Hari Senin, setelah badai di hari Minggu kemarin. Tidak ada mas Agra. Aku tidak yakin bisa melalui hari ini tanpa air mata.
”Tidak mungkin, lah !” sahut Angga, ”Makasar itu jauh dari Surabaya, tahu. Kalau setiap minggu ayah pulang, kasihan. Capek. Ya, kan bu ? Kata bapak dia akan pulang sebulan sekali.”
Aku mengangguk, tanpa berani menatap wajah Angga.
”Yah .... kalau sebulan sekali, bisa-bisa ayah lupa sama kita. Naik pesawat kan
tidak capek. Ayah bisa pulang Sabtu dan Minggu seperti biasa, kan Bu ?”
Aku tertegun. Ya, Rina benar. Lambat laun, Mas Agra akan dengan mudah melupakan kami di sini, terutama aku. Terlebih bila, Joan, sekretarisnya yang perawan tua itu benar-benar telah menjadi maduku. Tubuhnya masih langsing dan energik. Wajahnya selalu berpoles make up mahal, memalsu usia sebenarnya.
Entah apa yang sudah dilakukannya sehingga Mas Agra mengambil keputusan untuk menikahinya. Aku juga tidak habis pikir, apa yang dilihat Mas Agra pada diri Joan, gadis yang sudah berkepala empat itu. Wanita pemarah dan penggerutu. Apa benar, hanya demi kehormatan keluarga ini ?
Sebuah pesan pendek muncul di handphoneku. Dita, sahabat karibku. Dulu, suaminya adalah rekan kerja Mas Agra sebelum Mas Agra dipindah ke Kantor Cabang di Makasar.
”De... kamu harus kuat, say. Aku tidak salah, kan ....”
Kontan mataku kembali membasah. Dita pasti sudah mengetahui rencana Mas Agra dari suaminya. Bahwa, untuk menghindari fitnah yang beredar di kantor pusat, Mas Agra akan menikahi Joan, sekretarisnya yang sudah  mendampinginya selama survey di Makasar dua tahun terakhir. Bagaimana tidak, kadang mereka harus menginap di hotel yang sama.
Kini, keputusan perusahaan sudah ditetapkan. Mas Agra dan Joan akan ditempatkan di Makasar, dengan gaji tiga kali lipat. Sedangkan Mas Agra tidak bisa memboyong aku dan anak-anak, karena ibuku sudah tua dan sakit-sakitan, hanya bergantung pada aku, anak tunggalnya.
”Sebelum berangkat, jangan lupa pamitan sama nenek ya ?”
Angga dan Rina mengangguk patuh. Setelah membereskan meja makan, mereka berebut menciumku dan berhamburan menuju kamar neneknya.
Apakah melihat keriangan mereka sudah cukup membuat aku bahagia ? Tidak. Bagiku, bahagia adalah keutuhan hati Mas Agra di rumah ini, tanpa terbagi.
Teringat wajah cemas Dita saat pertama kali menyampaikan berita tak sedap tentang Mas Agra dan Joan, yang beredar santer di kantor. Tapi saat itu, aku  percaya pada Mas Agra, bahwa dia tidak akan pernah mengkhianati aku. Dia adalah lelaki yang jujur. Apapun pasti dia sampaikan padaku. Termasuk, keinginannya untuk menikahi Joan. Aku harus bertemu Dita hari ini.
OoO
Mas Agra mengernyitkan kening. Baginya permintaanku sangat aneh. Tapi, sejurus kemudian, senyumnya kembali melebar. Aku yakin, senyum ini yang telah dinikmati Joan selama dua tahun ini. Aku membalas senyumnya, walau terasa perih di dadaku.
”Sebuah ladang ?”
”Iya. Untuk mengisi hari-hariku selama satu bulan menunggu Mas pulang ....”
Mas Agra merengkuhku dalam pelukannya. Ah, aku masih tetap tak rela pelukan ini menjadi milik Joan.
”Tidak perlu seperti itu, Dea. Aku akan menelpon setiap hari ...”
”Itu pasti tidak sama ....” bisikku.
”Iya, aku tahu. Tapi bukankah aku bekerja demi masa depan kita ?”
”Apa Joan juga masa depan kita ?”
Mas Agra melepaskan pelukannya dan menyentuh kedua pipiku dengan telapak tangan kekarnya.
”Dea, bukankah kita sudah membicarakan hal ini ? Apakah hatimu masih berat ? Bukankah lebih baik bila aku menikah daripada senantiasa berdekatan dengan zina ?”
”Apakah itu untuk selamanya ?” tanyaku parau.
”Dea .... aku selalu mencintaimu, bukan Joan. ”
Aku kembali terisak.
”Hei, tunggu dulu. Bagaimana kamu membagi waktu antara mengurusi ladang dan ibu ? Bukankah ibu sekarang harus memakai kursi roda ?”
Aku tersenyum.
”Aku ingin kita berdua melihat ladang yang akan kita beli. Nanti Mas Agra akan tahu. ”
Sebuah kecupan di kening. Aku benar-benar menikmatinya kali ini.
OoO
Mas Agra geleng-geleng kepala. Dia tidak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
”Ladang yang ini ?” tanyanya sekali lagi padaku.
Aku mengangguk mantap.
”Dea, kamu tidak salah ? Lihat saja, bahkan rumput pun enggan tumbuh di ladang kering kerontang seperti ini. Kenapa tidak ladang di sebelahnya saja ? Lihat, jagungnya gemuk-gemuk dan siap panen. Aku sanggup membelikan kedua ladang ini untuk kamu, Dea, bila kamu tetap memaksa memilih ladang
gersang ini.”
”Karena ladang gersang ini punya kisah. Apa Mas Agra mau mendengar ?”
”Kisah ?”
”Ya. Sebelum memutuskan membelinya, aku sudah menemui pemiliknya. Awalnya, ladang gersang itu milik adiknya. Semula, ladang itu sangat subur. Si adik adalah petani yang sangat rajin merawat ladangnya. Hasil panennya selalu melimpah, jauh melebihi ladang kakaknya yang ada sebelahnya. Sampai-sampai, si adik bisa menabung dan menggunakannya untuk merantau ke luar negeri. Karena, kabarnya, dengan sedikit bekerja di luar negeri, hasil yang didapat lebih besar dari bekerja keras di ladang sendiri. Maka si adik pun meninggalkan ladangnya. Tidak mengurusnya sama sekali, setelah selama ini, ladang itu telah menghidupinya. Suatu ketika dia pulang, dan melihat ladangnya telah gersang. Bahkan rumput enggan tumbuh di atasnya. Maka tidak ada lagi dalam hatinya keinginan untuk menyentuh ladangnya. Dengan mudah dia menjual ladangnya pada si kakak, pemilik ladang di sebelahnya. Tapi, si kakak tidak sempat mengurusnya, karena dia pun sibuk mengurus ladangnya sendiri.”
Aku melirik Mas Agra. Dia terdiam. Matanya tidak lepas dari ladang gersang di hadapan kami.
”Aku ingin mengembalikan ladang ini seperti sedia kala. Aku yakin, dia pasti bergembira menyambutku, bahkan mungkin jauh lebih bergembira dari ketika setiap hari pemilik ladang terdahulu mendatanginya. ”
Mas Agra masih terdiam.
”Mas, ayo kita temui si kakak pemilik ladang ini. Dia sudah menunggu kita hari ini, di rumahnya. Dia ingin segera melepas ladang ini, karena dia merasa tidak
sanggup mengembalikan kesuburan ladang ini seperti sedia kala. Padahal kuncinya sederhana saja, kita cukup merawatnya setiap hari, maka ladang ini akan kembali seperti sedia kala.”
Aku menggamit lengan Mas Agra. Mas Agra menahanku.
”Duduklah di sini bersamaku, Dea.”
Aku menatapnya tak mengerti. Tapi aku menurut saja, menjajarinya duduk di tepi tanggul jalan, menghadap ke kedua ladang itu. Aku berharap dia tidak berubah pikiran untuk membeli ladang itu.
OoO
Hari keberangkatan Mas Agra ke Makasar. Tapi dia tidak kunjung datang dari kantor. Padahal koper sudah kusiapkan dan anak-anak sengaja ijin tidak masuk sekolah untuk mengantar ayahnya ke bandara.
Berkali-kali kutelpon, tapi tidak diangkat. Aku gelisah, karena pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Perjalanan ke Bandara Juanda saja akan memakan waktu satu jam.
”Ibu tidak ikut ke bandara ?” tanya Angga.
Aku tidak menjawab. Mana mungkin aku mengantar Mas Agra dan melepasnya bersama Joan ? Walaupun, sampai detik ini, Mas Agra belum menyinggung lagi kapan rencana dia akan melamar Joan.
”Ibu tidak akan mau berangkat ke bandara ....” ucap sebuah suara yang begitu kukenal.
”Ayah !”
Angga dan Rina menghambur ke pelukan ayahnya. Mas Agra melebarkan tangannya, mengundang aku dalam pelukannya. Aku mendekatinya perlahan.
”Aku akan mengantar ke bandara jika Mas menginginkannya....”
”Tidak. Aku mau kamu, aku dan anak-anak tetap di sini.”
”Maksud Mas ?”
”Kita berempat akan mengurus ladang itu. Bagaimana ?”
Aku mengernyitkan kening, tidak percaya dengan kata-kata itu. Seuntai senyum menawan Mas Agra memberikan penjelasan panjang lebar, melebihi sebuah kalimat. Seketika aku menghambur dalam pelukannya, menghujaninya dengan cinta, tanpa merasa malu di hadapan Angga dan Rina. Aku bahagia, lebih dari sebelumnya.
”Ayah tidak jadi ke Makasar ?” tanya Angga yang pandai membaca situasi.
”Tidak sayang. Ayah tidak mau jadi Kepala Cabang di sana, nanti ayah bisa lupa sama kalian ....”
”Horeee !”
Mas Agra kewalahan menerima pelukan dan ciuman Angga dan Rina. Aku memandangi mereka dan menyusut bulir bening di sudut mataku.
Terima kasih, Dita. Kamu memang sahabat terbaikku. Seharusnya, aku mendengarkan nasehatmu tentang ladang itu sejak dua tahun yang lalu. Tapi tak mengapa, pengalaman dua tahun terakhir, telah membuat cinta kami semakin kuat. Karena aku adalah ladang satu-satunya milik Mas Agra. Aku yakin, dia tidak ingin meninggalkan aku menjadi gersang.
OoO

Quote : 
Poligami adalah tentang beberapa ladang yang harus dirawat. Bila hanya karena melihat ladang lain lebih hijau, maka janganlah melakukannya. Karena pasti tidak akan sanggup mengurus semuanya.

Note :
Cerpen ini pernah aku ikutkan di Lomba Cerpen Femina, tapi gak lolos, hehehe. Maka cerpen ini aku sertakan dalam woro-woro bagi-bagi buku GADO-GADO POLIGAMI.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...